Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cawe-Cawe Inggris dalam Suksesi Keraton Yogyakarta

19 Oktober 2024   13:27 Diperbarui: 20 Oktober 2024   04:55 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pakeliran Wayang Diponegoro dengan dalang Ki Catur Kuncoro di dalem Yudhanegaran, Yogyakarta pada tahun 2017. (Foto Jimmy S Harianto)

Kengerian akibat Perang Sepoy yang memporak-perandakan Keraton Ngayogyakarta pada 19-20 Juni 1812 digambarkan secara dramatis oleh dalang Wayang Diponegoro, Ki Catur Kuncoro di pendapa Dalem Yudhanegaran, Yogyakarta pada Rebo Paing (29.08.2017) silam.

"Banyu getih neng alun-alun nganti sak kemiri...,"

Banjir darah di Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta dilukiskan secara hiperbolis tingginya semata kaki manusia, kata ki dalang muda (waktu itu ia 42 tahun) asal Kadipiro, Kasihan, Bantul Yogyakarta ini pula. Darah berceceran dimana-mana di keraton Ngayogyakarta...

Lakon Wayang Diponegoro yang dimainkan Ki Catur Kuncoro alias Ki Benyek itu berjudul "Geger Spei". Atau Perang Sepoy yang hanya berlangsung dua hari, ketika pasukan Inggris dari Semarang menjebol tembok benteng Keraton Ngayogyakarta pada 19-20 Juni 1812. Meski hanya dua hari namun dampak kerusakan dan kerugian yang diderita Keraton Ngayogyakarta, yang kala itu diperintah Hamengku Buwana II alias Pangeran Sepuh sungguh parah luar biasa. Baik bagi kondisi fisik keraton, maupun kerugian material, mental, kultural dan spiritual bagi Yogyakarta.

Wayang Diponegoro diciptakan tahun 2016, oleh Gusti Bendara Pangeran Harya (GBPH) Yudhaningrat -- adik Sultan Yogyakarta Hamengku Buwana X --- bersama Rahadi Saptata Abro (keturunan ke-6 Pangeran Diponegoro dari trah Mertonegoro) dan Ki Roni Sodewo (keturunan ke-7 Pangeran Diponegoro dari trah Sodewo). Bentuk wayangnya tidak berbentuk figur klasik, akan tetapi benar-benar figur tokoh era Perang Jawa seperti Diponegoro, Basah Sentot B Prawirodirjo. Sosok tentara pun tentara Belanda, Inggris dengan kendaraan militernya, serta tentara-tentara kerajaan Yogyakarta. Ditatah oleh empu wayang Keraton Ngayogyakarta, Ki Sagio Perwitowiguno. Lakon pun seputar era sebelum Perang Jawa (1825-1830) serta era penjajahan Belanda serta kolonialisme Inggris pada awal abad ke-19.

Sejarawan asal Inggris, Peter Carey yang ikut menyaksikan pagelaran Wayang Diponegoro di dalem Yudhanegaran (2017) tujuh tahun lalu itu menuturkan, bahwa kekejaman yang terjadi selama invasi Inggris ke kraton Yogyakarta itu dilukiskan sungguh kelewat batas. Di antara yang mengerikan, dilukiskan Peter Carey, adalah kematian secara tragis Panglima Perang tentara Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumodiningrat.

"Dia ditangkap setelah sholat di sebuah langgar dekat rumahnya tak jauh dari Plengkung Nirbaya (alias Plengkung Gading sekarang ini). Rumahnya diberondong peluru. Dan setelah gugur jenasahnya dipotong-potong. Oleh kerabatnya diam-diam jenasah Panglima Perang Yogyakarta ini dikuburkan di pemakaman keluarga Sumodiningratan di Jejeran, Bantul, pada jam 10 malam," ungkap Peter Carey. Kebetulan waktu itu, Peter Carey membawa serombongan tur sejarah dari Jakarta, Semarang, Ambarawa dan Yogyakarta, napak tilas lokasi-lokasi invasi Inggris ke keraton Yogyakarta. Tur Peter Carey adalah dalam rangka peluncuran buku karyanya, "Inggris di Jawa tahun 1811-1816" terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK) tahun 2017. Peter Carey juga membawa rombongan itu "nyekar" ke makam Sumodiningrat, di belakang masjid Jejeran, Bantul.

