Kompas Redpalms' Unplugged Story
Kami biasa menyebut diri kami dulu RedPalms, Redaksi Palmerah Selatan. Tim sepak bola kami, pada tahun 1975-an sampai 1990-an termasuk laris dibon untuk bertanding, entah di lapangan Kalibata (sekarang sudah jadi apartemen Kalibata City), entah di lapangan gratisan di halaman belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang megah itu.
Pokoknya siap bertanding. Bahkan di Stadion Madya, sempat, keok entah berapa kosong melawan tim Pelatnas Bulu Tangkis yang diperkuat pemain-pemain dunia seperti Liem Swie King, juara dunia Icuk Sugiarto, Christian Hadinata, pemain ganda juara All England Kartono, Hadibowo, Bobby Ertanto, Sigit Pamungkas, Lius Pongoh, termasuk pula pelatih fisik terkenal mereka, Tahir Djide. Biar mereka biasanya nepok bulu angsa, eh, ternyata di lapangan sepak bola mereka jago-jago sekali.
"Saya dulu harus memilih, mau main sepak bola atau bulu tangkis. Karena dua-duanya sama-sama suka. Akhirnya, pilih bulu tangkis," ujar Christian Hadinata, waktu itu.
Juga jago main bola, bak Maradona, pemain tunggal putra Sigit Pamungkas. Beruntung, kalau tidak kalah 0-10 lawan bintang-bintang dunia bulu tangkis itu, di Stadion Atletik Stadion Madya tahun 1980-an.
Ketika bertanding lawan tim pelawak, di antaranya ada Dono, Kasino, Indro dari Warkop DKI, tim bulu tangkis dunia ini juga menang telak. Meski demikian, tim para pelawak kondang ini masih unggul jika ditanding lawan tim RedPalms...
Yang paling garang dan menangan, adalah tim "tarik tambang" RedPalms. Menang telak lawan tim para wakil rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam sebuah kesempatan 17 Agustusan pada tahun 1990-an.
Tim RedPalms memang banyak tertawa. Juga P Swantoro, wakil Jakob Oetama di Kompas, banyak ketawa dan senyum. Seperti kata pepatah, "Orang optimis adalah orang yang bisa menertawakan diri sendiri," sampai ngakak.
Dan banyak ketawa ini tersirat selalu pada siang hari, jam-jam Redaksi sudah mulai ditinggal pegawai administrasi, dan justru berdatangan para wartawan yang sepagian dan sesiang hari turun di lapangan.
Sebelum ketawa? Dari lapangan umumnya pada tidur dulu, di atas meja kerja. Mesin-mesin ketik disingkirkan, atau digulingkan, untuk memberi ruang bagi badan yang capai dari lapangan untuk rebahan.
Tidak terkecuali, bos ekonomi seperti Raymond Toruan pun kudu tidak malu tidur di atas meja kerja. Juga wartawan Departemen Keuangan, Indrawan Sasongko.
Potret-potret di atas ini sungguh bukan potret keindahan. Lantaran, umumnya dipotret dengan sisa-sisa filem seluloid yang mau dicuci oleh tim kamar gelap, Saeran dan Dadang, Misar, juga Jayeng ya?
"Ketimbang pemborosan, dicuci filemnya kosong, habisin saja...," kata Saeran. Banyak foto-foto dokumentasi di atas, justru diambil oleh Saeran, petugas kamar gelap teman kental Kartono Ryadi.
Zaman filem seluloid, yang umumnya 36 frames, kalau baru dipakai 30 frames kan sayang yang 4 frames terbuang? Maka, ya jepret-jepret-jepret. Saeran menghamburkan jepretan kamera wartawan, sebelum menggulung seluloid untuk dicuci di kamar gelap...
Jam siang hari, adalah jam paling mengasyikkan di ruang kerja Redaksi Kompas di Palmerah Selatan, pada tahun-tahun 1970-an sampai 1990-an.
Tidak ada resmi-resmian. Boleh mengetik pakai kaus singlet, seperti sering terlihat wartawan olahraga Sumohadi Marsis. Menunggu, sampai diesel kantor menyala, maka pendingin ruangan (AC) baru boleh dinyalakan.
Suasana siang hari diisi dengan berbagai hal. Ada yang menggelar meja gaple, nyaris tidak ada kecualinya, banyak wartawan RedPalms yang jago main gaple. Seperti yang ada di dalam gambar, bahkan wartawan kebudayaan Emmanuel Subangun pun main gaple, bareng wartawan foto JB Suratno, juga pe-layout Mas Pele.
Jam-jam siang hari, merupakan jam-jam santai istirahat sejenak, sebelum ngebut mengejar deadline batas pemberitaan jelang tengah malam. Setelah lepas magrib?
Jangan tanya bunyi ruangan Redaksi. Bunyi mesin ketik seperti hujan deras, badai, geretak tiada henti. Ditimpali dengan bunyi mesin teleks di ruang teleks, yang menyala terus selama 24 jam, menyuguhkan print out bahan-bahan berita dari kantor berita asing, Reuters, Agence France Presse (AFP), UPI, ada juga berita nasional dari Antara.
Wah, berabe. Harus pergi ke kantor Antara di Pasar Baru untuk mengambil print out yang terputus dan tak sempat tercetak sebelum ganti gulungan kertas. Repot kan? Maklum, belum model mbah Google internet yang "real time", memberitakan pada saat itu juga berita dunia.
Zaman RedPalms, masih zamannya pasca perang. Berita masih berupa hardcopy, print out, cetakan dari kantor-kantor berita luar maupun dalam negeri. Hubungan antar wartawan hanyalah pesawat telpon. Kalau perlu, pakai koin di telpon umum. Atau yang paling mewah, kirim facsimile...
Jam siang, jam ketawa-ketiwi sering diramaikan dengan seloroh mas DJ Pamoedji. Dari ledek-ledekan tiada habisnya dengan Kartono Ryadi, sampai buka-buka majalah syuur....
Seringkali, majalah-majalah luar negeri waktu itu, ditempel kertas dengan lak hitam, pas berita-berita kritis terhadap Indonesia, atau yang ...... syuuuur.Â
 Filem-filem pun, sebelum boleh diputar di bioskop-bioskop, juga harus melalui Badan Sensor Filem (BSF) dulu. Ditonton dulu oleh pejabat-pejabat sensor. Dan yang tidak senonoh, atau berbau politik kritis, kudu digunting. Maka, banyak filem luar negeri yang asyik-asyik, sampai Indonesia compang-camping digunting pejabat sensor...
Jimmy S Harianto, Wartawan Kompas 1975-2012, tinggal di Taman Alfa Indah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H