Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Catatan Menjelang Rapat Umum Rakyat: Konser Putih Bersatu, 13 April 2019

12 April 2019   21:13 Diperbarui: 13 April 2019   08:39 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Maka kecerdasan dan kearifan setiap individu masyarakat sesungguhnya semakin berperan dan dibutuhkan. Hal yang sangat berkorelasi dengan tingkat pendidikan, pengalaman, dan pemahaman individu masing-masing.

+++

Di balik kompleksitas peradaban dan kemajuan zaman yang berkembang serba terburu-buru itu, sesungguhnya telah pecah persoalan yang justru jauh lebih runyam. Yakni hal yang terkait dengan pemaknaan demokratisasi yang kita anut dan yakini. Khususnya setelah Gerakan Reformasi 1998 bergulir.

Masalah bermula dari kekeliruan Suharto yang menelikung keagungan sistem demokrasi Pancasila yang sebelumnya telah dirumuskan para pendiri bangsa saat mempersiapkan kemerdekaan kita dulu.

Kesadaran dan pemahaman tentang keberagaman suku, agama, ras, dan antar golongan masyarakat yang tersebar dari Sabang hingga Marauke, telah melatar belakangi gagasan jitu sila keempat Pancasila yang menjadi dasar Negara kita.

"Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"

Di sana terkandung makna suci untuk meniadakan tirani mayoritas maupun diktator minoritas. Para pendiri bangsa yang merumuskan telah meletakkan kepentingan persatuan dan kesatuan di atas segalanya.

Suara yang terbanyak tak mesti meniadakan keberadaan suatu golongan maupun kelompok, sekecil apapun mereka. Hikmat kebijaksanaan melalui musyawarah yang dihadiri seluruh wakil bangsa menjadi dasar utama demokrasi kita.

Tapi atas nama melanggengkan kekuasaannya, Suharto justru mengkhianati kesepakatan dasar tersebut. Dia kemudian menggunakan pendekatan kolusi, korupsi, dan nepotisme untuk mencengkeramkan kuku kekuasaan pada setiap elemen, sehingga perwakilan masing-masing tak lagi bertindak atas nama kepentingan kelompok mereka. Tapi justru disesuaikan dengan selera dan keinginan penguasa Orde Baru itu.

Berbagai tindakan represif pun dibudayakan untuk membungkam suara-suara yang tak sejalan. Kepentingan inilah yang menjadi latar belakang utama penerapan kebijakan dwi fungsi ABRI dulu. Sebagai salah seorang mantan perwira tinggi yang tersisa --- setelah sejumlah Jenderal tewas terbunuh saat Gerakan 30 Spetember 1965 meletus --- pendaya gunaan kebijakan dwi fungsi itu berperan sangat strategis.

Ancaman yang dikait-kaitkan kepada PKI dan gerakan komunis --- yang paska penculikan berdarah G30S itu telah menjelma jadi momok bagi seluruh bangsa Indonesia --- merupakan senjata pamungkas yang kerap digunakan untuk mempertahankan keamanan dan ketertiban kekuasaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun