Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Suara Rakyat Jauh Lebih Besar dari Suara Partai

5 Oktober 2023   18:57 Diperbarui: 6 Oktober 2023   15:04 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto di Pemilu 2009 (Antara/Prasetyo Utomo)

Apakah seorang Presiden Republik Indonesia terpilih itu adalah “petugas partai”? Coba kita telusuri dan cermati pembenarannya dari angka perolehan suara pada Pemilu terakhir 2019, saat Presiden Joko Widodo terpilih untuk masa jabatan yang kedua empat tahun lalu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada (21/5/2019) mengumumkan rekapitulasi hasil penghitungan dan perolehan suara tingkat nasional dari 34 provinsi dan 130 PPLN (Panitia Pemilihan Luar Negeri) untuk Pemilu Presiden (Pilpres 2019), di Jakarta. Hasilnya, pasangan 01 Jokowi-Ma’ruf memperoleh 85.607.362 suara atau 55,50%, dan pasangan 02 Prabowo-Sandiaga memperoleh 68.650.239 suara atau 44,50%.

Sementara hasil final rekapitulasi nasional pemilu anggota legislatif (Pileg), PDI Perjuangan (PDIP) menjadi pemenang dengan perolehan 27.053.961 (19,33%) suara, disusul Partai Gerindra dengan 17.594.839 (12,57%) suara, dan Partai Golkar 17.229.789 (12,31%) suara.

Sembilan partai dinyatakan lolos ke Senayan karena memperoleh suara melebihi batas ambang parlemen 4%. Kesembilan partai itu adalah: 1. PDIP: 27.053.961 (19,33%); 2. Gerindra: 17.594.839 (12,57%); 3. Golkar: 17.229.789 (12,31%); 4. PKB: 13.570.097 (9,69%); 5. NasDem: 12.661.792 (9,05%); 6. PKS: 11.493.663 (8,21%); 7. Demokrat: 10.876.507 (7,77%); 8. PAN: 9.572.623 (6,84%); dan 9. PPP: 6.323.147 (4,52%).

Adapun tujuh partai meraih suara di bawah ambang batas parlemen, yaitu: 1. Perindo: 3.738.320 (2,67%); 2. Berkarya: 2.929.495 (2,09%); 3. PSI: 2.650.361 (1,89%); 4. Hanura: 2.161.507 (1,54%); 5. PBB: 1.099.848 (0,79%); 6. PKPI: 312.775 (0,22%); dan 7. Garuda: 702.536 (0,05%).

Suara Partai dan Suara Rakyat

Nah, apakah perolehan suara partai itu berbanding lurus dengan suara rakyat? Dari angka rekapitulasi hasil penghitungan suara di atas ternyata tidak demikian. Bahkan sangat jauh dari sebanding.

Joko Widodo dan Ma’ruf Amin terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan kedua (2019) dengan total perolehan 85.607.362 (55,50%) suara. Sedangkan partai pengusungnya, PDIP memenangi Pileg (2019) dengan 27.053.961 (19,33%). Alias kurang dari sepertiga saja dari perolehan suara yang didapat oleh Joko Widodo.

Kalau saja ditelan mentah-mentah jargon “presiden itu petugas partai” maka jika saja banyaknya suara partai itu penentunya, maka Jokowi hanya akan mendapat 27 juta suara. Sangat jauh dari perolehan 85 juta suara yang diperoleh Jokowi. Jeblok, nggak jadi presiden dah, Jokowi kalau hanya dapat suara dari partainya doang...

Jelas dari angka rekapitulasi hasil suara yang diumumkan resmi oleh KPU itu, bahwa duapertiga suara Joko Widodo dan Ma’ruf Amin didapat dari partai-partai lain serta pemilih-pemilih non-partai. Tidak sebanding dengan suara PDIP sendiri yang hanya sepertiga dari jumlah suara yang dikantungi pasangan Joko Widodo.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan sementara, bahwa secara riil Presiden Republik Indonesia Joko Widodo itu bukanlah semata-mata dipilih oleh anggota partai pengusungnya saja. Akan tetapi oleh rakyat, baik itu dari partai lain maupun non partai dan floating mass yang tertarik memilihnya. Presiden RI Jokowi, pada (2019) itu adalah Presiden Pilihan Rakyat. Bukan petugas partai...

Mesin suara dari mana?

Bahkan Kaesang Pangarep (28) yang boleh dikata “anak kemaren sore” dan baru tiga hari pegang kartu anggota partai tetapi langsung didaulat jadi Ketua Umum (Ketum) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pun memahami, bahwa Presiden RI itu pilihan rakyat.

“Partai politik itu penting dalam pemilihan presiden. Namun belum tentu kandidat tersebut menang tanpa dukungan dari relawan yang bergerak dengan ikhlas tanpa pamrih,” katanya, ketika ia tampil dalam pidato perdana sebagai Ketum partainya, pada akhir September lalu.

Itu alasannya, mengapa ia perlu meminta restu pada para relawan Joko Widodo yang mengantarkan mantan tukang kayu itu dua periode jadi Presiden RI. Ada setidaknya 137 organ relawan Jokowi yang datang bergabung di Kopdarnas (Kopi Darat Nasional) partai tersebut sore itu.

Menurut Kaesang, selain partai pengusung bacapres dan bacawapres, maka para relawan capres tersebut banyak jasanya mengantarkan Joko Widodo menjadi Presiden RI untuk dua periode, 2014-2019 dan 2019-2024. Dan para relawan eks Jokowi itu sempat “meninggalkan Ganjar Pranowo” (bacapres PDIP), dan bergabung dengan kubu Bacapres Prabowo Sugianto sejak beberapa pekan lalu.

Dan kini ada di belakang ambisi Kaesang dan PSI (1,89% tahun 2019) untuk lolos ke Senayan jika berhasil melampaui ambang batas minimal 4% dari seluruh suara resmi dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diakui KPU.

Jumlah total Daftar Pemilih Tetap yang diresmikan KPU (2019) masih sebatas 192.828.520.  Cukup banyak terpaut dari jumlah DPT (2024) yang ditetapkan KPU pada Juli 2023 lalu yakni sebanyak 204.807.222.

Unggul Kursi Tapi Gagal Presiden

Unggul jumlah kursi bukan jaminan capres dan cawapres nya menang. Itu terbukti, misalnya pada Pemilu 1999 – ketika PDIP menguasai parlemen Senayan setelah partai berlambang banteng itu menang Pemilu (1999) dengan total  35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan 153 kursi dari total 462 kursi Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (1999) waktu itu masih memakai sistem perwakilan, belum pemilihan langsung seperti sekarang. Pemilihan Presiden berlangsung pada 20 Oktober 1999. Sedangkan Pemilihan Wakil Presiden pada 21 Oktober 1999.

Ternyata jumlah kursi terbanyak PDIP di DPR RI dan kemenangan Pemilu Legislatif di tangan partai berlambang Banteng itu tak menjamin capresnya akan menang. Terbukti, yang terpilih malah Abdurrahman Wahid dari PKB dengan suara elektoral 373 (53,28%) sementara Megawati Soekarnoputri dari PDIP hanya 313 elektoral (44,72%).

Gagal di Pilpres, Megawati kemudian ikut di Pemilihan Wakil Presiden pada 21 Oktober 1999, sehari setelah kegagalan mencapres. Megawati menang 396 suara elektoral (55,57%), sementara Hamzah Haz yang kalah hanya 284 suara elektoral (40,57%).

Pemilihan Umum (1999) ini diwarnai dengan dinamika politik seru, lantaran Presiden Petahana, BJ Habibie, tidak mencalonkan diri jadi presiden karena pidato pertanggung-jawabannya ditolak oleh MPR-RI pada 19 Oktober 1999. Sehingga yang mencapres hanya Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, dengan Megawati Soekarnoputri.

Petahana bukan Jaminan

Selain jumlah kursi, juga posisi petahana tidak menjamin yang bersangkutan akan terpilih kembali menduduki posisinya. Ini dialami oleh Megawati, yang sebelumnya menjabat Presiden RI lantaran presiden terpilih, Gus Dur, hanya menduduki posisinya 21 bulan.

Gus Dur dicabut mandatnya oleh MPR RI karena ‘Skandal Bruneigate’ tahun 2000. Pada bulan Mei, Badan Urusan Logistik (Bulog) melaporkan bahwa AS 4 juta dollar menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk mengambil uang  yang merupakan sumbangan Sultan Brunei untuk membantu musibah di Aceh. Gus Dur dituduh menyimpan uang senilai AS 2 juta untuk dirinya sendiri. Uang dikembalikan, akan tetapi Gus Dur gagal mempertanggung-jawabkan dana sumbangan dari Sultan Brunei tersebut.

Wapres Megawati pun kemudian dilantik menjadi Presiden RI menghabiskan sisa masa jabatan Gus Dur. Megawati diangkat menjadi Presiden RI pada 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004, menjelang Pemilu 2004.

Mulailah babak Pemilu dan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung. Golkar memenangi Pemilu Legislatif dengan 24.480.757 (21,57%) kursi 127, disusul PDIP 21.026.629 (18,53%). Sementara Partai Demokrat hanya di urutan kelima dengan total 8.458.825 (7,45%) kursi 56.

Presiden Petahana Megawati Soekarnoputri mencapres dengan cawapres ulama kawakan NU Hasyim Muzadi. Pemenangnya malah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Wapresnya Jusuf Kala yang didukung Partai Demokrat urutan kelima Pemilu. Pemilihan berlangsung dua putaran, diikuti Wiranto-Salahudin Wahid, Amin Rais-Siswono Yudo Husodo, Hamzah Haz-Agum Gumelar, Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kala.

SBY-Yusuf Kala menang dengan terpaut angka telak. SBY-JK memperoleh 69.266.350 suara (60,62%) dan Mega-Hasyim Muzadi 44.990.704 (39,38%) di Pilpres 2004.

Partai Demokrat menanjak pamornya, sehingga memenangi Pemilu Legislatif dan Pilpres pada Pemilu 2009. Dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berpasangan dengan Boediono memperoleh kemenangan lebih telak lagi 73.874.562 (60,8%) atas Megawati-Prabowo Subianto yang hanya 32.548.105 (26,79%).

Sukses PDIP baru terwujud di Pilpres 2014 dan 2019. Partai Soekarnois ini berhasil mendudukkan capresnya di dua Pilpres berturut-turut melalui pasangan Joko Widodo-Jusuf Kala (2014) dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (2019). Catatan tersendiri untuk Jusuf Kalla dari Golkar, ia dua kali menjadi Wakil Presiden untuk dua presiden berbeda. Jadi Wapres mendampingi SBY (Pilpres 2009) dan Joko Widodo (Pilpres 2014).

Rupanya mantan tukang kayu dari Solo, Joko Widodo itu tidak sekadar sukses didukung partainya. Akan tetapi juga didukung mesin-mesin partai lain di luar PDIP, dan juga berkat tim relawannya.

Di Pilpres 2024 kali ini, jumlah relawan Jokowi mencapai 200-an organ. Mereka kini  malah mendukung Kaesang Pangarep yang berambisi meloloskan partai gurem PSI (1,87%), agar mencapai sekurangnya 4% suara guna masuk parlemen Senayan.

Partai pengusung calon presiden itu penting. Tetapi Suara rakyat ternyata jauh lebih penting ketimbang suara partai...*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun