Mohon tunggu...
Jinx_adindamiftakhul jannah
Jinx_adindamiftakhul jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Stain Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau

Hukum Keluarga Islam

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kekerasan Seksual di Ruang Lingkup Kampus

15 Desember 2021   14:00 Diperbarui: 15 Desember 2021   14:08 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dari perspektif agama pun, perempuan itu bukan objek seksual, kenapa tidak dilihat dia perempuan sebagai profesor, pendaki, koki, penceramah, bukan hanya dari segi seksualnya saja. Cara berpikir masyarakat Indonesia itu perlu dipertanyakan," ujar Profesor Alimatul Qibtiyah.

Hal senada disampaikan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani. Menurutnya, korban yang kerap disalahkan oleh masyarakat sering menghadapi pengucilan bahkan sampai pengusiran dari tempat tinggal karena dianggap menodai komunitas masyarakat itu.

"Hambatan korban biasanya takut disalahkan, takut tidak dipercayai, atau takut dilaporkan balik dan tidak mendapat dukungan," ungkap Andy.

"Kalau situasi di kampus biasanya korban disalahkan, disudutkan, diminta damai, atau ditantang melapor ke polisi jika berani. Sementara kondisi korban tidak yakin bahwa yang dialaminya adalah kekerasan seksual, menyalahkan diri sendiri, dan merasa takut," ujarnya.

Menurut data Komnas Perempuan, setiap 2 jam, ada 3 perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, ujar dia rata-rata 30% kasus yang dilaporkan adalah kekerasan seksual.Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan juga terus meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 40% dari 1.419 kasus yang dilaporkan tahun 2019 merupakan kekerasan seksual. Sedangkan tahun 2020 meningkat menjadi 53% dari 2.389 kasus.

Bahkan menurutnya, dalam penelitian terbaru terdapat 1.011 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Islam. Lebih dari 70% masyarakat kampus mengetahui hal tersebut namun tidak bisa menemukan jalan penyelesaian.

Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual resmi diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 2021. Aturan ini disebut bertujuan memenuhi hak warga Negara atas pendidikan tinggi yang aman. Namun sayang,peraturan ini mendapatkan tentangan dari golongan tertentu yang justru menganggap aturan tersebut melegalkan seks bebas.

Khaerul Umam Noer yang merupakan dosen di Program Studi Gender SKSG UI berkata, kekerasan dalam bentuk apa pun bukan semata soal fisik dan psikis tapi ketimpangan relasi kuasa. Misalnya, penguasa cenderung lekat dengan budaya kekerasan, atau senioritas di kampus.Karena pelaku dekat dengan dekan atau rektor misalnya atau pelaku merupakan dosen senior di kampus, membuat korban tidak bisa melakukan complaint.

Ia menyarankan agar tiap kampus membuat komunitas antikekerasan seksual tempat korban bisa melapor tiap kasus ke sana. Komunitas tersebut, ujar dia, harus mendapat perlindungan dari kampus.

Khaerul menegaskan bahwa yang dilindungi bukan hanya korban, tapi juga saksi dan pelapornya. Ini salah satu cara mendidik civitas kampus, yang ketika tahu ada kasus mereka punya rasa tanggung jawab moral untuk beri tahu hal tersebut. Apakah dia dosen, tenaga pendidik, atau mahasiswa punya tanggung jawab bersama menjaga kampus dari kekerasan seksual, bukan hanya menjaga nama baik kampus.

SIMPULAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun