"Aku ingin kau menikah denganku."
"Aku tidak bisa," jawabnya, mengejutkanku. "Aku bukan orang yang tepat buatmu."
"Apakah ini karena pekerjaanmu? Tidakkah kita bisa menyikapi permasalahan ini dengan bijaksana?"
"Aku akan pulang ke Jogja untuk merawat ibuku."
"Aku bisa ambil cuti. Atau, kalau perlu mencari pekerjaan di sana."
Rita menghela nafas, lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berkata,
"Dengarlah, ini demi kebaikan kita. Simpan cincin ini baik-baik dan berikan kepada perempuan yang benar-benar kaucintai, seorang perempuan sejati."
Aku terdiam cukup lama, tapi tidak cukup tahu saat dia pergi meninggalkanku.
Keesokan, aku tidak melihatnya lagi di stasiun Jatinegara. Pun tidak ada kabar darinya. Nomor ponselnya tidak lagi aktif. Aku menunggunya terus, tapi tidak pernah ada kabar lagi. Hingga pada suatu hari di pertengahan Maret 2015 ...
Pagi itu Stasiun Jatinegara sangat padat, aku membaur bersama ratusan orang membawa tas-tas besar, yang menunggu kereta ke luar kota, yang duduk-duduk mengobrol dalam bahasa Jawa. Satu kereta terparkir di jalur tiga, gerbongnya berwarna putih, mesinnya meraung-raung mengeluarkan asap putih. Terdengar bunyi pengumuman dari pengeras suara, pemberitahuan kedatangan kereta ke Surabaya di jalur satu.
Aku selalu menyukai tempat ini, memandangi jalur-jalur kereta seolah itu merupakan mainan masa kecilku, mengagumi lengkungan-lengkungan baja atap stasiun, dinding putih dengan jendela-jendela kuno, pintu-pintunya yang besar dan tiang-tiang lampu klasik.Â