Jam-jam siang hari, merupakan jam-jam santai istirahat sejenak, sebelum ngebut mengejar deadline batas pemberitaan jelang tengah malam. Setelah lepas magrib?
Jangan tanya bunyi ruangan Redaksi. Bunyi mesin ketik seperti hujan deras, badai, geretak tiada henti. Ditimpali dengan bunyi mesin teleks di ruang teleks, yang menyala terus selama 24 jam, menyuguhkan print out bahan-bahan berita dari kantor berita asing, Reuters, Agence France Presse (AFP), UPI, ada juga berita nasional dari Antara.
Wah, berabe. Harus pergi ke kantor Antara di Pasar Baru untuk mengambil print out yang terputus dan tak sempat tercetak sebelum ganti gulungan kertas. Repot kan? Maklum, belum model mbah Google internet yang "real time", memberitakan pada saat itu juga berita dunia.
Zaman RedPalms, masih zamannya pasca perang. Berita masih berupa hardcopy, print out, cetakan dari kantor-kantor berita luar maupun dalam negeri. Hubungan antar wartawan hanyalah pesawat telpon. Kalau perlu, pakai koin di telpon umum. Atau yang paling mewah, kirim facsimile...
Jam siang, jam ketawa-ketiwi sering diramaikan dengan seloroh mas DJ Pamoedji. Dari ledek-ledekan tiada habisnya dengan Kartono Ryadi, sampai buka-buka majalah syuur....
Seringkali, majalah-majalah luar negeri waktu itu, ditempel kertas dengan lak hitam, pas berita-berita kritis terhadap Indonesia, atau yang ...... syuuuur.Â
 Filem-filem pun, sebelum boleh diputar di bioskop-bioskop, juga harus melalui Badan Sensor Filem (BSF) dulu. Ditonton dulu oleh pejabat-pejabat sensor. Dan yang tidak senonoh, atau berbau politik kritis, kudu digunting. Maka, banyak filem luar negeri yang asyik-asyik, sampai Indonesia compang-camping digunting pejabat sensor...