Mengalirnya kaum imigran ke Prancis terjadi terutama sekali ketika tokoh Sosialis, Francois Mitterand berkuasa sebagai Presiden Prancis terlama, 14 tahun dari 1981-1995. Kaum Sosialis memang pro imigran. Sebelum itu, Charles De Gaulle (1944-1946) kemudian (1959-1969) tidak pro imigran. De Gaulle keras terhadap imigran seperti umumnya pemimpin dan politisi golongan kanan (di parlemen duduk di deretan sisi kanan, sedangkan golongan kiri duduk di deretan sisi kiri parlemen Prancis).
Setelah Mitterand pun, kemudian berkuasa "penerus Gaullis" Jacques Chirac dari golongan kanan. Dan bergantian, golongan kiri dan kanan berkuasa. Sehingga kebijakan setiap kali berubah, dari Chirac (kanan) ke Lionel Jospin (kiri) lalu ke ultra kanan Jean Marie Le Pen yang sangat anti imigran. Bahkan Le Pen yang jadi Presiden Prancis (2011-2021) selalu mengatakan, "tim nasional sepak bola Prancis itu bukan Prancis...," sangking begitu ekstrem kanannya.
Jean-Marie Le Pen bahkan sempat mengumandangkan program ekstremnya, zero to immigration. Meski demikian toh sisa-sisa kaum imigran di Prancis tidak bisa dinolkan begitu saja. Prancis masih tetap surganya kaum imigran, multi etnis, multi kultural. Sampai kini.
Dibandingkan Indonesia, sebagai negara yang prinsip kewarganegaraannya lebih ketat. Selain asas ius sanguinis berdasarkan darah dan keturunan, Indonesia juga menerapkan syarat-syarat. Demikian juga, Belanda dan Jepang asasnya ius sanguinis.
Itu sebabnya, untuk menjadi atlet yang ingin memperkuat tim nasional Indonesia pun, harus memenuhi syarat kudu 'berdarah Indonesia' entah kakek atau nenek moyangnya. Dan menjadi warga negara Indonesia para keturunan itu kudu melalui proses naturalisasi, seperti juga sebaliknya jika orang Indonesia akan menjadi warga Belanda. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H