Très Magnifique!
Itu kata yang pantas diungkapkan untuk penampilan musik selama dua jam penuh dari Ian Gillan, Roger Glover, Ian Paice dan dua pemainnya yang tak sezaman gabungnya, Don Airey serta Simon McBride.
Bahkan sampai berkilometer-kilometer meninggalkan Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta di Karangasem, Kecamatan Laweyan di barat Colomadu Jumat (10/3/2023) malam itu, kemerduan konser mereka masih mengiang mengiang-ngiang di telinga. Keren poll...
Selusin pujian lagi bagi grup musik Inggris Deep Purple itu pun kiranya pantas. Bahkan jika saya bandingkan dengan penampilan Deep Purple ketika tampil di Stadion Utama Senayan 4-5 Desember 1975 (saya menonton di kedua hari itu 47 tahun lalu), Deep Purple yang ini jauh, jauh lebih keren.
Nyaris lima dekade lalu, Deep Purple tampil di Jakarta dengan formasi berbeda. Deep Purple waktu itu tampil dengan formasi yang mereka sebut formasi Mark IV (1975-1976) untuk World Tour mereka mempromosikan album terbaru mereka (1975) Come Taste the Band. Formasi terambyar yang hanya bertahan setahun, dengan vokalis David Coverdale. Bukan Ian Gillan yang digantikannya.
Formasi konser mereka di Jakarta (1975) lengkapnya menampilkan David Coverdale di vokal, Glenn Hughes di bass (juga vokal), Ian Paice di drum, Tommy Bolin di gitar, serta Jon Lord di keyboards, peralatan toets tak hanya organ, akan tetapi juga synthesizer.
Sedangkan tur di Solo, yang diantaranya disaksikan Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming, dan menurut promotornya dari Rajawali Indonesia, Anas Syahrul Alimi, diberi tajuk keren "Muktamar Deep Purple x God Bless".
Deep Purple memainkan Ian Gillan di vokal, Roger Glover di bass, Ian Paice di drum, dan dua pendatangnya Don Airey di keyboards, serta Simon McBride di gitar.
Don Airey dan Simon McBride
Pujian terkeren pula untuk dua personel baru mereka, Don Airey serta gitaris SimonMcBride. Terima kasih banyak, sudah diberi penampilan keyboards dan gitar kelas dunia. Dibandingkan dengan keyboardist legenda mereka, Jon Lord yang saya tonton di Gelora Senayan (1975), Don Airey tak kalah kerennya. Bahkan masing-masing memiliki kelebihan sendiri.
Jon Lord, warna musik Deep Purple sampai (2002) dan sempat absen 9 tahun dari 1976-1985, lebih ke rock ketimbang Don Airey yang sungguh "classic hardrock".Â
Terlihat pijatan-pijatannya di atas toets organ, ia klasik dasarnya. Fasih memainkan partitur Beethoven. Boleh dibilang, kerinduan pencinta musik yang kehilangan Jon Lord, kini sudah terobati dengan penampilan keren dan superb Don Airey.
Dan ini tidak mengherankan, karena sebenarnya Don Airey adalah juga "wajah baru tapi lama" Deep Purple. Don Airey pernah menggantikan Jon Lord, ketika superstar di keyboard ini absen dari Deep Purple pada 2002. Jadi, Don Airey ini sebenarnya ya wajah baru tetapi ya wajah Deep Purple lama juga. Keren sekali pokoknya.
Di gitar? Instrumen paling terdepan dalam pentas musik rock seperti Deep Purple, Led Zeppelin, ataupun Genesis dulu di era hardrock yang klasik, maka saya jauh lebih memilih Simon McBride ketimbang Tommy Bolin si mabuk yang saya tonton (1975).Â
McBride yang meskipun masih muda sekali dibandingkan anggota Deep Purple lainnya kali ini, namun gitaris asal grup metal Irlandia, Sweet Savage ini benar-benar keren poll. Super. Asyik sekali jemarinya menari di dawai gitarnya.
Dan inilah keuntungan publik musik di Colomadu Solo kali ini. Pentas musik masa kini, dilengkapi layar yang nge-zoom satu per satu permainan personel yang lagi beraksi di panggung.Â
Kalau gitar lagi beraksi, kamera nge-zoom sampai terlihat keringat di jari-jari Simon McBride. Atau jari-jari gempal Don Airey yang menari-nari cepat sekali di atas toets keyboards nya. Ditimpali sinar warna-warni di atas toets. Indah sekali, dan memanjakan telinga sekali. Aku pun jadi gumunan. Terkagum-kagum melihat permainan keyboard secantik ini. Kombinasi rock dan klasik.
Simon McBride? Wow, cakep sekali jemari kiri dan kanannya memainkan dawai. Dari sepanjang sekitar 15 lagu yang ditampilkan hampir dua jam penuh di Colomadu, nyaris semuanya diwarnai dengan jentingan serta raungan gitarnya yang asyik.
Seperti Kereta Ekspres
Deep Purple yang menyisakan formasi Mark II (1969-1973) Ian Gillan, Roger Glover, Ian Paice di Colomadu kali ini, menjadi Deep Purple utuh, seperti Deep Purple yang lalu-lalu. Klasik hardrock. Dan tidak berhenti pada pancingan mellow, lagu-lagu slow seperti umumnya grup keras hardrock dunia lainnya. Agar didengarkan publiknya.
Memang ada banyak lagu-lagu mellow, melodius Deep Purple yang dikenal telinga publik Indonesia seperti Child in Time (1970) yang legend, dan kombinasi antara melodius dan cepat, giras layaknya hardrock. Atau When a Blind Man Cries, yang dilantunkan Ian Gillan yang keren Jumat (10/3/2023) malam itu.Â
Atau Soldier Fortune yang tak dimainkan kali ini. Tetapi sepanjang dua jam malam di Colomadu itu, Deep Purple lebih banyak tampil merangsek jantung, melumas perasaan dengan kemerduan suara langit.
Bak kereta cepat, ekspres Deep Purple ini. Bahkan lebih cepat dari perjalanan kereta tercepat di Eropa, Eurostar antara Gare du Nord di Paris menuju London. Atau TGV, Train Grande Vitesse di Perancis.Â
Deep Purple kali ini bukan kereta jess, ejess, ejesss "sepoer kluthuk" di zaman perang yang selalu berhenti bermellow-mellow ria. Deep Purple di Colomadu itu sungguh kereta cepat, yang membuat jantung nyaris ketinggalan berdegup. Pengen mengejar terus, irama cepatnya....
Inilah kelemahan dan kelebihan publik musik Indonesia. Suka bermellow-mellow ria. Sehingga lupa, bahwa permainan musik hardrock itu memang ekstra berdegup, ekstra cepat, tetapi tidak lupa bermain cepat-cantik. Dan menampilkan atraksi permainan maestro di masing-masing instrumen secara individual. Bukan saling menutupi, akan tetapi saling menunjang.
Dari sekitar 15 lagu yang dibawakan Deep Purple malam itu, sungguh, publik sejati hardrock akan terpuasi dengan penampilan Ian Gillan dan seluruh personelnya. Dan ciri sebuah supergrup, adalah setiap pemain instrumennya kudu virtuoso. Semua kudu berkelas master di instrumennya masing-masing.
Ian Gillan, tidak hanya menampilkan vokal yang nyaris tak berubah seperti masa lalu. Meski digerogot usia yang kini 77 tahun, Ian Gillan masih bisa meneriakkan nada panjang dari kerongkongannya.Â
Stamina masih prima di usia 77. Ya tentu ojok dibanding-bandingke pada usia Ian Gillan melengking-lengking di zaman Jesus Christ Superstar...
Roger Glover? Wah, ini dia bassist super. Bisa "bermain melodi" dengan bass nya, meskipun hampir sepanjang konser di Colomadu, Roger Glover nampak selalu kompak memberi aksen gebukan-gebukan drum Ian Paice, meskipun keduanya sudah berusia kepala tujuh semua. Boleh ditanding dengan yang muda.
Membuka konsernya dengan Highway Star, hits mereka yang sangat dikenal telinga publik musiknya di Indonesia, dan mengakhiri dengan dua tambahan lagu di antaranya hits lama mereka, Black Night.Â
Ketika memainkan Black Night, gitaris Simon McBride menampilkan atraksi yang unik. Ia sempat mengendorkan total enam senarnya dengan stang. Bunyi efek pun luar biasa. Menjadi dentuman, getaran. Petikannya? Tak terkira lincahnya anak muda ini...
Konser Deep Purple kali ini, memberi pelajaran bagi pentas musik Indonesia: bahwa musik keras itu tidak harus asal keras, berdegup dan berdengung dengan power yang poll-pollan. Tetapi musik keras haruslah "keras terkendali". Masing-masing instrumen harus terlacak telinga kita sepanjang penampilan. Tidak ada satu instrumen ditenggelamkan instrumen lain.
Ada satu kata yang mungkin tepat untuk menggambarkan sistem suara konser hardrock yang prima seperti supergrup Deep Purple ini. Wijang.... Itu kata Jawa yang susah saya temukan padanannya dalam bahasa Indonesia.Â
Masing-masing instrumen bisa dilacak telinga, mana gitar, mana drum, mana bass, mana keyboards, mana vokal. Tidak ada kelemahan permainan ditutupi dengan bunyi asal keras. Cek sound, menjadi kunci penting. Dan itulah kehebatan para teknisi sistem suara sebuah super grup kelas dunia.
Kalau publik musik di Jakarta saat ini diwarnai musik-musik menye-menye gemulai, centil menggeliat. Maka jangan remehkan orang-orang sepoeh Deep Purple penggemar hardrock yang nyaris semua berkepala tujuh ini di Colomadu. Benar-benar jreeeennngg! Suara masih tiga perempat full seperti Ian Gillan di masa jaya.
Maka Muktamar Deep Purple x God Bless pun berakhir dengan sukses. Dibuka kolosalnya musik rock-dhut Oma Irama dengan "Hinghway Star" Dangdhut, dan kemudian disuguhi supergrup lokal kita God bless yang nyaris setengah abad berpentas di Tanah Air, baru kemudian sajian puncak supergrup asal Inggris, Deep Purple.
Yang pasti anak-anak cucu di Tanah Air mesti mendengarkan konser di Edutorium di Colomadu ini lengkap-lengkap. Jreng! Keren, dan tidak menye-menye bergemulai ria terus-menerus.
Ingat, bahwa telinga tua itu bukan telinga sepoeh semua, yang kudu dibelai musik yang melodius. Telinga sepoeh penggemar musik hardrock masih banyak yang perlu makan vitamin jreng. Vitamin musik keras yang terukur cantik kerasnya.
Itu tadi, biar tua kudu tetap jreeeengg....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H