Mohon tunggu...
Julian Abednego Wibisono
Julian Abednego Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Rocket up your fantasy beyond supremacy.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Ragam "Aftertaste" bagi Anak Setelah Menonton Film Joker

6 Januari 2020   23:59 Diperbarui: 14 September 2020   01:53 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terdapat kurang lebih 1800 anak-anak usia tiga hingga empat tahun menjadi yang menjadi subjek penelitian dan kemudian pembentukan perilaku tersebut ditentukan dengan program televisi, aplikasi Skype dan Facetime, video game dan film. 

Terdapat juga penelitian lain yang berjudul 'The Impact of Electronic Media Violence: Scientific Theory and Research' yang dikembangkan oleh L. Rowell Huesmann dan yang dipublikasikan pada Journal Adolesc Health (2007). Penelitian tersebut menjelaskan konten-konten yang memiliki 'aroma' kekerasan yang dapat menyebabkan pengaruh jangka pendek serta jangka panjang terhadap anak-anak. 

Pengaruh jangka pendeknya, konten-konten yang mengandung kekerasan dapat merangsang anak-anak dan hasilnya meniru secara langsung adegan kekerasan yang mereka perhatikan. Sedangkan pengaruh jangka panjangnya, konten-konten yang penuh dengan aksi kekerasan tersebut berpotensi dalam mengubah emosi pada anak-anak (Irfani, 2019).

Terdapat banyak adegan-adegan lainnya yang yang dapat menyulut dan mengombang-ambingkan perasaan para penonton. 

Dilansir dari republika.co.id, Gary Chandra, salah satu penyimak film Joker, mengaku bahwa dia merasa terinspirasi sekejap dengan salah satu tindakan Joker yang melampiaskan emosi negatifnya kepada pembawa acara talk show Murray Franklin yang diperankan oleh Robert De Niro yaitu dengan cara menembak kepala pembawa acara tersebut dengan pistol pemberian kerabat kerjanya yang pernah menipunya. 

Gary mengatakan bahwa seusai menonton keseluruhan filmnya, terselip di dalam pikirannya untuk melakukan hal yang serupa kepada seseorang yang pernah memperlakukan buruk dirinya. Setelah Gary membawa dirinya ke psikiater, hasil diagnosa yang dia dapatkan tidaklah buruk. 

"Yang ada hanya efek jangka pendek, jadi kayak ada stimulasi kemudian muncul ide atau pemikiran, tapi sesaat aja", ujar Nova Riyanti Yusuf sebagai psikiaternya. Nova menambahkan penjelasannya bahwa film tidak serentak langsung mempengaruhi perilaku seseorang serupa dengan tindakan yang dilakukan oleh pelakunya di film. 

Akan beda halnya jika seseorang menonton dan menikmati film atau suatu permainan yang memuat nilai-nilai kekerasan yang biasa hingga berunsur sadistik dari hari ke hari. 

Bersamaan dengan hal itu, Nova memperingatkan kepada masyarakat agar memperhatikan rating film yang akan ditonton, karena rentang usia penonton yang telah ditetapkan pada suatu film sudah dikaji pada penelitian yang sudah pernah dilakukan.

Konten-konten kekerasan yang terkandung di dalam film Joker berupa adegan yang mendiskriminasikan orang yang terkena penyakit mental, membawa senjata api ketika bekerja sebagai badut hiburan di rumah sakit anak, menunjukkan adegan pembunuhan yang terang-terangan, serta memperagakan perilaku orang yang sedang depresi yang kemudian dihantui oleh beragam masalah. 

Jika ada anak-anak yang menontonnya, kemungkinan mereka akan kebingungan dan terus memikirkan kejadian yang abstrak yang terdapat di film tersebut. Atau ada juga merespon film tersebut sebagai film yang keren dalam melawan ketidakadilan sehingga meniru perilaku yang dilakonkan oleh Joker. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun