Jika dikombinasikan dengan segala variabel, setiap akun sosial media kita punya tingkat popularitas masing-masing. Akun instagram pak Marsani misalnya, bisa jadi lebih populer ketimbang akun instagram pak Deni karena followers nya lebih banyak dan engagement nya tinggi.
Bagaimana kalau popularitas dunia maya juga diterapkan konsepnya ke kehidupan sehari-hari?
Itulah yang Tiongkok ingin bangun dengan menamainya social credit system. Kamu bisa tonton gambaran singkatnya lewat video di bawah ini :
Sistem tracking baik dan buruk ini sebenarnya biasa digunakan di perbankan, untuk melakukan pengecekan finansial sebelum memberikan kredit. Tetapi apa yang Tiongkok lakukan bukan hanya finansial, mereka mengecek apakah kamu melakukan hal baik atau buruk.
Menolong nenek-nenek menyeberang, kredit kamu naik...
Tidak mengantre saat belanja, maka kredit kamu turun...
Tiongkok adalah salah satu negara yang sangat agresif mengumpulkan basis data wajah, dan kamu sudah tahu kan apa hubungan monitoring menggunakan face recognition dan social credit system?
Setiap gerak-gerik warga akan dipantau negara dan setiap tindakan ada konsekuensi yang harus dibayar di kehidupan nyata. Ini seperti konsep karma, cuma baik buruk dan hukumannya ditentukan oleh negara,
Walaupun sistem ini belum dilakukan sepenuhnya di seluruh Tiongkok, di masa depan akan ada warga Tiongkok dari Shanghai tidak akan berhasil memesan tiket pesawat ke Beijing karena sistem online mendeteksi ratingnya sangat rendah.
Contoh nyata tindakan elit global sebenarnya tidak perlu kamu anggap ditutup-tutupi, Tiongkok sudah mencontohkannya.
Tenang, Kita Punya UU ITE dan Dunia Sudah Punya GDPR
Beberapa hari lalu saya membaca posting di Instagram yang kurang lebih menscreenshot beberapa halaman di website pemerintah dan dengan yakin mengatakan bahwa big data surveillance sedang terjadi di era pandemi.