Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cawe-Cawe Inggris dalam Suksesi Keraton Yogyakarta

19 Oktober 2024   13:27 Diperbarui: 19 Oktober 2024   17:35 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terjadi insiden pada bastion (benteng) timur laut keraton Yogya, saat meriam milik keraton  Kyai Nagarunting meledak saat ditembakkan. Beberapa pengawaknya (anggota Bregada Setabel pasukan artileri keraton), mereka mengalami luka bakar. Juga, sebuah gudang amunisi yang dijaga anggota brigade Bugis keraton Yogyakarta juga dilaporkan meledak terkena peluru meriam Inggris.

Pertempuran utama terjadi pada tanggal 20 Juni 1812 yang dimenangkan oleh Inggris. Dimulai pada saat subuh dinihari, pasukan Inggris menggunakan tangga-tangga bambu yang disiapkan oleh sekutu Inggris, Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing untuk masuk ke dalam keraton. Selain itu, terjadi pula penembakan terhadap plengkung (gapura lengkung benteng keraton) Tarunasura (sebelah barat Alun-alun Kidul) dan pintu Pancasura (kini disebut plengkung Wijilan) yang memperparah dampak penyerbuan.

Penyerangan tersebut mengakibatkan banyak Keraton Yogyakarta banjir darah, banyak kerabat keraton yang tewas, antara lain salah satu dari ketiga menantu sultan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat, panglima pasukan keraton dan Ratu Kedaton. Saat pasukan Inggris berhasil mengepung kedhaton (pusat bangunan keraton), Sultan Hamengkubuwana II menyerah dengan berpakaian serba putih. Seluruh perhiasan di tubuh sultan dan rombongannya dilucuti oleh pasukan Inggris.

Pasukan Inggris kemudian menjarah seisi keraton dan mengambil naskah-naskah mulai dari daftar kepemilikan tanah hingga manuskrip penting lainnya milik istana. Selain itu, perhiasan, keris, perangkat alat musik di dalam keraton diangkut semua ke kediaman residen menggunakan pedati yang ditarik sapi dan kuli-kuli panggul.

Sultan Hamengkubuwono II ditangkap beserta para pangeran yang masih tersisa. Keraton Yogyakarta berhasil diduduki. Serangan Inggris yang berlangsung tiga hari tersebut benar-benar mengubah hampir seluruh tatanan lama Kasultanan Yogyakarta. Keraton porak peranda.

Sultan Hamengkubuwono II kemudian dilengserkan oleh kolonial Inggris, dan dibuang ke Pulau Penang Malaya. Inggris mengangkat Sultan baru, Pangeran Suraja (kelahiran 1769) menjadi Hamengku Buwana III. Ini merupakan bukti 'cawe-cawe' kolonial Inggris yang paling kentara terhadap suksesi di keraton Yogyakarta. Suksesi jumenengan (penobatan) yang biasanya dilakukan sesuai adat istiadat keraton berubah menjadi suksesi sesuai keinginan Kolonial Inggris. Tentunya dengan upacara pelantikan Hamengku Buwana III dilakukan di Loji Residen Yogyakarta dan menyejajarkan pemimpin kolonial Inggris, Thomas Stamford Raffles, dengan sang sultan baru. Hamengku Buwana III adalah ayahanda Pangeran Diponegoro alias BRM Mustahar alias RM Ontowiryo. Ketika terjadi Geger Sepoy di Yogyakarta, Diponegoro sudah berusia 27 tahun.

Geger Sepoy memang berdaya rusak besar terhadap keberlangsungan pemerintahan di Yogyakarta. Inggris tak hanya mengubah tatanan Keraton Yogyakarta akan tetapi juga  melakukan berbagai kebijakan yang merugikan pihak keraton, setelah berhasil menguasainya dan menangkap Sultan Hamengkubuwono II.

Kebijakan Inggris yang merusak tatanan Keraton Ngayogyakarta adalah, pertama Adipati Anom Surojo yang sudah diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwana III pada 28 Juni 1812 dipaksa harus tunduk kepada pemerintah Gubernemen Inggris. Kedua, Inggris mengangkat Pangeran Natakusuma sebagai pemimpin "kepangeranan yang merdeka" bernama Kadipaten Pakualaman dan dia bergelar Adipati Paku Alam I. Ketiga, Inggris juga mengangkat Adipati Anom Ibnu Jarot (10 tahun) sebagai Sultan Hamengku Buwana IV menggantikan ayahnya (HB III) yang meninggal pada tahun 1814.

Alih-alih mengangkat Pangeran Diponegoro putra sulung HB III, kolonial Inggris malah lebih memilih mengangkat Sultan Jarot putra HB III dari isteri yang lain, meskipun masih di bawah umur. Disebut juga sebagai Sultan Seda Pasiyar karena Sultan Jarot pun meninggal masih dalam usia muda, saat belum genap 18 tahun pada 1822.

Pada era pemerintahan Hamengku Buwana IV alias Sultan Jarot ini terjadilah tradisi baru di keraton Yogyakarta. Karena usia Sri Sultan masih terlalu muda, belum genap 10 tahun, maka pemerintahan Keraton Ngayogyakarta pun dijalankan melalui sistem perwalian. Paku Alam I, alias Pangeran Natakusuma yang diangkat oleh Inggris atas jasanya membantu Bedhah keraton Yogyakarta (1812), dipilih Inggris sebagai perwalian Sultan Ngayogyakarta.

Jiwa Perlawanan HB II

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun