Masalah yang tak kalah serius lainnya adalah maladistribusi dokter. Seperti dikutip oleh harian KOMPAS, rasio dokter di DKI saat ini 1:680, tetapi di Sulawesi Barat rasionya 1:10.417.
Jadi, diskrepansinya 52 kali lipat. Untuk spesialis, rasionya 52 per 100.000 penduduk di DKI dan 3 per 100.000 penduduk di Papua. Diskrepansinya 17 kali lipat.
Ada 15 perguruan tinggi di Indonesia yang baru membuka fakultas kedokteran. Perguruan tinggi ini diantaranya adalah IPB University, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Pendidikan Indonesia, serta Universitas Dian Nuswantoro.
Namun, pendirian 15 FK baru ini nampaknya akan sulit dijadikan solusi atas masalah kekurangan dokter di luar Jawa, khususnya di daerah-daerah 3T, karena semua fakultas tersebut berada di Jawa.
Apakah peningkatan tenaga dokter secara cepat menjadi solusi?
Untuk saat ini, Indonesia mampu mencetak 14.000 tenaga dokter per tahun. Apabila dikalkulasi dengan 10 tahun mendatang maka jumlah dokter di Indonesia akan menjadi 350.000 orang.
Menurut prakiraan BPS, populasi di Indonesia dalam kurun waktu yang sama atau 10 tahun ke depan hanya naik 11 persen atau mencapai 301-302 juta.
Artinya masalah ini berpotensi menimbulkan diskrepansi antara peningkatan jumlah dokter dan pertambahan populasi. Peningkatan jumlah dokter yang melebihi kebutuhan justru dikuatirkan berdampak terhadap minimnya kesejahteraan, kompetisi tidak sehat, serta kemungkinan munculnya pelanggaran etika dan disiplin profesi dalam praktik dokter.
Sejumlah potensi permasalahan ini tentunya akan memperburuk kondisi yang selama ini ada, yaitu fakta bahwa sekitar 2 juta warga negara Indonesia berobat ke luar negeri setiap tahun. Kepergian WNI untuk berobat ke luar negeri mengakibatkan Indonesia kehilangan devisa sekitar 11,5 miliar dollar AS atau setara Rp 170 triliun per tahun.
Dari hasil survei persepsi pasien lokal terhadap RS di Indonesia diketahui separuh dari seluruh responden merasa teknologi kesehatan di Indonesia kurang canggih dan diagnosisnya pun kurang akurat.
Lemahnya akurasi diagnosa yang mengarah ke kompetensi dokter, kurang canggihnya teknologi kesehatan, serta masih buruknya komunikasi, perhatian, dan empati dokter atau paramedis terhadap pasien menjadi 3 hal utama yang mengemuka dalam hasil survei persepsi pasien lokal terhadap RS di Indonesia.