Mohon tunggu...
JENY KHAENI
JENY KHAENI Mohon Tunggu... karyawan swasta -

JENY KHAENI is a passionate reader who loves to write, creativity addicted, and an enthusiastic amateur photographer. She is working in shipping company. Follow her on twitter@JKHAENI

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Obrolan Orang Awam

2 September 2015   16:53 Diperbarui: 2 September 2015   16:53 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tytania pernah iseng bertanya pada suaminya, Jerry tentang ide membanting stir jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

“It’s okay. Aku dukung kamu.”

Jelas Tytania terkejut. Sama sekali  tidak menduga jawaban itu.

“Serius nih ? Kupikir kamu akan menjadi orang pertama yang menggagalkan keinginanku.”

Tytania tertawa. Dia masih belum yakin dengan dukungan suaminya .  Ternyata Jerry menangkap keraguan Tyta, begitu panggilan sayangnya.

“Oke, jawab dua pertanyaan saya, Tytania Sayaka.”

Seru nih, pikir Tyta. Pasti keraguan dia benar. Jerry hanya setuju di bibir, tapi hati bilang tidak.

“Pertama.”

Dia mengacungkan jari telunjuk seperti mendikte. Jari yang sangat ingin Tyta gigit bila sedang bertengkar, karena ‘gerakan’ itu begitu menganggu egonya.

“Kamu bisa hanya yes, sir - yes,sir ?”

Belum sempat dijawab Tyta, Jerry sudah melempar pertanyaan berikut.

“Kedua.”

Dia membentuk huruf V, tanda damai sehingga membatalkan niat Tyta menggigit jarinya.

“Kamu bisa ongkang-ongkang kaki doing nothing ?”

Alis Tyta terangkat. Jerry tahu Tyta akan berdebat. Dan ini jurus Jerry membungkam.

“Nuranimu, Ta. Itulah masalah yang membuatmu tidak sesuai disana.”                                                                                     

Loh, kok kayak haluan partai yang kalah itu. Tyta baru mau protes.

“Kamu itu vokal, kritis dan idealis, akui saja. Kalaupun diterima, saya berani taruhan kejujuran hatilah yang membuat karirmu tidak bertahan lama disana.

Dia menekankan ending yang pasti di kalimat terakhir. Bagi Tyta, itu justru malah terdengar seperti sebuah tantangan.

“Kamu tidak perlu membuktikan apapun kepada dunia, Ta,” ujarnya seakan membaca pikiran.

“Buat saya, cukup mainkan saja peranmu dengan baik sebagai Nyonya Jerry Oshiro. Itu sudah membahagiakan saya dan Kenshin.”

Ih, garing. Buntut-buntutnya malah klise.

Pembicaraan usai di situ, tapi belum membuat Tyta menyerah. Atas nama penasaran, Tyta pun menepikan motor di depan kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Tempat itu memang menyita seluruh perhatian Tyta belakangan ini.

Sabtu siang itu agak sepi. Tidak seperti biasa, banyak orang berjubel menawar,meneliti, lalu membeli.

Tyta melihat deretan formulir lowongan kerja tergeletak manis menanti pembeli seolah-olah berteriak  : “Buy me, Ma’am ”. Tyta menertawai imaginasinya.

Wuih, ternyata lengkap banget. Mau tingkat Pemkab, Pemkot hinga Pemprop. Tinggal pilih saja. Bahkan prediksi soal ujian juga ada.

“Berapa ini, Pak ?” tanya Tyta sambil membolak-balik isi soal ujian CPNS itu pada seorang bapak yang duduk bersila dibawah terik mentari. Jelas ini adalah rejeki musiman untuk orang-orang seperti mereka.

“15 rebo. Mau?”

Yang jawab justru anak muda disebelahnya, berusia sekitar delapan belas tahun. Entah siapanya Bapak itu.