Ngobrol dengan sejarawan Inggris Peter Carey (kanan) di sela pementasan Wayang Diponegoro di dalem Yudhanegaran beberapa saat silam. (Foto Tira Hadiatmojo)
Ngobrol dengan sejarawan Inggris Peter Carey (kanan) di sela pementasan Wayang Diponegoro di dalem Yudhanegaran beberapa saat silam. (Foto Tira Hadiatmojo)
"Mohon maaf atas kesalahan bangsa saya..," kata Peter Carey yang kelahiran Rangoon, Burma 30 April 1948 yang pada usia 7 tahun dulu sempat pindah bersama keluarganya ke Inggris. Peter Carey dalam beberapa kesempatan ceramahnya, sering mengucapkan permintaan maaf seperti ini.

Peristiwa tragis Geger Spei itu juga ditulis rinci dalam "Babad Bedhahing Ngayogyakarta" atau disebut juga "Babad Ngengreng" yang ditulis oleh putra mahkota Bendoro Pangeran Aryo Panular dalam bentuk tembang macapat dari Juni 1812 hingga Mei 1816. Kitab ini menjadi salah satu sumber otentik yang dipakai Peter Carey dalam buku terbarunya kala itu.

Penjarahan besar-besaran pun terjadi di keraton Ngayogyakarta pasca jebolnya tembok kraton.  Babad Bedhahing Ngayogyakarta melukiskan, bagaimana arus jarahan selama empat hari terus mengalir tanpa henti menuju kediaman Residen Inggris di Yogyakarta, diangkut menggunakan gerobak-gerobak yang ditarik sapi maupun digotong portir. Pasukan Inggris menjarah naskah-naskah yang tersimpan di keraton untuk dibawa ke Inggris (dan kini tersimpan di British Museum, London).

Jumlah naskah kuno yang dirampas Inggris diperkirakan lebih dari 7.000 buah. Terdiri dari berbagai variasi, dari daftar kepemilikan tanah hingga manuskrip istana. Juga dijarah, perhiasan berharga, keris-keris pusaka kerajaan, perangkat alat musik gamelan di dalam keraton, semua diangkut ke kediaman Residen Inggris. (Sisa-sisa penjarahan, kini masih bisa dilihat, tertinggal separuh perangkat gamelan slendro-pelog di dalem Joyokusuman di lingkungan Keraton Yogyakarta. Yang separuh set lagi kini di British Museum).

Sejumlah literatur bahkan menuliskan, uang perbendaharaan milik keraton Yogyakarta senilai 500.000 gulden (nilai sekarang kurang lebih 11,85 milyar) juga dirampas dan diambil oleh Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles di Semarang.

Tentara yang dikerahkan oleh Gubernur Jendral Raffles dari Semarang, adalah pasukan Inggris yang terdiri dari prajurit "sepoy" (tentara bayaran asal India yang bertugas di bawah kontrol kolonial Inggris). Mereka orang-orang India yang direkrut oleh East India Company (EIC). Pasukan sepoy ini dipakai Inggris dalam operasi militer mereka di seluruh Asia, termasuk di Jawa. Tidak heran, jika runtuhnya benteng di keraton Ngayogyakarta (1812) ini disebut sebagai Perang Sepoy.

Dalam lakon Wayang Diponegoro yang dimainkan Ki Dalang Catur Kuncoro, dijuduli "Geger Spei" menurut Ki Roni Sodewo (trah ke-7 keturunan Pangeran Diponegoro) berawal dari salah melafalkan dalam bahasa Jawa nama Panglima Perang Inggris dalam penyerangan ke Yogyakarta (1812), Robert Gillespie. Nama Gillespie menjadi Spei. Biasalah, "lidah jawa"....

Pasukan gabungan Eropa dan Sepoy jumlahnya 1.200 orang, pasukan Legiun Mangkunegaran Surakarta dipimpin oleh Prang Wedana, Mas Suradiraja 800 orang serta dukungan bangsawan dari Yogyakarta Pangeran Natakusuma (nantinya Paku Alam I) dan Tan Jin Sing alias Raden Tumenggung Secadiningrat, orang kepercayaan Sultan keturunan Cina dan mediator antara Sultan dan Inggris.

Cawe-cawe Suksesi

Geger Sepoy merupakan peristiwa penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta untuk menggulingkan Sultan Hamengku Buwana II yang menolak bekerjasama dengan pemerintahan kolonial yang baru.

Sultan Hamengku Buwana II alias Sultan Sepuh, adalah putra pendiri keraton Mataram Ngayogyakarta Hamengku Buwana I alias Pangeran Mangkubumi. Sifatnya yang keras dan tidak mudah berkompromi menghadapi kolonial, membuat dirinya tidak disukai -- baik oleh pihak kolonial Belanda sebelum kedatangan Inggris -- maupun penjajah Inggris (1811-1816). Karena sifat kerasnya, dua kali Sultan Hamengku Buwana II dilengserkan paksa oleh kolonial, dan tiga kali naik tahta jadi Sultan Yogyakarta.

Serangan Inggris ke Benteng Keraton Yogyakarta (1812) semula dilakukan secara diam-diam. Pada tanggal 13 Juni 1812, pasukan Inggris yang berkekuatan 1.000 orang (separuhnya orang Sepoy dari India) memasuki Benteng Vredeburg di luar keraton Yogyakarta secara diam-diam di malam hari. Gubernur Jendral Inggris, Thomas Stamford Raffles tiba di Yogyakarta dari Semarang pada 17 Juni 1812.

Keesokan harinya 18 Juni 1812 pukul 05.00 pagi, keluarga Pangeran Natakusuma penghubung Inggris dengan pihak keraton, lebih dulu "mengungsi" (menyusup) ke benteng keraton. Natakusuma dan pengikutnya memakai kain putih di lengan kiri, sebagai tanda pengenal agar nanti tidak diserang oleh tentara Inggris.

Pada hari itu, sebenarnya pasukan penyergap keraton yang dipimpin Raden Harya Sindureja berhasil mencegat pasukan kavaleri Inggris yang baru datang dari Semarang. Serangan sukses, tetapi rupanya itu menjadi kesuksesan satu-satunya yang dilakukan pasukan keraton Yogyakarta atas invasi Inggris.

Sehari sebelumnya, 17 Juni 1812, Raffles mengultimatum Sultan Hamengku Buwana II untuk menyerahkan kedudukan kepada putra mahkota GRM (Gusti Raden Mas) Suraja putra HB II. Sultan HB II menolak permintaan Inggris, sehingga pada 19 Juni 1812 pasukan Inggris mulai membombardir keraton sebagai peringatan keras. Tetapi Sultan HB II tetap mengacuhkan permintaan Inggris itu.

Terjadi insiden pada bastion (benteng) timur laut keraton Yogya, saat meriam milik keraton  Kyai Nagarunting meledak saat ditembakkan. Beberapa pengawaknya (anggota Bregada Setabel pasukan artileri keraton), mereka mengalami luka bakar. Juga, sebuah gudang amunisi yang dijaga anggota brigade Bugis keraton Yogyakarta juga dilaporkan meledak terkena peluru meriam Inggris.

Pertempuran utama terjadi pada tanggal 20 Juni 1812 yang dimenangkan oleh Inggris. Dimulai pada saat subuh dinihari, pasukan Inggris menggunakan tangga-tangga bambu yang disiapkan oleh sekutu Inggris, Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing untuk masuk ke dalam keraton. Selain itu, terjadi pula penembakan terhadap plengkung (gapura lengkung benteng keraton) Tarunasura (sebelah barat Alun-alun Kidul) dan pintu Pancasura (kini disebut plengkung Wijilan) yang memperparah dampak penyerbuan.

Penyerangan tersebut mengakibatkan banyak Keraton Yogyakarta banjir darah, banyak kerabat keraton yang tewas, antara lain salah satu dari ketiga menantu sultan Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumadiningrat, panglima pasukan keraton dan Ratu Kedaton. Saat pasukan Inggris berhasil mengepung kedhaton (pusat bangunan keraton), Sultan Hamengkubuwana II menyerah dengan berpakaian serba putih. Seluruh perhiasan di tubuh sultan dan rombongannya dilucuti oleh pasukan Inggris.

Pasukan Inggris kemudian menjarah seisi keraton dan mengambil naskah-naskah mulai dari daftar kepemilikan tanah hingga manuskrip penting lainnya milik istana. Selain itu, perhiasan, keris, perangkat alat musik di dalam keraton diangkut semua ke kediaman residen menggunakan pedati yang ditarik sapi dan kuli-kuli panggul.

Sultan Hamengkubuwono II ditangkap beserta para pangeran yang masih tersisa. Keraton Yogyakarta berhasil diduduki. Serangan Inggris yang berlangsung tiga hari tersebut benar-benar mengubah hampir seluruh tatanan lama Kasultanan Yogyakarta. Keraton porak peranda.

Sultan Hamengkubuwono II kemudian dilengserkan oleh kolonial Inggris, dan dibuang ke Pulau Penang Malaya. Inggris mengangkat Sultan baru, Pangeran Suraja (kelahiran 1769) menjadi Hamengku Buwana III. Ini merupakan bukti 'cawe-cawe' kolonial Inggris yang paling kentara terhadap suksesi di keraton Yogyakarta. Suksesi jumenengan (penobatan) yang biasanya dilakukan sesuai adat istiadat keraton berubah menjadi suksesi sesuai keinginan Kolonial Inggris. Tentunya dengan upacara pelantikan Hamengku Buwana III dilakukan di Loji Residen Yogyakarta dan menyejajarkan pemimpin kolonial Inggris, Thomas Stamford Raffles, dengan sang sultan baru. Hamengku Buwana III adalah ayahanda Pangeran Diponegoro alias BRM Mustahar alias RM Ontowiryo. Ketika terjadi Geger Sepoy di Yogyakarta, Diponegoro sudah berusia 27 tahun.

Geger Sepoy memang berdaya rusak besar terhadap keberlangsungan pemerintahan di Yogyakarta. Inggris tak hanya mengubah tatanan Keraton Yogyakarta akan tetapi juga  melakukan berbagai kebijakan yang merugikan pihak keraton, setelah berhasil menguasainya dan menangkap Sultan Hamengkubuwono II.

Kebijakan Inggris yang merusak tatanan Keraton Ngayogyakarta adalah, pertama Adipati Anom Surojo yang sudah diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwana III pada 28 Juni 1812 dipaksa harus tunduk kepada pemerintah Gubernemen Inggris. Kedua, Inggris mengangkat Pangeran Natakusuma sebagai pemimpin "kepangeranan yang merdeka" bernama Kadipaten Pakualaman dan dia bergelar Adipati Paku Alam I. Ketiga, Inggris juga mengangkat Adipati Anom Ibnu Jarot (10 tahun) sebagai Sultan Hamengku Buwana IV menggantikan ayahnya (HB III) yang meninggal pada tahun 1814.

Alih-alih mengangkat Pangeran Diponegoro putra sulung HB III, kolonial Inggris malah lebih memilih mengangkat Sultan Jarot putra HB III dari isteri yang lain, meskipun masih di bawah umur. Disebut juga sebagai Sultan Seda Pasiyar karena Sultan Jarot pun meninggal masih dalam usia muda, saat belum genap 18 tahun pada 1822.

Pada era pemerintahan Hamengku Buwana IV alias Sultan Jarot ini terjadilah tradisi baru di keraton Yogyakarta. Karena usia Sri Sultan masih terlalu muda, belum genap 10 tahun, maka pemerintahan Keraton Ngayogyakarta pun dijalankan melalui sistem perwalian. Paku Alam I, alias Pangeran Natakusuma yang diangkat oleh Inggris atas jasanya membantu Bedhah keraton Yogyakarta (1812), dipilih Inggris sebagai perwalian Sultan Ngayogyakarta.

Jiwa Perlawanan HB II

Cerita yang paling unik di antara raja-raja Mataram Yogyakarta adalah Sultan Hamengku Buwana II, alias Raden Mas Sundara alias Sultan Sepuh yang sangat tidak disukai oleh kolonial, baik Belanda maupun Inggris. Sultan Sepuh mengalami zaman dimana dunia pada saat itu bergolak.

Sebelum pasukan Inggris datang ke Yogyakarta (1812), Maskapai dagang Kumpeni, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang didirikan 1602 mengalami kebangkrutan pada 1799. Karena bangkrut, maka pengelolaan Hindia Belanda diserahkan pada pemerintah kerajaan Belanda.

Perang Koalisi yang pertama di Eropa (1792-1797), Perancis dengan pemimpin Napoleon Bonaparte berhasil mengalahkan Austria, Prusia (Jerman dulu kala), Inggris, Spanyol, Sardinia dan Belanda. Belanda yang kalah pun meminta perlindungan Inggris.

Tetapi karena Inggris belum dapat berbuat apa-apa pada waktu itu, maka pemerintah Belanda pun diambil-alih Perancis. Dan Napoleon Bonaparte pun menempatkan Belanda di bawah kekuasaan Louis Napoleon, keponakan Napoleon Bonaparte. Jatuhnya Belanda ke tangan Perancis juga berarti jatuhnya semua jajahan Belanda, termasuk Hindia Belanda (belum bernama Indonesia). Louis Bonaparte mengangkat Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan ditempatkan di Batavia sejak 1808.

