"Dia lebih mengenal Indonesia dari pada aku...," demikian Sawung Jabo selalu mengatakan.Â
Pertemuannya dengan Suzan Piper pada 1 Januari 1978 membawa angin baik bagi Jabo di awal karirnya. Suzan pula yang membawa Barock untuk pertama kali rekaman di sebuah studio di Puskat (Pusat Kateketik di lingkungan gereja Kota Baru Yogyakarta). Jabo bahkan kemudian menikah dengan Suzan dan sempat tinggal beberapa tahun di Australia, negeri kelahiran Suzan.
Ketika kembali ke Jakarta, Barock pun berganti nama jadi Sirkus Barock pada 1 Februari 1983, dengan anggota barunya Innisisri, Nanoe, Totok Tewel, dan Edi Darome. Kelompok ini memang tidak begitu produktif karena Sawung Jabo memiliki banyak kelompok yang dia bentuk sendiri.
Sawung Jabo yang terlahir sebagai Mochamad Djohansyah (lahir 4 Mei 1951) memang bukan asli Yogyakarta. Tetapi asal Ampel, Surabaya, merantau di Yogyakarta. Dia dapat julukan Sawung Jabo dari kakak-kakak kelasnya ketika ia kuliah musik klasik di Akademi Musik Indonesia (AMI) tahun 1970-an.
Sawung Jabo dikenal dengan keterlibatannya di hampir semua bentuk kesenian, dari musik, teater, melukis, tari, cipta musik. Ia dikenal dengan konsepnya yang menggabungkan elemen musik Barat dan Timur, khususnya dengan musik Jawa.
Paling dikenal dengan keterlibatannya bermusik di grup Swami dan Kantata Takwa bersama musisi-musisi top Indonesia lainnya di akhir 1980-an dan 1990-an seperti Iwan Fals, jago keyboard Jockie Suryoprayogo dengan sponsor pengusaha Setiawan Djodi.Â
Mereka melahirkan lagu-lagu top bertema sosial dan politik seperti Bento, Bongkar, Hio, Kuda Lumping, Nyanyian Jiwa. Lagu-lagu ini menjadi populer setelah dimainkan dalam konser akbar, Kantata Takwa di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 23 Juni 1990.
Proyek musik Kantata tersebut diabadikan dalam filem "Kantata Takwa" (2008) arahan sutradara Eros Djarot dan Gotot Prakosa. Sawung Jabo tak hanya dikenal karena produktif melahirkan karya seni di Surabaya, Yogya, Solo, Bandung, Jakarta, akan tetapi juga Australia.
Kini memang tidak terlalu lancar bicara. Akan tetapi di panggung, terlihat pemikirannya lebih cepat dari kata-katanya. Canthas, keras. Dan hari Minggu siang itu masih lantang bicara: Asu! Kata-kata akrab yang berasal dari umpatan. Tetapi menjadi mantra akrab seniman Yogyakarta. Asu juga kata-kunci yang selalu diucapkan seniman-seniman Yogyakarta, seperti juga mantra Butet Kartaredjasa: Asuwoook...! *
Yogyakarta, 05/02/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H