“Cuma ini yang diuji ?’ tanya Tyta membolak balik materi yang di test. Ada Pancasila, Tata Negara, Kebijakan Pemerintah, Politik, Ekonomi, Hukum dan Skolastik.

“Iya.” Pemuda itu mengangguk pasti.

“Kenapa tidak ada  test kebohongan ya ?”gumam Tyta pelan

“Apa, Mbak ?”

Suara bising kendaraan lewat membuat dia tidak mendengar jelas ucapan Tyta.

“Oh, enggak. Kubeli lain waktu saja ya ?”

Tyta mengembalikan soal ujian itu. Mengucapkan terima kasih lalu menancap gas berlalu dari sana.

***

Nurani. Kata itu terus menggedor pintu hati Tyta. Apakah menjadi seorang PNS berarti menumpulkan hati nurani ?

Tyta teringat kisah rekan kerja senior. Waktu itu  atas nama iseng, dia ikut ujian penyeleksian Calon Pegawai Negeri Sipil. Tanpa disangka-sangka ternyata lulus tanpa sogok. Mereka semua terkejut karena karir dan posisi Ari lumayan mentereng di chart perusahaan, kok tiba-tiba dia membanting stir ‘turun’ grade dengan penempatan kerja di daerah terpencil pula. Meski ikut bahagia. Namun pilihan tepatkah itu ?

Ternyata keraguan sama dia alami. Namun kata orang the show must go on, jadi Ari pun tetap pada keputusannya.

Diawal menjadi PNS, Ari masih sering singgah ke kantor membawa oleh-oleh cerita seru untuk kami. Menyingkap tabir yang biasa kuping dengar sebagai rahasia umum seputar disiplin yang parah, capability dibawah ‘pengharapan’ dan undertable cases. Belum lagi tools kantor yang ‘jadul’. Dia mengaku shock dan susah beradaptasi dengan pola kerja berbanding terbalik dengan perusahaan swasta.

“Halah, lama-lama kau terbiasa jugalah. Masa kambing menolak ngembik,”kata seorang kawan sinis

Pembicaraan kami jadi kayak gossip infotainment yang semakin digosok makin sip. Ada yang bilang PNS itu kayak pengangguran berdasi. Tidak perlu capek kerja, tapi gaji jalan terus a.k.a gaji buta. Sudah gitu dapat gaji ke-13, ke-14 lagi. Yang lain komentar kerja mereka lambat, dicap pemalas. Karir aman bebas pecat. Begitu ‘soak’, uang pensiun cair. Katanya pelayan masyarakat tapi malah diservice masyarakat. Hingga akhirnya seorang kawan mengakhiri perdebatan ‘tradisi PNS’ itu dengan kata bijak :

“Buat kami bangga dengan menjadi dirimu sendiri. Karena kami tahu, kamu bukan orang semacam itu."

Mungkin kalimat itu berdaya magis. Di lain kunjungan, Ari bercerita tentang prestasinya. Dia mendapat kesempatan memimpin sebuah proyek, bahkan selalu terpilih untuk belajar kepusat. Rupanya dia tidak membiarkan dirinya terjebak dalam stereotype PNS, tergerus oleh ‘kebiasaan PNS’. Dia tidak mengerdilkan potensi above levelnya untuk menjadi PNS biasa-biasa-saja.

Rahasianya hanya satu. Dia tidak merubah orang-orang. Dia hanya menjadikan dirinya seperti bintang utara bersinar terang di malam hari yang setia pada nilai-nilai baik yang dipegang, lalu membiarkan orang-orang melihat ‘kecemerlangan dia’ lewat kedisiplinan, kecakapan kerja, dan sikap professional. Dan pilihan sikap itulah yang menjadikan dia lebih pantas daripada pegawai lain.

Jika kepantasan adalah alasan yang membuat kita menerima ‘semua kenyamanan itu’, seharusnya tidak perlu ada rasa malu menghantam nurani. Ah, bukankah begitu ?

Tyta tersenyum. Tak semua PNS payah..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun