Pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap berbagai lini kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali terhadap bagaimana manusia bersikap, bertindak atau berperilaku untuk mengantisipasi penyebaran karena vaksin penangkalnya hingga kini belum ditemukan.
Update dari https://covid19.go.id/ hingga 22 Juli 2020 tercatat jumlah pasien positif yang terpapar virus mencapai 91.751 orang, sembuh 50.255 orang dan meninggal 4.459 orang.
Dilihat angka perkembangannya walaupun cukup fluktuatif namun ketika virus ini masuk dan menginfeksi WNI sejak 2 Maret lalu -- jumlahnya saban hari terus bertambah. Tercatat puncak tertinggi penambahan kasus terjadi 9 Juli lalu yaitu 2.657 orang dinyatakan positif Covid-19 dalam sehari.
Data tersebut belum termasuk mereka yang tergolong kontak erat (dulu disebut ODP), kasus suspek (dulu disebut PDP), dan kasus konfirmasi tanpa gejala/asimptomatik (dulu disebut OTG) yang sesungguhnya sudah terpapar virus namun belum dilakukan uji swab/PCR -- sehingga diperkirakan jumlah yang terpapar dan yang meninggal bisa lebih.
Menghadapi kondisi demikian pemerintah cq. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama lembaga terkait yang tergabung dalan Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 hingga tingkat daerah telah menyikapi untuk menekan angka kematian dan meningkatkan kesembuhan para pasien.
Lantas, sebagai warga negara, apa dan bagaimana yang perlu kita perbuat dalam keikutsertaan pengendalian bencana non alam (Covid-19) yang banyak merenggut nyawa dan mengganggu berbagai aktivitas tersebut?
Mengingat saya sebagai orang awam, barang tentu hal yang mendesak dilakukan adalah berupaya seoptimal mungkin mencegah agar tak tertular atau menularkan "mikro-organisme jahat" bernama virus corona yang sudah empat bulan lebih merambah seluruh wilayah negeri, tak kunjung reda.
Di lingkungan tempat tinggal saya sendiri (wilayah DIY), walaupun disebutkan sebagai salah satu provinsi terbaik dalam penanganan Covid-19 bukan berarti DIY telah bebas pandemi. Selanjutnya baca ini.
Perkembangan kumulatif warga terinfeksi virus di DIY memang sempat sehari/dua hari stagnan -- tetapi di hari kemudian jumlahnya masih bertambah, bahkan tanggal 21/7/2020 kemarin terjadi lonjakan cukup signifikan yaitu mencapai 28 orang terinfeksi Covid-19. Â Baca di sini.
Hingga tulisan ini disusun (22/7), tercatat data warga positif terinfeksi 486 orang, sembuh 332 orang, meninggal 14 orang. Sedangkan yang masih dalam proses tercatat 174 orang, meninggal 33 orang. Mereka yang dikategorikan kontak erat (dulu disebut ODP) tercatat sebanyak 8217 orang. Sumber.
Dari tampilan data tersebut menggambarkan di antaranya bahwa memasuki fase persiapan menuju adaptasi kebiasaan baru (dulu disebut new normal) ternyata perkembangan kasus Covid-19 belum bisa dinyatakan aman.
Atau dengan kata lain, memasuki fase kehidupan Adaptasi Kebiasaan Baru ini penambahan pasien terpapar virus justru lebih besar jumlahnya, berarti pula kewaspadaan maupun antisipasi masih selalu/sangat dibutuhkan.
Secara alami dan naluriah, beberapa kali ditempa pengalaman berupa ancaman bencana (alam dan non alam) yang melanda di tempat saya berada/beraktivitas, seringkali menggugah diri untuk mencari info terkini, terpercaya sebanyak mungkin guna memahami dan menyikapinya.
Termasuk pandemi Covid-19 yang belum mereda, dan telah membikin ambyar berbagai kegiatan- pastinya masih terus menjadikan pemikiran serius. Apalagi transmisi virus tak mudah dikendalikan- mengingat kebiasaan lingkungan yang kurang mendukung (protokol kesehatan belum optimal dilakukan masyarakat) sehingga kehati-hatian ekstra menjadi sebuah pilihan.
