Mohon tunggu...
Julian Abednego Wibisono
Julian Abednego Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Rocket up your fantasy beyond supremacy.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ragam "Aftertaste" bagi Anak Setelah Menonton Film Joker

6 Januari 2020   23:59 Diperbarui: 14 September 2020   01:53 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dimulai sejak tanggal 2 Oktober 2019, telah dirilis film salah satu karakter antagonis DC Comic yang sangat ikonik menjadi musuh abadi Batman yang berjudul Joker. Pada film-film sebelumnya seperti Batman (1966 -- 1988), Batman (1989), The Dark Knight (2008), Suicide Squad (2016), dan bermacam film animasinya, karakter Joker sudah lama disajikan oleh aktor-aktor yang berbeda dan alur cerita yang beragam. 

Karakter Joker selalu identik dengan sosok seorang pria yang berdandan seperti badut dengan rambut yang berwarna hijau dan bibir yang dibubuhi dengan warna merah nyala yang sengaja dibuat lebar agar terkesan bahwa dia selalu tersenyum. 

Keunikan lain dari karakter Joker adalah memiliki latar belakang cerita yang berbeda pada tiap cerita yang memiliki karakter Joker di dalamnya, sehingga terkesan Joker bukanlah satu orang, semua orang bisa saja menjadi Joker. Baik pada versi komik maupun film, secara garis besar Joker diceritakan sebagai penjahat dari kota Gotham yang licik, sadis, gemar tertawa dan memiliki kemampuan bertarung yang sukar diprediksi (Fernanda, 2019).

Awalnya, beberapa penggemar film dan penonton awam lainnya menyangka bahwa film tentang Joker tersebut adalah sebuah film laga superhero pada umumnya. 

Sangat tidak terduga, film Joker pada tahun 2019 bukanlah suguhan yang berjenis film action dan tidak layak ditonton setidaknya bagi anak-anak dan para remaja. 

Alasan mengapa film yang dibintangi oleh Joaquin Phoenix ini tidak cocok bagi penonton di bawah 17 tahun adalah karena film ini berfokus kepada seorang tokoh yang jahat, yang memiliki penyakit mental, dan hidup di lingkungan yang penuh dengan kekerasan (Pratiwi, 2019). 

Dalam time.com, Dockterman (2019) mengatakan bahwa film Joker sudah dirancang menjadi tontonan yang sungguh teramat kontroversial di tahun ini. Tidak hanya meraup jutaan dolar pada minggu awal penayangannya, film ini memiliki beberapa kritik tentang dampak yang kemungkinan akan terjadi kepada para penikmat film apabila mereka menginterpretasi dalam kehidupan mereka cerita seseorang yang berjuang menghadapi penyakit mentalnya di tengah kondisi yang penuh dengan kekejaman dan ketidakadilan. 

Singkat cerita, tidak hanya menderita penyakit mental dan diperlakukan buruk oleh orang-orang di sekitarnya oleh karena penyakit tersebut, Joker alias Arthur Fleck merasa ditolak oleh perempuan yang dia minati dan didiskriminasi oleh beberapa pria yang mendapatkan perhatian dari para wanita oleh karena uang dan kuasa yang mereka miliki. 

Joker juga bertemu dengan ayahnya, Thomas Wayne, yang juga merupakan ayah dari Bruce Wayne, tetapi Thomas Wayne tidak mengakui Arthur Fleck sebagai anaknya, menghajarnya, dan menyuruhnya pergi dari hadapannya.

 Pada versi barunya yang di tahun 2019, peran Joker dapat disalahmaknakan menjadi figur heroik karena melawan ketidakadilan dengan cara membunuh orang-orang yang membuat dia terpuruk, daripada sosok teroris yang kejam, gila dan sadis. 

Selaku direktur dan pengarang cerita utama dari film Joker, Todd Phillips mengutarakan bahwa dia mencoba membuat alur kisah Joker yang membumi dengan realita-realita yang nyata di dunia yang dapat menjadi refleksi tiap pribadi yang menontonnya dibandingkan membuat jalan cerita yang terpaut dengan versi yang ada di komik. 

"Saya hanya berharap orang-orang hanya melihat dan memaknai film Joker sebagai tontonan semata", sela Phillips ketika menolak gagasan yang berkata bahwa film tersebut berpotensi untuk disalahinterpretasikan atau menginspirasikan kejahatan di dunia nyata (Dockterman, 2019).

Akan menjadi masalah yang lebih rumit bila film dengan rating dewasa seperti Joker ini dipertontonkan ke kalangan yang lebih muda. Pratiwi (2019) menjelaskan bahwa anak-anak yang berusia kurang dari delapan tahun belum mampu membedakan kenyataan dan dunia fantasi mereka. 

Pada usia anak-anak, otak dapat diibaratkan layaknya spons, yang berfungsi menyerap informasi tanpa bekal suatu kemampuan dalam memilah informasi dengan tepat dan alhasil tontonan tersebut akan mudah mempengaruhi anak-anak dikarenakan sifat belajar mereka adalah dengan cara observasi, imitasi atau meniru hal yang dilihat, dan kemudian mengadopsi perilaku tersebut. Sehingga pada usia demikian inilah anak-anak masih sangat rentan terkena efek negatif dari tontonan seperti film Joker.

Teori transportasi disertakan guna membantu pembahasan topik terkait aftertaste atau efek kelanjutan yang dirasakan oleh anak setelah menonton film Joker. Teori transportasi disusun oleh Melanie Green dan Timothy Brock. 

Teori ini diartikan sebagai teori yang menghanyutkan pemikiran dan kesadaran seseorang ketika melakukan aktivitas yang menghubungkan cerita dari sebuah tontonan dan bacaan sebagai media dengan psikologis orang yang menonton atau membacanya. 

Ketika aktivitas ini dilakukan, pribadi yang menjadi sebagai penonton ataupun pembaca akan merespon dan menghantarkan personalitas dan pengalamannya ke dalam media yang dinikmati tersebut. 

Teori transportasi mendeskripsikan bahwa orang-orang telah diangkut dari dunia nyatanya dan terbawa ke dunia cerita yang sedang berlangsung di film dan buku. 

Mereka bahkan lupa waktu, lupa tempat, serta mengabaikan sekeliling mereka sebab terbawa perasaan dan emosi baik positif maupun negatif ketika menyimak cerita yang mereka nikmati. 

Sebagai proses dari teori transportasi, khalayak juga mengapresiasi cerita yang mereka hubungkan dengan pengalaman mereka tersebut sebagai suatu mahakarya yang memiliki nilai seni yang berkualitas (Littlejohn, 2017).

Kunci utama dalam teori transportasi adalah adanya suatu naratif atau cerita. Transportasi terjadi ketika seseorang merespon isi dan makna cerita yang disajikan melalui membaca, menonton, atau mendengarkan beragam media. 

Green dan Brock berpendapat bahwa buku dapat meningkatkan level transportasi karena para pembaca perlu untuk mengkreasikan gambaran mental dari sebuah cerita untuk diri mereka pribadi, walaupun transportasi tersebut dapat juga terjadi dengan bantuan bahan-bahan audio-visual seperti film, video game, atau tontonan lainnya yang dapat dinikmati melalui internet. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya proses transportasi:

  • Dari sisi pemberi cerita atau objek yang memiliki cerita, sebuah naratif harus memiliki alur cerita yang imajinatif, karakter-karakter yang dapat diidentifikasi, serta mengandung kesan bahwa cerita yang disuguhkan terasa nyata bahkan pernah terjadi di kehidupan seseorang.
  • Dari sisi khalayak, transportasi akan meningkatkan kemampuan dalam mengandalkan kedekatan dengan materi di sekitar, tingkat pengetahuan, transportabilitas, dan tingkatan kepada penanggap yang mana yang berfokus kepada materi di dalam media tersebut.

Dalam tulisan Irfani (2019) di halaman tirto.id, seorang psikolog yang bernama Jane Cindy Linardi menerangkan bahwa ada dua hal yang menyebabkan mengapa anak-anak ikut hadir menonton Joker di layar lebar. 

Pertama oleh sebab tidak ada yang menjaga anak di rumah ketika orang tua meninggalkannya untuk menonton di bioskop. 

Hal kedua adalah kemungkinan orang tua kurang waspada terhadap dampak yang akan diterima oleh anak ketika ikut menonton film-film yang mengandung unsur dewasa termasuk unsur kekerasan. 

