Mengandung lima sila utama
Ketuhanan, kemanusiaan
Persatuan, kerakyatan, keadilan
Puisi kedua berjudul "Pancasila, Jiwa Bangsa, dan puisi ketiga berjudul "Pancasila, Harapan Bangsa".
Puisi dalam konteks 1 Juni 1945 tersebut adalah seni presentasi kata kreatif yang dipertontonkan Bung Karno. Bentuk puisi dalam melengkapi Pidato 1 Juni 1945 tersebut, sama persis ketika Anda menggambar mural atau grafiti pada tembok, dimana Anda lebih bebas menyampaikan isi kepala dengan menggambar, ketimbang berbicara secara teks atau lisan tentang sebuah realitas.
Bung Karno dengan kecakapan lengkapnya menguasai seni berpidato dan berpuisi yang penguasaan kemampuan itu digabungkan dalam waktu bersamaan untuk memadatkan bentuk penyampaiannya. Dan kita sama sekali tidak menangkap pesan dan nilai fiksi atau mengajak kita untuk berkhayal dalam puisinya, justru menyadarkan kepada kita bahwa penjajah itu rakus. Itu kata jelasnya, kata makna tersembunyi lainnya adalah jika Anda rakus atau korupsi, maka Anda juga sama dengan penjajah. Jadi jelas bahwa puisi Bung Karno bukanlah daya imajinatif untuk menciptakan khayalan bagi pendengarnya tapi justru puisi tersebut menyadarkan kita bahwa ini loh Pancasila, tugas kita adalah menjaga nilai-nilainya. Dibangun dari perjuangan yang nyata, bukan khayalan.
Kita jangan tergesa-gesa mengelompokkan puisi masuk kedalam fiksi atau nonfiksi. Bila tidak bisa memasukkan puisi dalam kategori fiksi dan nonfiksi, maka kita tak perlu memaksakan dengan alibi hanya ada dua jenis karya, fiksi dan nonfiksi.
Menurut saya, puisi merupakan genre seni tulis kreatif tersendiri dengan cita rasa sastra sendiri yang lebih bebas dan tidak terikat pada faktualisasi atau berdasarkan kenyataan, atau mengandung kebenaran.
Kekuatan puisi adalah keberpihakan penulis pada nilai-nilai dari kejadian. Uniknya puisi realitas cenderung tidak abu-abu dengan kata kiasaannya, sebab kata kiasan digunakan hanya kepentingan cita rasa kata, bukan mengubah tema teks karya tersebut jadi fiksi atau khayalan.
Ada banyak contoh-contoh puisi yang sama sekali ditulis bukan untuk tujuan mengarang cerita khayalan.
Chairil Anwar