Perlahan tapi pasti, berbagai hal dikorbankan untuk menutup-nutupi berbagai kebobrokan yang berkembang biak, dibalik sistem kekuasaan yang dibangunnya. Bukan hanya soal eksploitasi sumberdaya dan kekayaan alam yang hanya dinikmati segelintir orang.
Pengaruh buruknya juga merasuk hingga moral dan semangat gotong-royong yang menjadi akar utama persatuan dan kesatuan bangsa ini. Sejenis "post truth" masa kini --- yakni kebenaran emosional yang sama sekali bukan faktual --- sebetulnya sudah lazim berkembang di tengah-tengah kehidupan bangsa kita sejak masa kekuasaan Suharto dulu.
Bedanya --- jika kebenaran emosional hari ini berkembang karena adanya kesenjangan tingkat pendidikan, pemahaman, dan pengalaman di tengah tsunami kabar berita dan informasi yang berseliweran --- "post truth" Orde Baru justru terbentuk secara tertib dan sengaja. Yakni melalui sistem kekuasaan pemerintahan yang represif dan mengkebiri ruang gerak maupun kebebasan berpendapat masyarakatnya.
Maka hanya kebenaran yang dibenarkan penguasa saja yang tertebar dan layak dikonsumsi masyarakat luas. Hal yang kemudian berkembang dan membangun beragam pemahaman semu dan keliru tentang keunggulan, kehebatan, ketenteraman, kerukunan, kedamaian, hingga ketertiban bangsa ini.
Semua itu seketika terkuak, berhamburan layaknya nanah busuk dari bisul yang pecah, ketika krisis ekonomi yang dipicu kegagalan melunasi kewajiban hutang luar negeri kita, tak tertanggungkan lagi. Harga berbagai kebutuhan pokok kemudian melonjak tak terkendali setelah nilai tukar rupiah melorot tajam.
Di berbagai daerah bahkan terjadi kelangkaan yang mengundang keresahan publik. Kerusuhan demi kerusuhan pun meletus. Diikuti dengan berbagai kebiadaban yang sebelumnya tak pernah diduga mampu dilakukan masyarakat kita yang terkenal ramah. Terlepas dari ada-tidaknya provokator yang memancing prilaku tersebut.
Suharto tak mampu lagi bertahan. Terlebih setelah orang-orang dekat yang selama 32 tahun dia berkuasa terlihat setia, serempak berbalik badan meninggalkannya. Dia akhirnya menyatakan diri berhenti dan menyerahkan kursi kepresidenan kepada BJ Habibie yang sebelumnya menjadi Wakil Presiden.
+++
Hingga hari ini, saya selalu menepis dugaan, adanya "mastermind" yang paska berhentinya Suharto pada 21-5-1998 itu, dengan sengaja telah menggiring kita ke dalam sistem demokrasi yang dianut hari ini. Begitu saja --- dan dengan serta merta --- meninggalkan kearifan demokrasi Pancasila yang sebelumnya kita agungkan dan junjung tinggi.
Bahwa Suharto pernah menelikung dengan cara menyalah gunakan kekuasaan yang diamanahkan padanya, adalah satu hal. Semua itu sesungguhnya tak serta merta menyatakan kearifan yang rumusannya tertuang dalam sila keempat Pancasila itu, keliru.
Tapi mengapa segelintir orang yang mengatas namakan kita semua untuk merumuskan Gerakan Reformasi waktu itu, membuangnya begitu saja ke tong sampah, lalu menggantinya dengan sistem one-man-one-vote amat sederhana tanpa menjangkau spirit esensial kebangsaan kita yang sesungguhnya?