Kedua kakiku kuseret, Â
menembus debu dan angin pelan,Â
di depan nampak toko-toko kuno berderet,Â
tanpa nyawa dan tanpa harapanÂ
Â
Kesengsaraan jiwa yang melebihi batasku,Â
suara kereta lewat menderu-deru,Â
malam kelam tanpa bintangÂ
Tanpa bintang dan tanpa dirinya,Â
impian bahagia pun sirna,Â
langkah pelanmu waktu itu menambah sengsara,Â
selagi kau menghilang dari mataÂ
Kulewati sebuah gereja tua,Â
gedung yang semua orang telah lupa,Â
tak nampak satu pun nyawa,Â
di dalam diriku pun tak adaÂ
Begitu banyak pertanyaan,Â
Dimanakah kau, kasih?Â
Sudahkah kau menemukan seseorang?Â
Seorang pengganti untuk diriku ini?Â
Pertanyaan yang menyiksa batin,Â
memperlambat langkah tubuh lemah ini,Â
ingin rasanya kuberbaring,Â
di padang rumput denganmu disampingkuÂ
Seperti setahun lalu,Â
saat jam 2 pagi kau tak bisa tidur,Â
lalu kita berbaring di padang rumput hijau,Â
menatapi langit berbintang tak teraturÂ
Kini yang kutatap hanyalah objek tak bernyawa,
semuanya melangkah senada,
tak ada yang tertawa,
kecuali sepasang kekasih remaja
Menyodorkan kebahagiaan di hadapan jiwa-jiwa mati,
nyawa-nyawa yang tak begitu berarti,
terbawa arus malam hari,
terkenang kau di hati
Senyuman indahmu,
Rambut halusmu,
Bibir lembutmu,
Pelukan hangatmu
Semua telah lenyap,
diiringi kata-kata menyayat,
selagi kau dekap,
'Maafkan aku, kasih, tapi kisah cinta tak lagi dapat kita pahat'
Kepala ini kurasa berat,
saat kumasuki kereta terakhir,
tak ada makna tersirat,
kini jelas bagiku, kau bukanlah takdir
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H