Secara tidak langsung, sebenarnya kolonialisme dan imperialisme Perancis sempat terjadi di Indonesia melalui Louis Bonaparte penguasa Belanda tetapi di bawah Perancis. Dan di Hindia Belanda, melalui Gubernur Jendral Willem Daendels. Perancis menjajah Hindia-Belanda dengan menggunakan tangan kekuasaan orang-orang Belanda yang berpihak pada Perancis. Dan Daendels ditugasi Belanda yang dikuasai Perancis, untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan Inggris serta membereskan keuangan pemerintahan kolonial.

Hamengku Buwana II alias Pangeran Sundara masih mengalami zaman Kumpeni sebelum Daendels, saat maskapai dagang Hindia Timur (VOC) belum bangkrut (1799). HB II bahkan diangkat menjadi Sultan Yogya (2 April 1792) saat Kumpeni Belanda belum bubar, saat pemerintahan Gubernur Jawa (Gouverneur van Java's Noord-Oost-kust" ) Jendral Pieter Gerardus Van Overstraten.

Sifat tidak menurut pada kolonial sudah dipertunjukkan RM Sundara bahkan sejak awal ditunjuk Sultan oleh Gubernur Jendral Van Overstraten. Setelah meninggalnya pendiri keraton Yogyakarta Pangeran Mangkubumi alias Hamengku Buwana I (24 Maret 1792), keraton dijaga oleh pasukan Kumpeni. Pangeran Sundara meskipun sudah ditunjuk sebagai pengganti Hamengku Buwana I, masih belum diperbolehkan masuk keraton.

Tetapi Raden Mas Sundara, yang memang putra mahkota Yogyakarta itu, tidak mengindahkan aturan dari Van Overstraten. Perduli amat! Raden Mas Sundara bahkan sudah menyatakan dirinya Sultan Yogyakarta sebelum dirinya diresmikan dan dilantik sebagai Sultan oleh Kumpeni. RM Sundara baru resmi dilantik sebagai Hamengku Buwana II pada 2 April 1792.

Selama menjabat sultan, Hamengku Buwana II banyak sekali bertentangan dengan pejabat-pejabat kolonial. Dari soal Raden Rangga, Bupati-Wedana Madiun yang membuat pusing kolonial, sampai soal aturan baru Gubernur Jendral Daendels yang mengubah posisi Residen-residen sebagai "Minister". Raden Rangga Prawiradirja III yang dituntut hukuman mati oleh Sunan Paku Buwana IV karena melakukan pelanggaran di wilayah Surakarta, tetapi tak disetujui oleh Sultan HB II di Yogyakarta karena Raden Rangga di wilayah Mancanegara Yogyakarta, adalah pembantu dekat sultan. Sampai pertentangannya dengan Gubernur Jendral Daendels, yang sangat berkepentingan mendapatkan kayu untuk keperluan pembuatan armada kapal namun terganggu oleh Raden Rangga.

Maka dalam sebuah pertemuan para pembesar kolonial di Semarang (1810), Gubernur Jendral Daendels, Komandan pasukan Belanda Van Braam, Minister (Residen) P Engelhard serta patih Yogyakarta pilihan Belanda, Danureja II, mereka memutuskan Sultan HB II dipecat. Diganti putra mahkota Adipati Anom sebagai Hamengku Buwana III (ayah Diponegoro).

Tetapi rupanya, Hamengku Buwana III itu tidak bertahta lama. Hanya kurang dari satu tahun, dari 13 Desember 1810 sampai 1811. Hamengku Buwana II rupanya tak tinggal diam. Ia lakukan perlawanan untuk merebut kembali tahta kesultanan dari tangan Adipati Anom putranya. Dan pada 28 Desember 1811, kursi sultan pun kembali didudukinya untuk kedua kali.

Kursi sultan Yogyakarta pun sangat singkat diduduki oleh Sultan Hamengku Buwana II. Bahkan kurang dari setahun, dari 28 Desember 1811 sampai 26 Juni 1812. Sultan Hamengku Buwana II kembali dipecat. Kali ini bukan oleh Daendels, akan tetapi oleh penjajah baru Inggris yang dipimpin Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada 26 Juni 1812.

Oleh Raffles Sultan Hamengku Buwana II dibuang ke Pulau Penang di Malaya. Empat tahun lamanya, Sultan HB II dalam pembuangan di Penang, sempat kembali ke Batavia 1816, untuk kemudian 1817 dibuang kembali ke Ambon. Bukan oleh pemerintah kolonial Inggris, akan tetapi Hindia Belanda yang kembali mengambil alih tanah jajahan Hindia Belanda seiring perubahan geopolitik di dunia.

Hamengku Buwana III yang sempat direbut posisinya oleh sang ayah, HB II, kembali bertahta di Yogyakarta (1812). Namun Sultan Raja ayahanda Diponegoro ini juga tidak bertahta lama, hanya sekitar dua tahun dari 28 Juni 1812 sampai meninggal pada 3 November 1814. Masih era penjajahan Inggris.

Era Baru Perwalian Sultan

Sepeninggal HB III sementara HB II dalam pembuangan Ambon, Yogyakarta memasuki era baru, yang disebut Era Perwalian ketika Inggris menunjuk Sultan Jarot putra HB III (saudara lain ibu Pangeran Diponegoro) menjadi Hamengku Buwana IV. Karena Sultan Yogyakarta yang ditunjuk Inggris masih dibawah umur, baru 10 tahun, maka pemerintahan pun dijalankan melalui sistem perwalian selama hampir enam tahun dari 16 November 1814 sampai 27 Januari 1820. Paku Alam I alias Pangeran Natakusuma,  yang pernah berjasa pada Inggris dalam Geger Sepoy, ditunjuk oleh Inggris sebagai wali Sultan Hamengku Buwana IV.

Sultan Jarot pun tidak lama memerintah sebagai Sultan HB IV di keraton Ngayogyakarta. Pada 16 Desember 1822 saat Sri Sultan belum genap berusia 18 tahun, ia meninggal dunia.

Anaknya Hamengku Buwana IV yang masih bayi, Sultan Menol, baru berusia dua tahun. Oleh pemerintah Belanda, yang kembali menguasai wilayah penjajahan Inggris di Hindia Belanda, diangkat sebagai Hamengku Buwana V pada 19 Desember 1822. Sultan Menol kelahiran 25 Januari 1820.

Yogyakarta kembali mengalami masa pemerintahan perwalian. Belanda menunjuk nenek perempuan HB V, Pangeran Mangkubumi (puteri Hamengku Buwana II), dan Pangeran Diponegoro putera Hamengku Buwana III sebagai wali sultan.

Diponegoro yang merasa dikecewakan, tak mendapat kedudukan sultan meski layak dan berhak, ia meninggalkan keraton, dan mulai pengelanaan spiritualnya ke pegunungan-pegunungan di Gunung Kidul sebelum mengumumkan perang pada penjajah (Perang Jawa) 1825-1830. Ibu Pangeran Mangkubumi juga meninggalkan keraton, meninggalkan tugas perwalian.

Maka Perwalian HB V pun dipegang oleh Pangeran Aria Mertasana alias Murdaningrat -- putra Hamengku Buwana II. Juga menjadi wali, Pangeran Aria Panular putra HB I pendiri Yogyakarta. Namun keduanya, baik Pangeran Aria Mertasana maupun Pangeran Aria Panular keduanya meninggal di pertempuran Lengkong pada 28 Juli 1826.

Pemerintahan perwalian Hamengku Buwana V sempat tersela tetapi ia terus menjadi sultan, ketika tampuk kerajaan dipegang kembali oleh Hamengku Buwana II pada 17 Agustus 1826. HB II dikembalikan dari pembuangan Ambon oleh Komisaris Jendral Belanda, Du Bus, dan diangkat sebagai "Sultan Sepuh". Sementara HB V masih berusia 6 tahun dan belum cukup umur, sebagai "Sultan Anom".

Sultan Sepuh rupanya hanya bertahan kurang dari dua tahun, memerintah untuk ketiga kalinya dari 17 Agustus 1826 sampai meninggal 2 Januari 1828. Dalam rentang perjalanan tahta kerajaan Mataram selama setengah abad itu, hanya Hamengku Buwana II alias Sultan Sepuh yang pernah menduduki posisi sultan sebanyak tiga kali...

Cawe-cawe dalam peristiwa Suksesi di keraton Ngayogyakarta ini hanya sedikit saja dari berbagai peristiwa cawe-cawe bangsa lain di kerajaan Nusantara. Cawe-cawe lain, masih panjang antriannya untuk dituliskan... *

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun