"Itu menjadi sulit. Karena pada saat bersamaan, dengan teknologi kita bisa membuat mobil yang sama persis di banyak negara, dengan teknologi 3D, misalnya. Maka, dengan teknologi itu Toyota, Honda, Hyundai tidak perlu ke Indonesia. Nanti, dengan teknologi 3D bisa mencetak mobil di kampung saya di Gunungkidul sana...," kata Yustinus Prastowo pula.
Teknologi juga bisa menerapkan apa yang dinamakan "flexible working arrangement". Daripada ngantor di Gatot Soebroto, macet, berjam-jam, capek, habis waktu terbuang di jalan, "Saya boleh ngantor di unit Bekasi.
Di sana disediakan 'working space'. Bisa bekerja, dan bahkan presensi (absensi kehadiran) juga bisa dilakukan di sana, ada fasilitasnya. Membuat orang produktif," kata Yustinus Prastowo.
Era Matinya Kepakaran
Meski demikian, teknologi juga bersifat dualitas. Memilik aspek menguntungkan, dan merugikan. Di antaranya itu, menurut Yustinus Prastowo adalah "era matinya kepakaran"...
"Karena teknologi, karena media sosial, seorang lulusan SD dan PhD bisa nggak ada bedanya. Bahkan terkesan, lebih pintar yang lulusan SD. Yang penting galak. Lalu merasa sok tahu. Itu sudah menjadi intelektual di media sosial," ujar Yustinus Prastowo.
"Nah, era matinya kepakaran ini perlu disikapi juga. Tantangan bagi para pengajar, dan teman-teman untuk terus selalu merefleksikan gejala-gejala faktual ini menjadi permenungan-permenungan filosofis. Sehingga Teknokrat mempunyai pencerahan filosofis. Dan sebaliknya, para filsuf tidak di gua terus. Meskipun ada internet di gua itu. Tapi juga mau menengok sesekali, bagaimana hidup keseharian juga perlu diberi ruang-ruang diskursus sehingga terjadi tetap berkualitas," kata Yustinus Prastowo pula.
"Yang Viral Yang Benar"
Selain era Matinya Kepakaran, juga di zaman merebaknya serba online sekarang ini juga merupakan era pengaburan fakta, melalui viralitas. Sehingga muncul istilah "Yang Viral, Yang Benar" (seperti diungkapkan Agus Sudibyo dalam buku terbarunya yang diluncurkan pekan lalu, "Bernalar Sebelum Klik")
"Tadi disebutkan, lulusan SD dan PhD merasa sama. Ini juga ada belajar fatwa tidak perlu datang bertanya ke MUI. Orang merasa bebas, bebas dari fatwa-fatwa. Dia bisa menggali sendiri tentang kajian agama, tentang visi tertentu tanpa perlu bertanya pada MUI, atau bertanya pada Gereja dan sebagainya. Ini juga salah satu dampak yang buruk dari AI, meskipun AI memberi kita kebebasan...," kata Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN.
"Dan kemudian, nah, ini sudah menjadi kajian Mas Agus Sudibyo (dalam bukunya Bernalar Sebelum Klik), kita ditentukan oleh data, klik bait, hidup kita ditentukan oleh yang viral. Istilah Mas Agus, Yang Viral Yang Benar...," kata Najib Burhani.