Betapa tidak, ketika virus corona merebak hingga melanda DIY, saya pribadi memilih 'mengurung diri' dan ke luar dari rumah hanya bilamana penting. Hal ini sebagai pilihan untuk melindungi diri setelah ditemui/tersiar korban di bulan Maret lalu.
Dilihat dari proses penularan dan jika dihubungkan kultur kita dengan ciri khasnya yang komunal ditambah tingginya mobilitas dan interaksi sosial maka sangatlah mungkin Covid-19 akan merebak bahkan bisa bertahan lama berjangkit sehingga sikon ini menggugah saya semakin meningkatkan kewaspadaan.
Sejak bulan Maret seiring merebaknya pandemi, sayapun terpaksa tidak bisa memenuhi beberapa undangan seminar/sarasehan, termasuk pertemuan/undangan makan bersama mengingat sikonnya kurang memungkinkan.
Tak hanya itu, sikap skeptis saya semakin tumbuh terutama terhadap orang-orang di luar kehidupan sehari-hari termasuk bertatap muka dengan kolega/orang yang datang dari luar kota.
Skeptis dalam konteks ini bukannya tak percaya/meragukan pada berbagi pemikiran, namun lebih pada membatasi kedekatan fisik yang berpotensi sebagai pembawa (carrier) yang kemungkinan menularkan virus.
Proteksi diri semakin kuat tatkala salah seorang kolega dinyatakan memiliki kontak erat (ODP) dengan pasien positif Covid-19, menambah niatan saya semakin super hati-hati dan menjauhi pertemuan, tempat umum, ke luar rumah hanya membeli kebutuhan pokok atau keperluan mendesak, selebihnya cukup memanfaatkan teknologi media dari ruang kerja untuk menunjang berbagai kegiatan.
Saking terbiasanya melakukan kebiasaan baru, berlangsung terus menerus selama empat bulan (Maret s/d sekarang)- sepertinya saya sudah tidak seperti yang dulu lagi.
Enggan berjabat tangan, enggan berkumpul, enggan ikut pertemuan atau makan-makan bareng di warung, enggan berkunjung dan selalu waspada menerima kunjungan, seringkali memilih 'mengurung diri' di ruang kerja. Akhirnya pun tak terasa kemudian tersadar bahwa saya belakangan cenderung mengindividu gara-gara pandemi yang sampai kini masih menjadi ancaman.
Nah, melalui sikap atau perilaku demikian bukannya saya dilanda panik berlebihan, apalagi terkesan menyombongkan diri enggan untuk berinteraksi sosial secara tatap muka. Jauh dari itu, hal yang mendasari kenapa saya cenderung individualis dikarenakan sikon pandemi yang urgent sehingga dengan terpaksa 'membatasi diri' dalam artian saling melindungi agar tak terjangkit Covid-19.
Barangkali teman-teman/kolega atau relasiku yang membaca tulisan ini dapat memahami sekaligus memaklumi bahwa situasi dan kondisilah yang telah memaksa saya cenderung mengindividu karena belum memungkinkan untuk kembali berkumpul, berdiskusi, bersantap-makan bersama, atau pertemuan lainnya.
Bagaimanapun, relationship perlu terus kita tumbuh kembangkan. Persoalan jarak fisik jangan sampai menjadikan penghalang, toh di zaman kekinian telah tersedia teknologi informasi dan komunikasi yang dapat menunjang segala kegiatan, kapan pun dan dimana pun.
Sekali lagi, di masa pandemi yang belum berakhir- secara jujur saya memang 'terpaksa' cenderung mengindividu. Sikap demikian mendesak saya lakukan dan saya anggap pilihan terbaik mengingat individu itu sendiri sesungguhnya tidak selalu berkonotasi negatif.
Perlu dipahami bahwa secara umum pengertian individu merupakan sebuah tindakan yang mengutamakan kepentingan pribadi, mempertahankan kepribadian/kebebasan diri (walaupun saya bukan penganut individualisme) -- namun masih perduli/memerhatikan kepentingan orang lain.
Pastinya berbeda dengan sikap egois yang lebih mementingkan dirinya sendiri tanpa mau memerhatikan kepentingan orang lain. Yang ini tentu layak dienyahkan.
JM (22-7-2020). Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H