Tampilnya Riski Juniansyah dan Veddriq Leonardo sebagai idola baru olahraga dengan medali emas Olimpiade Paris di cabang Angkat Besi dan Panjat Tebing membawa atmosfer positif, di tengah merosot tandasnya prestasi bulu tangkis Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir.
Medali emas Rizki Juniansyah (21), memang baru pertama kali meski sebenarnya medali sudah menjadi tradisi cabang Angkat Besi di olimpiade. Lifter putri Lisa Rumbewas sudah meraih medali perunggu di Olimpiade Sydney (2000). Perak dan Perunggu setidaknya pernah ditorehkan oleh senior lifter kita lainnya. Medali perak pernah diraih Triyatno (London 2012). Sementara Eko Yuli Irawan meraih perunggu Beijing 2008, London 2012, medali perak di Rio de Janeiro 2016 dan Tokyo 2020.
Tetapi Veddriq Leonardo (27) yang menyabet nomor bergengsi, nomor Speed di cabang baru Panjat Tebing, ini merupakan harapan baru bagi Indonesia untuk berprestasi lebih jauh ke depan dari cabang ini. Nomor Speed adalah ibarat nomor Sprint 100 meter di Atletik. Untuk Panjat Tebing yang baru dipertandingkan sejak Olimpiade 2020 (2021) Tokyo, nomor Speed adalah puncak gengsinya.. Di percaturan dunia, atlet-atlet panjat tebing Indonesia lumayan menggetarkan reputasinya.
Sementara di bulu tangkis Olimpiade 2024, Indonesia masih diselamatkan mukanya melalui permainan menawan Gregoria Mariska Tunjung yang "kalah tapi indah" saat ditundukkan si anak ajaib An Se-Young di semifinal. An Se-Young perlu jatuh-bangun berkali-kali lawan Jorji. Jorji bahkan meraih perunggu tanpa tanding lawan Carolina Marin dari Spanyol yang cedera. Sementara di semua nomor lain, Indonesia praktis jeblok di bulu tangkis Olimpiade 2024 Paris.
Tentu, merosotnya Indonesia di bulu tangkis yang bahkan tak mampu bertahun-tahun juara di nomor tunggal Indonesia Open di kandang sendiri, menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi Ketum baru PBSI Fadil Imran. Fadil Imran terpilih dalam Musyawarah Nasional dipercepat pada Sabtu (10.08.2024) di Surabaya.
Fadil Imran yang juga Kapolda Metro Jaya, tentunya diharapkan tidak mengulang kesalahan pengurus lama bulu tangkis yang praktis tak melahirkan bibit-bibit unggul dalam sepuluh tahun terakhir. Pengurus bahkan seolah-olah menyerahkan tanggung jawab kegagalan yang sudah diantisipasi pada tim Ad hoc Christian Hadinata dan kawan-kawan, yang dibentuk hanya dalam enam bulan terakhir sebelum berangkat ke Paris.
Negeri bulu tangkis
Indonesia sudah lama harum dikenal sebagai "negara bulu tangkis" di tahun 60-an sampai 90-an, dengan berbagai reputasi seperti Rudy Hartono juara delapan kali All England dari rentang tahun 1968-1976 -- tak tertandingi rekornya oleh siapapun sampai kini. Dulu selalu disegani di percaturan beregu dunia, Piala Thomas dengan puncaknya "The Magnificent Seven" Liem Swie King, Iie Sumirat di tunggal dan Christian Hadinata/Ade Chandra serta Tjuntjun/Johan Wahyudi di ganda. Para jagoan bulu tangkis ini tidak hanya mampu membawa Indonesia juara empat kali berturut-turut Piala Thomas -- lambang supremasi beregu bulu tangkis dunia -- empat kali berturut-turut tahun 1973, 1976, 1979, 1982.
Generasi Rudy Hartono, Mulyadi, Indra Gunawan dan kawan-kawan juga tak kalah menggetarkan, saat menjuarai Piala Thomas 1964 di Tokyo menggulingkan jagoan-jagoan Denmark. Atau Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Nyoo Kiem Bie dan kawan-kawan yang menjuarai Piala Thomas 1958 dan 1961 di Jakarta. Sehingga praktis, Indonesia hampir terus menjuarai Piala Thomas dari tahun 1958 sampai dengan 1979. Rivalitas datang dari era Eddy Choong dan Tan Aik Huang, Punch Gunalan, Ng Boon-Bee di era menjelang 1950-an dan 70-an sehingga Malaysia menjuarai Piala Thomas tiga kali berturut-turut pula di tahun 1949 di Preston Inggris, 1952 di Singapura serta 1955 di Singapura. Setelah itu, giliran Indonesia merajalela, dari era Tan Joe Hok, Rudy Hartono, Liem Swie King dan disambung kemudian (prestasi naik turun) Icuk Sugiarto dan kawan-kawan di 1990-an.
Bukan generasi baru
Jonatan Christie, Anthony Ginting jagoan terakhir Indonesia di tunggal dalam lima tahun terakhir, praktis tidak lahir dari dua kepengurusan bulu tangkis terakhir. Mereka bukan generasi baru lagi.