Aku menyukai tempat ini, memandang jalur-jalur kereta seolah itu merupakan mainan masa kecilku, mengagumi lengkungan-lengkungan baja atap stasiun, dinding putih dengan jendela-jendela kuno, pintu-pintunya yang besar dan tiang-tiang lampu klasik.
Perempuan itu berdiri tepat di sampingku; tanpa make-up. Tanpa wangi parfum. Tanpa wig berwarna. Dia memandangku seakan tahu aku yang pria sama yang memperhatikannya kemarin, membuatku terjebak dalam situasi yang aneh.
"Ke Bekasi juga?" tanyanya.
"Iya," jawabku. "Rumah kamu di Bekasi?"
"Tidak. Aku mau jenguk teman," jawabnya, membuka jalan untuk percakapan lebih lanjut. Kau bisa menebak apa pertanyaanku selanjutnya.
"Sakit apa?"
"DBD. Sudah seminggu di rumah sakit."
Kereta datang jam 8.45, lima belas menit terlambat seperti biasa. Gerbong cukup lengang, sedikit orang yang pergi ke Bekasi pada pagi hari di jam kerja. Kami duduk di bangku dekat sambungan gerbong.
"Aku Rita. Asli Jogja," dia memperkenalkan diri, lalu bercerita sedikit tentang Jogja, makanan kesukaannya dan betapa dia merindukan ibunya. Tidak ingin membiarkanku hanya menjadi pendengar, dia menanyakan pekerjaanku.
"Aku satpam," jawabku, berhasil menahan diri untuk tidak menanyakan pertanyaan yang sama.