Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesta Kawin Kaesang dan Erina Runtuhkan Kebekuan Solo-Yogya

12 Desember 2022   00:53 Diperbarui: 13 Desember 2022   04:30 2006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gawe meriah Presiden Joko Widodo menikahkan anak bungsunya Kaesang Pangarep dan Erina Gudono dalam sebuah tontonan tradisi, menyiratkan berbagai makna, baik politis, sosial, ekonomi dan budaya. 

Jadi, yang pasti, occupancy rate hotel-hotel di Solo dan juga Yogyakarta selama hari-hari "tumplak punjen" pada 10-11 Desember 2022 diakui pengusaha-pengusaha Solo dan Yogya sebagai "meningkat seratus persen"...

Sebagai tontonan politik pun menarik. Bagaimana pesta perkawinan yang dilabel pesta rakyat ini melibatkan nyaris seluruh anggota kabinet. 

Di Solo, saat upacara "ngunduh mantu" di Pura Mangkunegaran Minggu (11/12), Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman pun berpidato mewakili Presiden Joko Widodo sebagai yang punya gawe, menyambut ribuan tetamu yang membanjir di Pura Mangkunegaran dan sekitarnya. 

Sehari sebelumnya di Royal Ambarrukmo Yogyakarta -- dulu istana Hamengku Buwana V saat "lengser keprabon madeg pandhito" (turun menjabat raja, untuk menjadi pandhito), Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Muhadjir Effendy, bahkan mewakili keluarga besar Presiden Joko Widodo, untuk memasrahkan calon pengantin pria Kaesang Pangarep kepada keluarga besan, keluarganya mempelai perempuan Erina Gudono.

Dan banyak pelibatan-pelibatan lain pejabat-pejabat negara dalam gawe besar di Solo dan Yogya yang disebut sebagai "pesta rakyat" ini. Termasuk, ketika Menteri PUPR Mochamad Basuki Hadimuljono dan Mensesneg Pratikno ditampilkan sebagai saksi nikah kedua mempelai. 

Saat usai bersalaman, saat "ngundhuh mantu" di Pura Kadipaten Mangkunegaran, Minggu (11/12), para menteri kabinet dan seluruh pejabat tinggi negara yang hadir, tampil berpotret bersama Presiden Joko Widodo, Ibu Negara Iriana Joko Widodo mempelai dan keluarga besan presiden, dengan berseragam sorjan gaya Surakarta berwarna biru lila. Lengkap dengan blangkon (tutup kepala) Solonya.

Sehari sebelumnya, tidak hanya anggota keluarga Erina Gudono yang memang asal Yogyakarta. Akan tetapi juga keluarga Presiden Joko Widodo yang asli Solo, pun semuanya mengenakan pakaian lengkap gaya Yogyakarta, yang tentu saja berbeda dengan gaya pakaian Surakarta hari berikutnya.

Hari Minggu (11/12) siang, kebetulan pas CFD (car free day), hampir seluruh ruas Jalan Slamet Riyadi -- jalan utama di jantung kota Surakarta -- serta jalan-jalan di sekitar Pura Kadipaten Mangkunegaran.

Itu semua ditutup tuntas guna memberi kesempatan masyarakat Surakarta untuk menonton langsung iring-iringan andong (kereta ditarik kuda) yang membawa segenap pengiring penganten, pejabat negara termasuk Presiden Joko Widodo, serta mempelai yang sudah resmi menyandang suami-isteri Kaesang Pangarep dan Erina Gudono.

Cairkan kebekuan menahun

Tidak mudah rasanya, mencairkan "kebekuan" hubungan budaya antara Yogyakarta dan Surakarta sebagai jejak peninggalan kolonial. 

Politik "Divide et Impera" -- politik memecah-belah dan menguasai -- yang diterapkan kumpeni (Belanda dkk) sejak berabad-abad, menjadi salah satu akar laten yang sulit sekali dicerabut. 

Yogyakarta dan Surakarta yang hanya terpisah jarak 64 km ini sering terlibat dalam sebuah kebekuan budaya Yogya versus Solo.

Dalam dua hari "pesta rakyat" itu, hajat besar terakhir (tumplak punjen) keluarga Joko Widodo (menikahkan tuntas anak-anaknya), bersatunya dua keluarga Yogya dan Solo ini seolah melupakan perbedaan laten sejak kolonial.

Bisa dibayangkan, jika dulu kala ketika berlangsung Pekan Olahraga Nasional (PON I) berlangsung di Stadion Sriwedari Surakarta tahun 1948, ajang tanding olahraga menjadi semacam "perang yogya vs solo" terutama saat bertanding cabang olahraga sepak bola.

Ini ilustrasi yang saya dapat dari beberapa pemain sepak bola di PON I Solo 1948 (pernah saya tulis dalam sebuah laporan di Kompas Minggu beberapa tahun silam). Suporter kesebelasan Surakarta (Persis Solo) mencegat kedatangan suporter Yogyakarta (PSIM) yang datang naik kendaraan. Bentrok pun sempat terjadi.

Lebih sengit lagi, suporter-suporter Yogya menggunakan "blangkon" (tutup kepala tradisional) Solo, sebaliknya suporter Solo memakai "mondholan" Yogyakarta, yang bentuknya berbeda. Solo tutup kepalanya trepes, tanpa jendholan di belakang kepala. 

Sedangkan mondholan, jendhol di belakang kepalanya. Kedua suporter ini, menurut salah seorang pemain sepak bola Persis Solo, memakai masing-masing tutup kepala dengan terbalik. Dan kalau kesebelasannya berhasil memasukkan gol ke gawang? 

Maka ikat kepala lawan yang dipakai terbalik di kepalanya itu dibanting ke tanah, diinjak untuk menunjukkan bahwa lawan kalah. Begitu seterusnya.

Kebencian primordial

Kebencian antara kedua kota itu memang bukan tanpa sebab. Tak lain dan tak bukan, itu merupakan sisa-sisa peninggalan kolonial.

Itu terutama semenjak peristiwa Palihan Nagari (1755) saat Mataram dibagi menjadi dua sama luas, menjadi keraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, serta keraton Mataram Surakarta. Perjanjian segregasi dua kubu Mataram itu biasa disebut sebagai "Perjanjian Giyanti".

Perpecahan itu semakin diperlebar pada Perjanjian Jatisari, beberapa hari setelah Perjanjian Giyanti. Tidak hanya sekadar wilayah yang dibelah menjadi dua, antara Yogyakarta dan Surakarta. Akan tetapi juga budayanya.

Mulai saat itu, busana pun dibedakan. Yogyakarta terus menggunakan busana adat Mataram Lama (Sorjan) dengan ikat kepala Mondholan. Sedangkan Surakarta kemudian menciptakan busana baru, baju Beskap (beschaafd, beradab) tutup kepalanya Blangkon. 

Tidak hanya bajunya. Bahkan keris Yogyakarta dan Surakarta pun berbeda, baik warangkanya, hulu kerisnya, maupun perabotnya. Keris Solo resmi, warangkanya disebut Ladrang Surakarta. 

Sedangkan Yogya, Branggah Yogyakarta. Hulu keris Surakarta lebih besar, memperbaharui hulu keris pesisiran yang dipercantik, sedangkan Yogyakarta meneruskan gaya Amangkurat, dan juga modifikasi Mataram lama yang lebih kecil bentuknya dari hulu keris Surakarta.

Wayang pun demikian juga. Wayang (wayang kulit, maupun wayang orang), dibedakan antara Gagrak Surakarta, dan Gagrak Yogyakarta. Tidak hanya wanda maupun bentuk wayangnya. Bahkan suluk-suluk Ki Dalang, gamelannya, cengkok mendalangnya, beda Solo dan Yogya. 

Cara menari wayang orang Solo dan Yogyakarta pun berbeda. Bapangan (cara mengangkat kaki saat menari), pun beda antara Yogyakarta dan Surakarta. Yogyakarta bapangannya lebih tinggi mengangkat kakinya, sedangkan Surakarta tidak terlalu tinggi, setengah mengangkat kaki.

Begitu pula ragam batiknya, ragam rias pengantinnya, ragam tata caranya, bentuk tariannya. Baik untuk menata hias pengantin pria dan wanitanya, bahkan juga ragam hias raja pemimpin keratonnya... Pusing dah, pokoknya. Beda segala-gala, meskipun bedanya beda tipis-tipis.

Dicairkan Pesta Kaesang-Erina

Nah, kebekuan dan bahkan semacam "segregasi budaya" antara Solo dan Yogya, Yogya dan Solo ini, menjadi cair dalam perayaan pesta rakyat perkawinan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono selama dua hari,.

Akad di Yogyakarta dengan cara busana Yogyakarta menurut agama Islam. Sedangkan perayaan "ngunduh mantu" di Solo nya, pun full cara Solo. Baik busana, tutup kepala, maupun keris-keris yang disandangnya.

Tembok budaya antara Yogyakarta dan Surakarta yang bertahun-tahun tegak berdiri, sebagai jejak kolonialisme di era Mataram, mendadak menjadi runtuh. 

Lantaran Presiden Joko Widodo dan keluarga, memang berniat menggelar perkawinan akbar, "tumplak punjen" (menumpahkan beban di pundaknya) dengan adat kedua-duanya. Sehari pertama Yogyakarta, dan resepsi berikutnya di Surakarta, ya gaya Solo.

Maka, perkawinan Kaesang Pangarep dan Erina Gudono yang merupakan mantu terakhir keluarga Presiden Joko Widodo ini akan selalu dikenang sebagai sebuah pesta perkawinan yang "meruntuhkan tembok segregasi budaya Solo dan Yogya" yang bertahun-tahun seolah sulit dihilangkan... *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun