Banyak orang mengagumi senja. Ada yang memotretnya, melukisnya, merekam momennya, menyenandungkannya, dan bahkan ada yang merangkainya menjadi sebuah kisah yang begitu indah, seperti yang dilakukan Om Seno Gumira lewat cerpennya “Sepotong Senja untuk Pacarku”.
Entahlah, kenapa aku tidak bisa seperti mereka yang begitu mengagumi senja. Lebih tepatnya aku takut menemu senja. Bagiku, senja dengan semburat jingga keemasannya bagai “Black Hole” yang siap menghisap dan lalu membawaku ke dalam dimensi antah, yang sunyi, yang kosong, namun begitu penuh deru riuh gemuruh rintih batin yang meronta. Ya… senja menjadi semacam pengantarku menuju ke “neraka” yang jelas ku rasa saat aku masih bernyawa. Aku takut menghadapi rasa itu. Aku takut menemu senja kalaku.
“Senja, kenangan bersamamu belum terlupa. Masih meninggalkan bekas jejak yang sukar terkelupas. Senantiasa melintas menghias jelas tanpa pernah tuntas diulas”.
…
Senja di batas kota
S’lalu teringat padamu
Saat kita kan berpisah
Entah untuk berapa lama
…
***
“Maafkan aku, kita barangkali bukanlah sepasang jodoh yang digariskan Tuhan”, kata Diandra perlahan. Lanjutnya, “Jon, kita ini bukan lagi sepasang remaja yang mencinta hanya karna ingin mencinta.”
Diandra menghela nafas, menggigit bagian bawah bibirnya. Terdiam sejenak, seperti sedang berpikir mencari-cari kata yang tepat untuk menjelaskan.
“Kita telah beranjak dewasa Jon. Kita mesti sadari bahwa mencinta menjadi tidak lagi sederhana. Mencinta menjadi sesuatu yang rumit. Ia tak lagi hanya bicara soal kita, melainkan juga tentang bagaimana kita bisa menerima, dan diterima orang-orang di sekeliling kita, keluarga kita, komunitas-komunitas kita. Kau paham kan maksudku?”, tanya Diandra.
“Kita tidak berjodoh Jon, maafkan aku. Ada jurang yang begitu dalam yang tak mungkin aku ataupun kamu sanggup untuk menyeberanginya”, ujar Diandra sembari menahan isak tangis yang siap pecah.
Aku tersenyum getir. Menggeleng. Ada rasa sesak. Ada rasa panas. Sungguh hatiku sedang tidak baik-baik saja. Aku masih terdiam, tak sanggup memberikan tanggapan. Semua abjad seolah sirna tak mewujud satu pun kata.
“Jon, kita tahu di banyak kesempatan yang pernah kita lalui, dan yang akan kita lalui, tentulah kita sering dihadapkan pada pilihan yang kita sungguh tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kita hanya diberikan pilihan untuk menjalaninya dengan penuh keterpaksaan yang begitu memberatkan. Ya.. Jon, kadang hidup memang sering tidak adil, dan kita sekarang merasakannya..”, ungkap Diandra dengan nada yang begitu getir.
“Aku sayang kamu Jon, maafkan aku..”, kata Diandra lirih sembari menyeka sudut-sudut matanya yang mulai basah. Untuk beberapa saat ia menyandarkan kepalanya di bahuku, sejenak kemudian ia beranjak pergi, meninggalkanku dengan salam perpisahan yang begitu sempurna mengoyakku.
Aku ingin menggenggamnya. Aku ingin mengejarnya. Namun, aku hanya duduk terdiam, termangu, membeku, dan kemudian pecah terhempas bersama butiran debu.
Sore itu, di taman di bawah jalan layang di kawasan palang pintu perlintasan kereta stasiun Lempuyangan Yogyakarta tampak begitu ramai. Terlihat ada sekumpulan anak muda yang sedang belajar seni fotografi, sejumlah pedagang bakso bakar, sekelompok anak-anak muda yang hanya duduk-duduk bercerita, dan ada juga beberapa keluarga yang bermain dan bercengkerama menghabiskan sore harinya dengan anaknya yang masih berusia balita hanya untuk sekadar memandangi sesekali dua kali kereta yang melintas. Semuanya tampak begitu ramai dan cerah, hanya saja pembicaraan yang terjadi antara Diandra dan diriku itu telah membuat banyak hal menjadi begitu sepi dan hening. Keheningan menikamku dengan sadis lagi beringas. Seolah ia merasa telah menjadi penguasa atas diriku sepenuhnya.
***
Banyak hal-hal yang terjadi bertahun-tahun lalu tapi seakan-akan masih belum lama terjadi. Ia masih terasa begitu segar diingatan, dan banyak peristiwa yang belum lama terjadi tapi kelihatannya sudah begitu lama sekali terjadi, dan begitu mudahnya memudar diingatan.
Tak terasa sudah lebih dari 1000 hari berlalu sejak pembicaraan kita di sore, di taman di bawah jalan layang di kawasan palang pintu stasiun Lempuyangan Yogyakarta itu. Namun, peristiwa itu masih begitu segar sekali untuk ku kenangkan, bahkan hingga detail-detailnya. Dan kini usiaku sudah masuki angka 26. Sudah ada beberapa kisah lain yang pernah ku coba ku jalani. Namun nyatanya sejauh dan seserius apapun kisah yang ku jalani itu, segalanya akan menjadi berantakan bila aku terkenang atasmu.
Diandra, pernahkah kau mendengar orang-orang berkata bahwa akan ada seseorang yang datang menghampiri hatimu, ada yang sekadar menyapa, ada yang benar-benar tinggal, dan sejenak kemudian ia pergi dari hidupmu dengan membawa separuh hatimu. Diandra, barangkali mereka memang benar, kau pun pergi, dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku. Dan sungguh aku tidak tahu kenangan bersamamu sampai kapan akan menemu kata selesai mewarnai hari-hariku. Aku tidak tahu entah sampai kapan aku bisa beranjak dari semua ini: sehari, sebulan, setahun, sewindu, entahlah..
…
If one day you wake up and find that you're missing me
And your heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you'll come back here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you on the corner of the street
I’m not moving.. I’m not moving
…
***
Senja kini telah tiba. Bersamanya ada rintik hujan yang turut menyerta, menyamarkan air mata yang tak terasa deras menetes.
“Saat hujan, apa kabarmu? Jika suatu saat nanti aku pergi lebih dulu, semoga kau mengenangku sebaik aku mengenangmu”.
Diandra, mungkinkah aku harus meratapi keadaan ini? Betapa aku sangat bersedih karena tidak pernah bisa bersatu denganmu. Padahal aku begitu yakin bahwa kamu adalah bagian dari diriku. Kamu dan aku adalah sepasang jodoh yang sempurna
“Maafkan aku, kita barangkali bukanlah sepasang jodoh yang digariskan Tuhan”, katamu sore itu, di taman di bawah jalan layang di kawasan palang pintu perlintasan kereta stasiun Lempuyangan masih terus terngiang-ngiang di kepalaku.
…
Kekasih, ketika nyala dian telah padam
Kenapa tidak engkau tinggalkan?
Kekasih, kau sempat berkata, “Jadilah terang!!”
Mengapakah engkau bawa aku
larut tenggelam bergulat dalam temaram malam
Kekasih, aku meyakini
Kepada esok jua kita mengenal pagi
***
Credit:
Ernie Djohan-Senja Di Batas Kota
The Script-The Man Who Can't Be Moved