Kiai Ageng Bondoyudo
Mungkin karena mengantisipasi, bahwa-pusaka kerajaan yang bentuknya mewah seperti Kanjeng Kiai Naga Siluman itu bakal tidak aman dibawa berjuang dan bergerilya oleh Pangeran Diponegoro, maka selepas melakukan laku tapa di gua-gua Gunungkidul (1805), Diponegoro pun ‘membuat’ satu pusaka yang diperuntukkan bagi dirinya sendiri.
Menurut catatan Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh sang Pangeran, pusaka bikinannya itu adalah Keris Kiai Ageng Bondoyudo itu terbuat dari remposan (tempa ulang) dari tiga pusaka. Yakni Kiai Sarutomo keris kecil atau cundrik yang dulunya mata anak panah (diperoleh Diponegoro saat berziarah ke Pantai Selatan kira-kira musim kemarau 1805), tombak Kiai Barutubo yang selalu dibawa-bawa oleh pengawal setia Diponegoro, Ngusman Aki Basah dari resimen Bulkio, serta satu keris pusaka warisan dari ayah Diponegoro, HB III, saat Diponegoro masih muda sebagai RM Ontowiryo. Keris itu bernama Kiai Abijoyo.
Tiga bilah keris ini dirempos seorang empu, dan menjadi pusaka yang selalu dibawa-bawa sang Pangeran di pengasingan Manado, dan bahkan ikut dikuburkan di pemakaman umum Makassar, Sulawesi pada 1855.
Pada masa itu, keris memang memiliki nilai istimewa. Selain menjadi pusaka “sipat kandel” (sebagai pembangkit rasa percaya diri), keris juga bisa menjadi tanda kerja sama dagang (di era Majapahit sudah terjadi), dan juga sebagai lambang kekuasaan, atau bahkan lambang putra mahkota yang bakal memerintah setelah sang ayah mangkat.
Salah satu keris pusaka Diponegoro lainnya, yang diambil dari dirinya, dalam catatan Babad Keraton Yogyakarta, adalah Kiai Wisa Bintulu (artinya racun aneka warna, ibarat motif sarung Bima yang warna-warni hitam putih berselang seling).
Kiai Wisa Bintulu ini diminta oleh ibu tiri Diponegoro, Ratu Ageng ibu dari Hamengku Buwana IV, karena adanya rumor bahwa “barang siapa memiliki keris Wisa Bintulu dia akan memerintah Ngayogyakarta,” Ratu Ageng meminta keris pemberian HB III ini dari Diponegoro pada sekitar Maret 1820. (Carey 2012: 970).
Melacak Naga Siluman
Kesepakatan untuk mengembalikan benda-benda bersejarah milik atau asal Indonesia, atau yang diperoleh Belanda dari peristiwa kekerasan di masa lalu, sudah ditanda-tangani sejak era pemerintahan Soeharto. Dan secara bertahap, benda-benda bersejarah itu dikembalikan ke Tanah Air.
Dari tiga keris dan tujuh tombak yang disita Belanda pada akhir Perang Jawa 1825-1830 misalnya, tombak Kiai Rondhan paling dulu dikembalikan oleh pemerintah Belanda ke Indonesia.
Tombak Kiai Rondhan, pelana kuda Kanjeng Kiai Gentayu, dan payung kebesaran Diponegoro berlapis prada emas, sudah dikembalikan pada 7 Oktober 1977 dan kini disimpan di Museum Gajah, Museum Nasional Republik Indonesia. Sedangkan tongkat dengan ujung perak, berbentuk bulat pipih tongkat untuk imam agama bernama Kanjeng Kiai Cokro, dikembalikan oleh pemerintah Belanda pada 5 Februari 2015.