Sebuah lembaga pengawas media yang bermarkas di California yang bernama Parents Television Council tidak lupa ikut bersuara dan memberi saran kepada orang tua agar tidak terbawa narasi "Joker sebagai franchise dari film Batman", kemudian berpikir bahwa film tersebut aman-aman saja untuk disimak oleh anak-anak.

Sementara itu, selaku pemegang hak dalam mendistibusikan film Joker, Warner Bros menolak ungkapan yang mengatakan bahwa mereka membantu dalam penyebaran kekerasan di dunia nyata.

Pada tahun 1963, sebuah penelitian dengan topik 'Imitation of Film-Mediated Aggressive Models' yang dipelopori oleh Albert Bandura, Dorothea Ross, dan Sheila Ross telah dipublikasikan oleh The Journal of Abnormal and Social Psychology. 

Pada penelitian tersebut, anak-anak prasekolah disuguhkan sebuah video tentang orang dewasa yang sedang bermain boneka tiup. Orang dewasa yang berada di dalam video tersebut sedang menduduki boneka kemudian meninjunya dan menendang berulang kali, serta memukul bagian kepala bonekanya dengan sebuah palu. 

Seusai menonton video tersebut, anak-anak yang dijadikan subjek penelitian dibawa ke suatu ruangan bermain yang di dalamnya terdapat boneka tiup yang mirip dengan yang ada di dalam video. 

Serupa dengan pemikiran para peneliti, anak-anak itu meniru tindakan yang brutal seperti orang dewasa yang berada di video. Lebih lagi, mereka mengolah cara yang baru untuk menghajar boneka-boneka yang ada di ruangan tersebut bahkan disertai dengan perilaku yang lebih agresif saat bermain (Irfani, 2019).

Seiring berjalannya waktu, kini wilayah permainan dan hiburan anak-anak menjadi lebih luas dan lebih interaktif dengan adanya internet. 

Sebuah artikel yang bertajuk 'Watching Violence on Screens Makes Children Emotionally Distressed' seorang peneliti yang bernama Caroline Fitzpatrick dari Universit Sainte-Anne, Kanada, yang disiarkan di The Conversation menarasikan bahwa sebuah tontonan yang penuh dengan adegan kekerasan yang kemudian diperlihatkan kepada anak-anak akan menyebabkan mereka menjadi susah dalam bergaul, manipulatif, dan tidak peka terhadap sekitar. 

Terdapat kurang lebih 1800 anak-anak usia tiga hingga empat tahun menjadi yang menjadi subjek penelitian dan kemudian pembentukan perilaku tersebut ditentukan dengan program televisi, aplikasi Skype dan Facetime, video game dan film. 

Terdapat juga penelitian lain yang berjudul 'The Impact of Electronic Media Violence: Scientific Theory and Research' yang dikembangkan oleh L. Rowell Huesmann dan yang dipublikasikan pada Journal Adolesc Health (2007). Penelitian tersebut menjelaskan konten-konten yang memiliki 'aroma' kekerasan yang dapat menyebabkan pengaruh jangka pendek serta jangka panjang terhadap anak-anak. 

Pengaruh jangka pendeknya, konten-konten yang mengandung kekerasan dapat merangsang anak-anak dan hasilnya meniru secara langsung adegan kekerasan yang mereka perhatikan. Sedangkan pengaruh jangka panjangnya, konten-konten yang penuh dengan aksi kekerasan tersebut berpotensi dalam mengubah emosi pada anak-anak (Irfani, 2019).

Terdapat banyak adegan-adegan lainnya yang yang dapat menyulut dan mengombang-ambingkan perasaan para penonton. 

Dilansir dari republika.co.id, Gary Chandra, salah satu penyimak film Joker, mengaku bahwa dia merasa terinspirasi sekejap dengan salah satu tindakan Joker yang melampiaskan emosi negatifnya kepada pembawa acara talk show Murray Franklin yang diperankan oleh Robert De Niro yaitu dengan cara menembak kepala pembawa acara tersebut dengan pistol pemberian kerabat kerjanya yang pernah menipunya. 

Gary mengatakan bahwa seusai menonton keseluruhan filmnya, terselip di dalam pikirannya untuk melakukan hal yang serupa kepada seseorang yang pernah memperlakukan buruk dirinya. Setelah Gary membawa dirinya ke psikiater, hasil diagnosa yang dia dapatkan tidaklah buruk. 

"Yang ada hanya efek jangka pendek, jadi kayak ada stimulasi kemudian muncul ide atau pemikiran, tapi sesaat aja", ujar Nova Riyanti Yusuf sebagai psikiaternya. Nova menambahkan penjelasannya bahwa film tidak serentak langsung mempengaruhi perilaku seseorang serupa dengan tindakan yang dilakukan oleh pelakunya di film. 

Akan beda halnya jika seseorang menonton dan menikmati film atau suatu permainan yang memuat nilai-nilai kekerasan yang biasa hingga berunsur sadistik dari hari ke hari. 

Bersamaan dengan hal itu, Nova memperingatkan kepada masyarakat agar memperhatikan rating film yang akan ditonton, karena rentang usia penonton yang telah ditetapkan pada suatu film sudah dikaji pada penelitian yang sudah pernah dilakukan.

Konten-konten kekerasan yang terkandung di dalam film Joker berupa adegan yang mendiskriminasikan orang yang terkena penyakit mental, membawa senjata api ketika bekerja sebagai badut hiburan di rumah sakit anak, menunjukkan adegan pembunuhan yang terang-terangan, serta memperagakan perilaku orang yang sedang depresi yang kemudian dihantui oleh beragam masalah. 

Jika ada anak-anak yang menontonnya, kemungkinan mereka akan kebingungan dan terus memikirkan kejadian yang abstrak yang terdapat di film tersebut. Atau ada juga merespon film tersebut sebagai film yang keren dalam melawan ketidakadilan sehingga meniru perilaku yang dilakonkan oleh Joker. 

Menurut Ryani (2018), berdasarkan riset yang pernah dilakukan di Louisiana State University Health Sciences Center, ada beberapa dampak buruk yang mungkin diterima anak-anak ketika menonton film yang mengandung unsur kekerasan yaitu dapat menciptakan pandangan yang salah terhadap kehidupan, mengubah perilaku anak-anak menjadi kasar dan abusif, merusak otak sehingga sulit untuk mencerna segala sesuatunya, serta menjadi pribadi yang mudah depresi dan mudah panik. 

Jangankan anak-anak, orang dewasa yang sudah menonton film Jokerpun dapat merasakan tingkat depresi yang dirasakan oleh Joker, sehingga ada penonton yang merasa tidak dapat bernafas, pusing, lemas, dan jantung yang tiba-tiba berdegup dengan kencang (Puteri, 2019).

Adanya rating film dan teguran dari petugas bioskop juga tidak terlalu mempengaruhi kewaspadaan orang tua dalam menonton di bioskop (Irfani, 2019). Orang tua memiliki peran yang penting sebagai seseorang yang bertanggungjawab dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal-hal yang dapat diterapkan orang tua adalah sebagai berikut:

1. Memperhatikan konten apa yang disimak oleh anak-anak

2. Mendampingi mereka ketika menonton video atau bermain video game

3. Mengatur durasi yang diizinkan untuk menonton

4. Melarang anak-anak secara halus ketika konten yang akan disimak mengandung unsur kekerasan

5. Berani mendiskusikan konteks kekerasan secara terbuka dan perlahan kepada anak

Di era melesatnya penetrasi dunia digital, anak-anak perlu diawasi dari konten-konten yang mengandung nilai-nilai kekerasan karena dapat merusak masa depannya. 

Setiap film memiliki rating tentang kriteria umur penonton, dan sisanya adalah misi setiap orang dewasa untuk bertanggungjawab dalam menontonnya terutama bagi mereka yang membawa anak-anak. 

Perlunya juga kewaspadaan dan komunikasi yang optimal bagi anak-anak dan sesama orang dewasa dalam memilah film yang akan ditonton agar tidak terjadi dampak yang tidak diinginkan ketika dan setelah mengonsumsi film yang disimak karena setiap film memiliki cerita dengan kemampuan untuk menghanyutkan perasaan dan pikiran setiap penontonnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun