Tidak mudah rasanya, mencairkan "kebekuan" hubungan budaya antara Yogyakarta dan Surakarta sebagai jejak peninggalan kolonial.Â
Politik "Divide et Impera" -- politik memecah-belah dan menguasai -- yang diterapkan kumpeni (Belanda dkk) sejak berabad-abad, menjadi salah satu akar laten yang sulit sekali dicerabut.Â
Yogyakarta dan Surakarta yang hanya terpisah jarak 64 km ini sering terlibat dalam sebuah kebekuan budaya Yogya versus Solo.
Dalam dua hari "pesta rakyat" itu, hajat besar terakhir (tumplak punjen) keluarga Joko Widodo (menikahkan tuntas anak-anaknya), bersatunya dua keluarga Yogya dan Solo ini seolah melupakan perbedaan laten sejak kolonial.
Bisa dibayangkan, jika dulu kala ketika berlangsung Pekan Olahraga Nasional (PON I) berlangsung di Stadion Sriwedari Surakarta tahun 1948, ajang tanding olahraga menjadi semacam "perang yogya vs solo" terutama saat bertanding cabang olahraga sepak bola.
Ini ilustrasi yang saya dapat dari beberapa pemain sepak bola di PON I Solo 1948 (pernah saya tulis dalam sebuah laporan di Kompas Minggu beberapa tahun silam). Suporter kesebelasan Surakarta (Persis Solo) mencegat kedatangan suporter Yogyakarta (PSIM) yang datang naik kendaraan. Bentrok pun sempat terjadi.
Lebih sengit lagi, suporter-suporter Yogya menggunakan "blangkon" (tutup kepala tradisional) Solo, sebaliknya suporter Solo memakai "mondholan" Yogyakarta, yang bentuknya berbeda. Solo tutup kepalanya trepes, tanpa jendholan di belakang kepala.Â
Sedangkan mondholan, jendhol di belakang kepalanya. Kedua suporter ini, menurut salah seorang pemain sepak bola Persis Solo, memakai masing-masing tutup kepala dengan terbalik. Dan kalau kesebelasannya berhasil memasukkan gol ke gawang?Â
Maka ikat kepala lawan yang dipakai terbalik di kepalanya itu dibanting ke tanah, diinjak untuk menunjukkan bahwa lawan kalah. Begitu seterusnya.
Kebencian primordial
Kebencian antara kedua kota itu memang bukan tanpa sebab. Tak lain dan tak bukan, itu merupakan sisa-sisa peninggalan kolonial.