"Oh Bobby, maafkan aku."
Tapi Bobby tidak menghiraukan permintaan maaf saya. Ia malah berdiri, lalu meninggalkan saya begitu saja.
Saya menghabiskan soda saya sambil memandang Bobby yang tengah menyeberangi jalan menuju bengkel. Ia sama sekali tidak menengok ke belakangnya, ke teman lamanya ini. Meskipun demikian, saya tidak menyesal dengan apa yang barusan saya lakukan. Bobby memang pantas mendapatkannya.
Sinar matahari sudah menerangi sebagian teras mini market, menerpa wajah dan menyilaukan mata. Saya berpindah tempat duduk di kursi yang tadi diduduki Bobby. Mercedes Benz-nya Bobby terlihat mundur ke luar bengkel, seorang mekanik membantunya turun ke jalan, mobilnya dibelokkan ke kanan, lalu melaju ke arah timur.
Baru jam 9.15. Masih 15 menit lagi hingga anak bungsu saya selesai sekolah. Saya menelpon Bambang, adik kelas saya di SD, yang jadi direktur SDM di perusahaan yang disebutkan Bobby tadi, XXX XXXX Investment itu.
"Bang, tolong dicek, ada karyawan yang namanya Bobby, ... Bobby Ferdian?"
"Ada, Mas. Staf di bagian Legal," sahut Bambang.
"Bagaimana dia?"
"Rajin, loyal, kerjanya bagus. Dia yang pergi ke London Sabtu nanti sama Mr. David dan Pak Tanto. Ada apa ya, Mas?"
"Nggak apa-apa."
"Lagi di mana, Mas?"