Isu kesehatan menjadi salah satu pokok pembahasan dominan dalam debat kelima calon presiden 2024 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Minggu (4/2/2024). Calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, menekankan komitmennya dalam masalah kekurangan dokter di Indonesia yang akan diatasi dengan menambah fakultas kedokteran dan memberikan beasiswa studi kedokteran di luar negeri.
"Masalah kesehatan di Indonesia itu kekurangan dokter. Kita kurang 140.000 dokter. Itu utama," jelas Prabowo dalam potongan pemaparan visi misinya.
"Kami akan segera mempercepat kekurangan dokter di Indonesia. Kita kekurangan sekitar 140 ribu dokter dan itu akan segera kita atasi dengan cara kita akan menambah fakultas kedokteran di Indonesia," tambah Prabowo dalam pemaparan di debat terakhir calon presiden 2024.
Pertanyaan mendasar yang muncul dan harus dianalisis lebih mendalam adalah apakah Indonesia akan mampu mempercepat keterbatasan tenaga dokter yang ada saat ini terlepas dari siapa yang nantinya terpilih sebagai pemimpin di negara ini?
Ada baiknya kita melihat persoalan ini bukan hanya kepada ambisi mempercepat pengadaan tenaga dokter, tetapi lebih kepada bagaimana sampai ketersediaan tenaga dokter dari masa kepimpinan satu presiden ke presiden lainnya masih saja bermasalah.
Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohammad Nasir, sempat mengakui sulitnya mencetak tenaga dokter agar bisa melayani di daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
Nasir menyebutkan sejumlah kendala tersebut diantaranya mencakup sumber daya manusia, infrastuktur, hingga pelayanan kesehatan.
Laporan yang dikeluarkan oleh bank digital Jerman, N26, menyebutkan Indonesia merupakan salah satu negara dengan biaya kuliah kedokteran termahal di dunia pada tahun 2022 atau menempati urutan ke-8 dari hasil riset terhadap 50 negara.
N26 mengestimasi biaya kuliah di fakultas kedokteran Indonesia dapat mencapai lebih dari Rp 900 juta yang mencakup biaya pendidikan awal hingga meraih gelar dokter. Ini belum mencakup biaya pelatihan tambahan, biaya tempat tinggal, makanan, dan biaya hidup lainnya selama proses pendidikan.
M Nasir mengakui tingkat kelulusan calon dokter yang belajar di kampus-kampus besar di wilayah Indonesia Timur masih rendah atau di bawah 50 persen, seperti yang diantaranya terjadi di Universitas Cenderawasih meskipun Fakultas Kedokteran di kampus ini sudah terakreditasi B.
Masalah yang tak kalah serius lainnya adalah maladistribusi dokter. Seperti dikutip oleh harian KOMPAS, rasio dokter di DKI saat ini 1:680, tetapi di Sulawesi Barat rasionya 1:10.417.
Jadi, diskrepansinya 52 kali lipat. Untuk spesialis, rasionya 52 per 100.000 penduduk di DKI dan 3 per 100.000 penduduk di Papua. Diskrepansinya 17 kali lipat.
Ada 15 perguruan tinggi di Indonesia yang baru membuka fakultas kedokteran. Perguruan tinggi ini diantaranya adalah IPB University, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Pendidikan Indonesia, serta Universitas Dian Nuswantoro.
Namun, pendirian 15 FK baru ini nampaknya akan sulit dijadikan solusi atas masalah kekurangan dokter di luar Jawa, khususnya di daerah-daerah 3T, karena semua fakultas tersebut berada di Jawa.
Apakah peningkatan tenaga dokter secara cepat menjadi solusi?
Untuk saat ini, Indonesia mampu mencetak 14.000 tenaga dokter per tahun. Apabila dikalkulasi dengan 10 tahun mendatang maka jumlah dokter di Indonesia akan menjadi 350.000 orang.
Menurut prakiraan BPS, populasi di Indonesia dalam kurun waktu yang sama atau 10 tahun ke depan hanya naik 11 persen atau mencapai 301-302 juta.
Artinya masalah ini berpotensi menimbulkan diskrepansi antara peningkatan jumlah dokter dan pertambahan populasi. Peningkatan jumlah dokter yang melebihi kebutuhan justru dikuatirkan berdampak terhadap minimnya kesejahteraan, kompetisi tidak sehat, serta kemungkinan munculnya pelanggaran etika dan disiplin profesi dalam praktik dokter.
Sejumlah potensi permasalahan ini tentunya akan memperburuk kondisi yang selama ini ada, yaitu fakta bahwa sekitar 2 juta warga negara Indonesia berobat ke luar negeri setiap tahun. Kepergian WNI untuk berobat ke luar negeri mengakibatkan Indonesia kehilangan devisa sekitar 11,5 miliar dollar AS atau setara Rp 170 triliun per tahun.
Dari hasil survei persepsi pasien lokal terhadap RS di Indonesia diketahui separuh dari seluruh responden merasa teknologi kesehatan di Indonesia kurang canggih dan diagnosisnya pun kurang akurat.
Lemahnya akurasi diagnosa yang mengarah ke kompetensi dokter, kurang canggihnya teknologi kesehatan, serta masih buruknya komunikasi, perhatian, dan empati dokter atau paramedis terhadap pasien menjadi 3 hal utama yang mengemuka dalam hasil survei persepsi pasien lokal terhadap RS di Indonesia.
Sejumlah permasalahan yang mengemuka ini belum seluruhnya menggambarkan kondisi memprihatinkan dari minimnya tenaga dokter dan kualitas fasilitas kesehatan di Indonesia. Kementerian Kesehatan tidak dapat secara sepihak menyerukan berulang-ulang narasi Indonesia kekurangan dokter dengan keputusan yang diambil secara tergesa-gesa untuk membuka fakultas kedokteran baru.
Kemenkes juga harus lebih jeli melihat kenyataan yang ada di lapangan secara menyeluruh dengan mendengarkan pendapat dari para pemangku kepentingan lain, seperti Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) dan Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia (ARSPI).
Dengan demikian, Kemenkes dapat melihat permasalahan ini secara menyeluruh bersama organisasi profesi spesialis serta pemda untuk menetapkan rasio kebutuhan dokternya dengan memperhatikan situasi demografi dan kemudahan transportasi yang berbeda di setiap wilayah. Ini penting artinya karena Kemenkes harus memiliki metadata terkait kebutuhan dokter ini secara akurat dengan menyertakan semua pemangku kepentingan bidang layanan kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H