Abstract
Sexual violence often appears around us, especially oftendetrimental to women. However, most of the victims of the violence in fact not many report it, one of the most frequent forms found is sexual harassment. Sexual harassment is defined as a unacceptable circumstances, whether verbal, physical or sexual cues and derogatory statements or sexually explicit information differentiate. This unwanted action turned out to not only happen in only in the private sphere, but has led to the public sphere and can come from from known people such as friends in the educational environment.
The psychological and physical impacts that the victim receives are, Trauma, years of emotions being easily triggered by memories of the incident Hair loss Decreased appetite.
The method used is literature study. Which data is obtained from references, articles, and internet browsing related to system analysis.
Keywords: Â Sexual Violence, Sexual Harassment.
Abstrak
Kekerasan seksual sering muncul di sekitar kita, apalagi seringkali merugikan perempuan. Namun sebagian besar korban kekerasan ternyata tidak banyak yang melaporkannya, salah satu bentuk yang paling sering ditemukan adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual didefinisikan sebagai keadaan yang tidak dapat diterima, baik isyarat verbal, fisik atau seksual dan pernyataan yang merendahkan atau membedakan informasi eksplisit secara seksual. Tindakan yang tidak diinginkan ini ternyata tidak hanya terjadi di ranah privat saja, tetapi sudah mengarah ke ranah publik dan bisa berasal dari orang-orang yang dikenal seperti teman-teman di lingkungan pendidikan.
Dampak psikologis dan fisik yang diterima korban adalah, Trauma, emosi bertahun-tahun mudah terpicu oleh kenangan akan kejadian Rambut rontok Nafsu makan berkurang.
Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan. Data mana yang diperoleh dari referensi, artikel, dan browsing internet yang berkaitan dengan analisis sistem.
Kata kunci: Kekerasan Seksual, Pelecehan Seksual.
Â
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini, pemberitaan mengenai kekerasan semakin marak diberitakan di media-media, baik cetak maupun elektronik. Bahkan tidak jarang media itu sendiri juga turut menjadi pelaku dari kekerasan. Di sini, kekerasan yang dimaksud tidak melulu berkaitan dengan tindakan tembakan, pukulan atau dengan tetesan darah. Kekerasan adalah suatu penyerangan yang berakibat menyakiti seseorang, baik berupa verbal maupun non-verbal, dan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Jenis-jenis kekerasan juga dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satu yang sering menjadi sorotan adalah Kekerasan Berbasis Gender (KBG).
KBG dapat terjadi di manapun, dari ruang privat hingga ruang publik, yang nyata diketahui banyak orang.
Selain itu, KBG dapat dilakukan dalam berbagai bentuk: kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Akan tetapi, pembahasan dalam penelitian ini akan mengarahkan pembaca pada kekerasan dalam bentuk seksual, yang mana salah satunya menyangkut pelecehan seksual. Sexual harassment atau pelecehan seksual sering kali terjadi disekitar kita, dengan atau tanpa disadari.
Pelecehan seksual diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diterima, baik secara lisan, fisik atau isyarat seksual dan pernyataan-pernyataan yang bersifat menghina atau keterangan seksual yang bersifat membedakan, di mana membuat seseorang merasa terancam, dipermalukan, dibodohi, dilecehkan dan dilemahkan kondisi keamanannya. Pada dasarnya, pelaku pelecehan dapat dilakukan oleh laki-laki dan perempuan; baik laki-laki terhadap perempuan, perempuan terhadap perempuan, bahkan antar sejenis yaitu laki-laki terhadap laki-laki dan perempuan terhadap perempuan. Bentuknya dapat berupa verbal dan non-verbal, dan dapat dijumpai di manapun, kapanpun, kepada siapapun dan oleh siapapun, tanpa mengenal status atau pangkat. Rchmond dan Abbott (1992:329) menyatakan,bahwa hanya sekitar satu per sepuluh kasus-kasus pelecehan seksual sesame jenis yang diberitakan. Meski demikian,tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya perempuan kerap kali menjadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual oleh laki-laki,sehingga setiap harinya bahkan setiap saat perempuan harus merasa berwaspada terhadap serangan-serangan yang akan menimpanya.
Menurut data WHO 2006 (dalam artikel Kinasih,2007:11),ditemukan adanya seorang perempuan dilecehkan,diperkosa dan dipukuli setiap hari di seluruh dunia. Paling tidak setengah dari penduduk dunia berjenis kelamin perempuan telah menglami kekerasan secara fisik. Bahkan,pelecehan ini telah terjadi di tempat-tempat umum dan tanpa disadari oleh korban pelecehannya. Misalnyaa,kasus pelecehan menjadi mimpi buruk bagi kaum hawa,terutama di Ibu Kota, Jakarta. Berdasarkan sumber okezone.com, (wirakusuma,2011) perempuan yang menaiki jasa mobil angkutan kota di malam hari akan merasakan takut yang berlebih sehingga mereka harus menyamarkan penampilan mereka seperti seorang laki-laki. Seorang karyawati asal Ciputat, bernama Tugga Pawestri (30) mengaku harus pulang kantor pada malam hari atau diatas pukul 22.00 WIB. Sebelum menaiki angkot tersebut,beliau harus memakai jaket tebal dan topi agar tampak seperti laki-laki, agar dapat terlepas dari tindak pelecehan seksual di angkot.
Pelecehan Seksual ini merupakan latar belakang dari kekerasan,sehingga hukum di Indonesia pun menciptakan suatu undang-undang perlindungan perempuan,yang terdapat pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia,yang mana merupakan pengaturan pasal-pasal pelecehan seksual: (a) KUHP Pasal 289-296 merupakan pasal-pasal tentang pencabulan, (b) KUHP Pasal 295-298 dan Paal 506 merupakan pasal-pasal tentang Penghubungan Pencabulan, dan (c) KUHP Pasal 281-299,532-533 dan lain-lain merupakan pasal-pasal tentang Tindak Pidana terhadap Kesopanan. (Laluyan,2009).
Meski terdapat aturan hukum mengenai pelaku pelcehan,kaum lelaki tetap merasa lebih berkuasa dibanding perempuan dan konotasi perempuan menjadi makhluk yang lemah. Hal ini terbukti dari kasus-kasus pelecehan yang nyata ada dimana-mana. Â Bukan hanya di tempat umum,kasus pelecehan seksual juga dapat terjadi pada lingkup yang tertutup,seperti lingkungan akademis. Pelecehan seksual,baik guru atau dosen terhadap murid/mahasiswa atau sebaliknya,serta antar guru/dosen dan antar murid/mahasiswa tidak dapat dipungkiri dalam dunia pendidikan. Maka, dalam hal ini peneliti menyingkap kasus pelecehan yang terjadi diantara mahasiswi/mahasiswi yang berada pada lingkungan akademis, tepatnya pada kampus.
PEMBAHASAN
"Banyak kasus kekerasan seksual terjadi di kampus namun disembunyikan atas nama baik kampus. Fenomena ini seperti gunung es," ujar Profesor Nina Nurmila dari UIN Sunan Gunung Jati. (Tri Dianti,2021).
Kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi kian mencuat. Satu demi satu terungkap kasus yang terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia.Salah satunya, Bunga (28), bukan nama sebenarnya, bercerita 10 tahun lalu pernah dilecehkan oleh salah satu dekan di universitas tempat ia kuliah. Seorang dekan pernah menegurnya di depan ratusan mahasiswa hanya karena ia memakai jeans dan kaos saat ke kampus.
Bunga berujar sambil menirukan dekan tersebut,"Hei mba,yang pakai baju ketat,nanti bisa diperkosa lho di angkot."
Kala itu,Bunga tentu merasa sangat marah karena baginya itu bukan merupakan hal yang tidak etis dikatakan oleh seorang dosen. Namun ia hanya bis berpikir maklum,mungkin karena ia berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri Islam,sehingga ada peraturan berbusana ke kampus. Ia juga menyaksikan seorang teman didiskriminasi oleh seorang dosen. Melati, teman Bunga itu terpaksa mendapatkan nilai jelek hanya karena menolak ajakan dosen tersebut untuk berjalan-jalan.
Profesor Studi Islam dan Gender dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati Bandung, Nina Nurmila, mengatakan kekerasan seksual merupakan tindakan merendahkan derajat manusia yang berakibat kesengsaraan atau menyebabkan penderitaan korban secara fisik, seksual, dan psikologis.Ia mengakui kekerasan seksual banyak terjadi justru di lingkungan kehidupan sehari-sehari seperti misalnya dalam rumah tangga, komunitas, maupun lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi.
"Tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman dan mendapatkan perlindungan justru paling rawan terjadi. Pelaku bisa siapa saja termasuk orang tua, atasan, dosen, atau mahasiswa," kata Profesor Nina Nurmila kepada DW Indonesia.
Berdasarkan data Komnas Perempuan, jumlah pelaporan kekerasan seksual terhadap perempuan sangat tinggi. Pada 2020 terdapat 2.945 laporan yang tercatat. Sementara selama 9 tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatatkan setidaknya ada 45.069 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan.
Kasus kekerasan seksual kembali menjadi sorotan baru-baru ini lantaran seorang mahasiswi Universitas Riau mengaku mengalami pelecehan seksual oleh dosen pembimbing skripsinya. Ia mengaku di pegang tangannya secara sensual, dicium pipi dan keningnya oleh sang dosen saat bimbingan skripsi. Korban juga mengaku dipegang pundaknya oleh dosen tersebut.
Tak terima dituduh, dosen tersebut melaporkan balik sang mahasiswi dan menuntutnya Rp10 miliar karena mencemarkan nama baik. Saat ini, kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan oleh Kepolisian Riau.
Profesor Nina Nurmila sangat menyayangkan, selama ini perguruan tinggi cenderung menutup diri dan berpihak pada pelaku dengan meredam atau menyembunyikan terjadinya kasus demi menjaga nama baik kampus. Padahal,meredam laporan korban seolah justru semakin memberikan lampu hijau kepada pelaku untuk terus melakukan kekerasan seksual.
"Dampak kekerasan seksual bagi korban sangat banyak mulai dari kesehatan fisik, psikis, dan relasi sosial. Belum lagi, ujar dia, jika korban memiliki impian besar, maka dampak kekerasan seksual terhadap korban adalah menghancurkan hidup seseorang," kata beliau.
Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Profesor Alimatul Qibtiyah Ph.D., mengatakan masyarakat Indonesia hampir 70% gemar menyangkal dan cenderung menyalahkan korban.
"Masyarakat Indonesia mayoritas masih menyalahkan perempuan yang diperkosa adalah karena memakai pakaian yang terbuka, atau karena keluar malam sendiri. Faktanya adalah, pelaku kekerasan seksual tidak mengenal model pakaian yang dikenakan korban," katanya.
Berdasarkan penelitian, dosen pria dan mahasiswa pria tidak menyebut kekerasan seksual sebagai masalah di kampus. Sementara banyak mahasiswi dan dosen perempuan yang justru menyatakan kekhawatiran terbesar mereka adalah kekerasan seksual di kampus. Mereka menganggap pelecehan seksual merupakan pelanggaran etika yang paling buruk.
"Dari perspektif agama pun, perempuan itu bukan objek seksual, kenapa tidak dilihat dia perempuan sebagai profesor, pendaki, koki, penceramah, bukan hanya dari segi seksualnya saja. Cara berpikir masyarakat Indonesia itu perlu dipertanyakan," ujar Profesor Alimatul Qibtiyah.
Hal senada disampaikan Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani. Menurutnya, korban yang kerap disalahkan oleh masyarakat sering menghadapi pengucilan bahkan sampai pengusiran dari tempat tinggal karena dianggap menodai komunitas masyarakat itu.
"Hambatan korban biasanya takut disalahkan, takut tidak dipercayai, atau takut dilaporkan balik dan tidak mendapat dukungan," ungkap Andy.
"Kalau situasi di kampus biasanya korban disalahkan, disudutkan, diminta damai, atau ditantang melapor ke polisi jika berani. Sementara kondisi korban tidak yakin bahwa yang dialaminya adalah kekerasan seksual, menyalahkan diri sendiri, dan merasa takut," ujarnya.
Menurut data Komnas Perempuan, setiap 2 jam, ada 3 perempuan di Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Selain itu, ujar dia rata-rata 30% kasus yang dilaporkan adalah kekerasan seksual.Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan juga terus meningkat tiap tahunnya. Sebanyak 40% dari 1.419 kasus yang dilaporkan tahun 2019 merupakan kekerasan seksual. Sedangkan tahun 2020 meningkat menjadi 53% dari 2.389 kasus.
Bahkan menurutnya, dalam penelitian terbaru terdapat 1.011 kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Islam. Lebih dari 70% masyarakat kampus mengetahui hal tersebut namun tidak bisa menemukan jalan penyelesaian.
Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual resmi diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 2021. Aturan ini disebut bertujuan memenuhi hak warga Negara atas pendidikan tinggi yang aman. Namun sayang,peraturan ini mendapatkan tentangan dari golongan tertentu yang justru menganggap aturan tersebut melegalkan seks bebas.
Khaerul Umam Noer yang merupakan dosen di Program Studi Gender SKSG UI berkata, kekerasan dalam bentuk apa pun bukan semata soal fisik dan psikis tapi ketimpangan relasi kuasa. Misalnya, penguasa cenderung lekat dengan budaya kekerasan, atau senioritas di kampus.Karena pelaku dekat dengan dekan atau rektor misalnya atau pelaku merupakan dosen senior di kampus, membuat korban tidak bisa melakukan complaint.
Ia menyarankan agar tiap kampus membuat komunitas antikekerasan seksual tempat korban bisa melapor tiap kasus ke sana. Komunitas tersebut, ujar dia, harus mendapat perlindungan dari kampus.
Khaerul menegaskan bahwa yang dilindungi bukan hanya korban, tapi juga saksi dan pelapornya. Ini salah satu cara mendidik civitas kampus, yang ketika tahu ada kasus mereka punya rasa tanggung jawab moral untuk beri tahu hal tersebut. Apakah dia dosen, tenaga pendidik, atau mahasiswa punya tanggung jawab bersama menjaga kampus dari kekerasan seksual, bukan hanya menjaga nama baik kampus.
SIMPULAN
Kekerasan seksual dapat terjadi pada lingkungan yang bahkan dianggap aman,seperti lingkungan akademis. Kerap kali korban dari kekerasan seksual di lingkungan akademis merupakan, siswi dan mahasiswi. Kampus yang selalu menyembunyikan kasus pelecehan yang terjadi dengan dalih menjaga nama baik kampus membuat korban merasa tidak dilindungi.
Dalam aturan baru Permendikbud Ristek nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual resmi diterbitkan pada tanggal 31 Agustus 2021, kampus diwajibkan melakukan pencegahan kekerasan seksual melalui pembelajaran,penguatan tata kelola,serta penguatan budaya komunitas mahasiswa,pendidik dan tenaga kependidikan. Pencegahan dilakukan dengan menyediakan layanan pelaporan kekerasan seksual,melatih mahasiswa,pendidik,tenaga kependidikan, dan warga kampus terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual,serta melakukan sosialisasi secara berkala terkait upaya pedoman pencegahan kekerasan seksual di lingkup kampus.
Setiap kampus juga diminta untuk memasang tanda informasi yang berisi pencantuman layanan aduan kekerasan seksual, dan peringatan bahwa kampus tidak mentoleransi kekerasan seksual.
DAFTAR PUSTAKA
Andaryuni, Lilik. (2012). To Promote: Membaca Perkembangan Hak Asasi Manusia
di Indonesia (Editor: Eko Riyadi). Yogyakarta: PUSHAM UII
InternetÂ
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-59198733Â
https://www.dw.com/id/kekerasan-seksual-di-kampus/a-59838953Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI