Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Drama Pencalonan Presiden Indonesia 2019-2024

10 Juli 2018   21:29 Diperbarui: 11 Juli 2018   09:29 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pilih Joko Widodo, jika beliau kelak diajukan sebagai calon Presiden Republik Indonesia 2019-2024. Siapapun wakil yang dipasangkan mendampinginya.

Pertimbangan saya jelas dan tegas.

Dia tak memperkaya diri sendiri. Juga istri dan anak-anaknya. Jika dibandingkan dengan presiden manapun yang pernah memimpin kita, pertumbuhan hartanya dihitung per satuan waktu, sama sekali pasti tak berarti. Silahkan cek toko sebelah, deh.

Mantan Walikota Solo dan Gubernur Jakarta itu, juga bekerja sepenuh hati dalam menunaikan amanah. Dalam kesederhanaan dan keterbatasan yang dimilikinya, dia berupaya menuntaskan hal yang paling mungkin dilakukan.

Di tengah sistem demokrasi dan tata negara yang tersedia hari ini, membangun infrastruktur fisik untuk memperkuat modal penyelengaraan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di masa depan, adalah yang paling mungkin. 

Sesuatu yang sangat terukur untuk dilakukan dalam 5 tahun pertama kekuasaannya. Hal yang mampu dengan mudah dipastikan terselenggara, tanpa harus terlalu hirau terhadap tekanan maupun manuver lawan politik. Mulai dari penganggaran hingga penugasan pihak yang melaksanakan.

Sementara itu, pada sejumlah hal lain yang diwariskan masa lalu dan terlanjur berdiri sebagai 'preseden', kita semua justru menyaksikan kerumitan upaya yang perlu dilakukan Joko Widodo, untuk membenahi dan sekedar 'meluruskan'-nya kembali. 

Meski ia telah berupaya maksimal untuk mengerahkan segenap kekuasaan dan orang-orang terbaik yang berada di sekitarnya.  

Lihatlah perjalanan panjang yang harus dilaluinya untuk mengambil alih saham perusahaan tambang Freeport yang sejak berpuluh tahun lalu begitu leluasa mengeruk isi perut Papua. 

Kegundahan Joko Widodo bukan hanya pada soal bagian dari hasil penambangan yang menjadi hak kita. Tapi juga tentang pengembangan nilai tambah yang selama ini justru seperti 'sengaja' disia-siakan. Semata karena terbukanya peluang bancakan istimewa yang dapat dilakukan lingkaran 'elite' yang berada di sekitar kekuasaan Negara saat itu.

Maka, atas nama landasan hukum perjanjian yang ditanda tangani pemegang kekuasaan masa lalu bersama perusahaan yang menjadi mitra kerjasama kita, hak-hak istimewa pada kekayaan bumi tersebut, di sana-sini justru telah tergadaikan. 

Dalam kalkulasi kekuasaan 5 tahun yang dimilikinya, Joko Widodo menantang segenap resiko untuk meluruskan kembali hak bangsa Indonesia itu. 

Termasuk masyarakat lokal Papua yang justru terbengkalai dan tak memperoleh manfaat wajar selama ini. Hal yang sesungguhnya sangat kita maklumi akan mendapat perlawanan sengit dari rival politik yang selama ini diuntungkan oleh 'perkeliruan' itu. 

Tentu masih hangat pada ingatan kita semua, bagaimana drama epik 'Papa Minta Saham' pernah menghiasi hari-hari pertama pemerintahan yang dipimpinnya kemarin.

Begitu pula dengan berbagai upaya 'tata ulang' lain yang dilakukannya, seperti penguasaan kembali 'Blok Mahakam',  'Pembubaran Bisnis Rente Petral', dan sebagainya.

+++

Joko Widodo memang bukan 'Superman' yang mampu menuntaskan persoalan bangsa kita yang sangat banyak. Beliau bukan hanya membutuhkan semangat gotong-royong dan kerelaan berkorban semua pihak. Tapi juga keleluasaan mengelola orang-orang terbaik yang bekerja sama dan membantunya. Hal ini adalah permasalahan utama yang harus dihadapi sejak hari pertama dia memasuki Istana Negara. 

Kita memaklumi, tekad awalnya untuk mengisi kabinet dengan sosok-sosok profesional dan independen, ternyata tak bisa dipertahankan. Tekanan partai-partai politik pendukungnya begitu besar sehingga ia tak kuasa menampik keharusan mengakomodasi kader-kader mereka. 

Bahkan julukan 'Petugas Partai' segera disematkan PDIP yang pada tahun 2014 kemarin, sempat bertele-tele memastikan pencalonannya. Kita kemudian harus memaklumi ketika puteri Ketua Umum partai itu ditempatkannya menduduki salah satu posisi Menteri Koordinator. 

Lalu kemudian prestasi  kementerian tersebut memang tak banyak terdengar selama masa kekuasaan Joko Widodo yang kini hampir berakhir. Padahal, dari kantor tersebut, kita berharap cemas soal Revolusi Mental yang pernah dikumandangkan sang Presiden pada awal mula dia terpilih. Atau tentang berbagai hal yang mencerminkan peningkatan kemakmuran, pemerataan kesejahteraan, dan keadilan sosial yang sebenarnya.

Di kemudian hari, ketika akhirnya harus melakukan sejumlah perombakan, Presiden RI ke 7 itu pun 'terpaksa' membuka pintu koalisi terhadap partai-partai yang semula tak mendukungnya. Lalu kemudian diikuti langkah penempatan sejumlah kader mereka pada jajaran kabinetnya.

Berbagai posisi strategis yang amat penting bagi masa depan bangsa ini, justru dikuasakan pada tokoh-tokoh partai politik. Seperti Perindustrian, Perdagangan, Dalam Negeri, Kehakiman, Sosiial, Pendayaangunaan Aparatur Negara, dan seterusnya.

+++

Infrastruktur memang bukan satu-satunya persoalan kita. Begitu pula penguasaan kembali dan optimasi manfaat sumberdaya alam yang selama ini hampir tak berarti dibanding potensi perolehan mestinya. Dua hal yang memang perlu dan mampu dituntaskan Joko Widodo dalam periode pertama kepemimpinannya.

Kita sesungguhnya juga membutuhkan pembenahan segera pada berbagai suprastruktur yang menopang keberlangsungan bangsa ini agar mampu bangkit dari keterpurukan dan menyongsong masa depannya. 

Juga pada sistem dan tatanan birokrasi yang menjalankan berbagai fungsi pemerintahan untuk menyelesaikan persoalan dan menghadapi tantangan. Hal-hal besar yang hampir mustahil dilakukan jika pertikaian politik terus-menerus menyandera dan masing-masing kelompok semakin asyik saling menegasi satu dengan yang lain.

Di luar kedua hal tersebut di atas tadi --- infrastruktur dan optimasi pemanfataan sumberdaya alam --- Joko Widodo memang menghadapi ancaman pada kerawanan kinerja pemerintahannya. 

Sebagian karena hal-hal yang diluar kendali beliau. Seperti gejolak dan dinamika pada stabilitas global. Baik secara ekonomi, politik, maupun keamanan yang berdampak terhadap negara kita. 

Tapi juga oleh hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi dan penguasaan masalah, kapasitas, serta kapabilitas para pembantunya dalam menghadapi maupun mengantisipasi persoalan dan tantangan yang ada.

Meski demikian saya tetap percaya kepemimpinan Joko Widodo pada periode yang akan datang tetap lebih baik dan diperlukan dibanding siapa pun yang lain.

Mengapa?

Pertama --- sperti yang telah diungkapkan di bagian awal tadi --- karena kepribadiannya yang sederhana, sosoknya yang jujur dan bersih, dan kesempurnaan sikapnya dalam mengemban amanah yang kita berikan.

Hal yang kedua karena pertimbangan agar beliau memperoleh kesempatan menuntaskan dan sekaligus menindak lanjuti hal-hal yang telah dimulai. Terutama tentang implikasi keadilan sosial setelah berbagai infrastruktur yang sekarang digelarnya tuntas. 

Begitu pula dalam hal upaya optimasi pemanfataan sumberdaya alam yang kini dilakukannya. Semua 'investasi' itu berpeluang sia-sia ketika sosok lainnya yang terpilih memimpin Indonesia pada 2019-2024 nanti. Apalagi jika manusianya selalu sibuk dengan pencitraan, hobi memanipulasi fakta, dan cenderung menyederhanakan amanah sesuai dengan selera pribadinya.

Pertimbangan yang ketiga terkait kesempatannya mengimplementasikan keinginan untuk menggerakkan jajaran pembantu yang profesional dan independen. Pada periode kedua dan terakhir nanti, Joko Widodo berpeluang mengabaikan berbagai tekanan politik yang selama ini selalu memasungnya.

Dia pun tak perlu lagi terlalu menghiraukan 'kegaduhan' yang mungkin berkembang. Upaya pengejawantahan Revolusi Mental dan Nawacita yang sebelumnya terbengkalai, bagaimanapun memang akan mengundang kegaduhan. Sebab, revolusi merupakan perubahan yang berlangsung seketika dan selalu menyertakan korban.

+++

Masalahnya, siapakah parta-partai yang akan bersedia mencukupkan suara agar dapat mencalonkan Joko Widodo sebagai Presiden RI periode 2019-2024?

Kita maklum, 'mesin' partai PDIP dalam Pilkada serentak 2018 yang baru berlangsung kemarin, ternyata tak mampu bekerja dengan baik. Penampilan partai yang sempat diharapkan berbagai pihak mampu mengawal Reformasi 1998 tersebut, semakin jauh dari memuaskan. 

Calon-calon Kepala Daerah yang diajukannya --- terutama pada propinsi-propinsi di Jawa yang meyumbang angka pemlih Nasional terbesar --- justru tak berhasil meraih suara dan kalah bersaing. Kecuali Jawa Tengah.

Rekam jejak partai yang selama ini cenderung menyodorkan calon yang sesuai 'selera Ketua Umum' tapi kurang menghiraukan aspirasi warga pemilih itu, sudah terlihat saat proses bertele-tele untuk mencalonkan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. 

Juga saat mengusung Ahok menjadi calon Gubernur DKI 2017-2022. Begitu pula ketika menetapkan Djarot sebagai calon Gubernur Sumatera Utara, Puti di Jawa Timur, maupun Anton di Jawa Barat kemarin. Hal-hal seperti itu berpeluang menimbulkan suasana tak nyaman bagi partai politik lain yang diajak mendampingi untuk mencukupkan kuota mereka, agar dapat mengajukan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden 2019-2024 nanti.

Kinerja mesin partai dalam Pilkada serentak 2018 tersebut, tentu saja mempersempit keleluasaan PDIP untuk mencalonkan sosok yang akan mendampingi Joko Widodo nanti. 

Partai-partai lain yang diajak untuk melengkapi kuota suara yang dibutuhkan, kemungkinan besar lebih percaya diri mengajukan calonnya sendiri. Apalagi mereka yang berhasil menempatkan calon kepala daerah yang kemudian terpilih pada pilkada kemarin. Maka tarik-menarik akan berlangsung sengit, dan kemungkinan besar akan mewarnai negosiasi mereka dalam proses pencalonan Joko Widodo nanti.

Siapakah calon Wakil Presiden yang diminta Nasdem atau Hanura --- meski sejak beberapa waktu lalu telah menyatakan tekadnya --- untuk mencalonkan Joko Widodo kembali?

Bagaimana pula dengan PKB, PAN, dan lain-lain?

Diantara mereka mungkin ada yang bernafsu mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden sendiri. Bukan hanya tak merasa perlu bergandeng tangan dengan PDIP. Tapi justru menantangnya secara berhadap-hadapan.

+++

Banyak pendapat yang berkembang paska Pilkada serentak kemarin. Disinyalir posisi tawar antara Jokowi dan PDIP yang sekarang, telah berkebalikan. Kekalahan telak calon-calon kepala daerah yang diusung PDIP pada kantong-kantong suara strategis Nasional kemarin, menandakan potensi ketergantungan partai berlambang banteng dengan moncong putih itu terhadap sosok Jokowi, jauh lebih besar dibanding sebaliknya.

Jadi, siapakah yang layak dipasangkan PDIP bersama partai lain yang bersedia melengkapi suaranya, untuk menjadi calon Presiden-Wakil Presiden RI 2019-2024?

Menurut saya, sosok wakil yang berangkat dari latar belakang Kepolisian adalah sebuah kekeliruan terbesar. Sejak dipisahkan dari ketiga angkatan bersenjata kita --- Darat, Laut, dan Udara yang kemudian menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) --- masih terlalu banyak agenda reformasi yang belum berproses dengan baik dan semestinya di tubuh lembaga yang bertanggung jawab terhadap perlindungan dan pelayanan ketertiban masyarakat itu.

Selain berbagai praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ditengarai masih subur, banyak pula rekam jejak kinerja institusinya yang memancing kekecewaan publik. Mulai dari 'perseteruan kambuhan' mereka dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang hingga kini tetap menjadi lembaga primadona masyarakat dalam upaya memerangi korupsi. 

Hingga kemampuan kepolisian dalam menuntaskan berbagai kasus yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Pengungkapan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan --- pejabat KPK yang memulai karirnya justru sebagai anggota korps Bhayangkara --- adalah salah satunya.

Jika keberadaan PDIP sebagai partai pengusung calon kepala daerah pada sejumlah propinsi utama di Jawa dan Sumatera kemarin, terbukti tak mampu mendongkrak suara, maka penempatan sosok wakil untuk mendampingi calon Presiden yang berlatar belakang Kepolisian, saya duga, justru akan menggerus potensi suara yang bersedia memilih mereka. 

Tak lain karena citra negatif yang berkembang terkait keberadaan maupun kinerja korps Bhayangkara tersebut, diduga jauh lebih besar dibanding hal-hal positif yang pernah dan telah diraihnya. 

Paling tidak, sebagian mereka yang dari masa ke masa selalu dilanda kekhawatiran soal upaya pelemahan sistematis terhadap eksistensi lembaga KPK, sangat mungkin mulai berfikir ulang soal manfaat jangka panjang dari kesetiaan dirinya, untuk tetap membela dan memilih Joko Widodo. 

Bagaimanapun, masa tugas tersisa yang masih mungkin dilakoninya --- jika terpilih --- hanya tinggal 5 tahun lagi. Setelah itu, siapa pun yang sekarang terpilih bersama Jokowi dan menempati posisi Wakil Presiden, berpeluang untuk diajukan sebagai calon Presiden berikutnya.

+++

Eskalasi gelombang radikalisme keagamaan dalam peta perpolitikan Nasional, terjadi saat Ahok, Basuki Tjahaja Purnama, diajukan sebagai calon Gubernur DKI 2017-2022 kemarin. Sejak saat itu, issue Islam dan Non Islam menemukan celahnya dalam propaganda keberpihakan pemilik suara Indonesia. Pembubaran organisasi HTI yang dianggap bertentangan dengan dasar negara kita, juga berlangsung setelahnya. 

Sebab, setelah 'berhasil mengalahkan' Ahok dalam kontestasi pemilihan Gubernur DKI kemarin --- bahkan hingga menjebloskannya ke penjara --- gerakan mereka kemudian bergeser pada upaya-upaya untuk merongrong pemerintahan yang sah. Dalam berbagai kesempatan, mereka bahkan terang-terangan mengumandangkan keinginan untuk mendirikan negara khilafah.

Pemerintah kemudian bertindak tegas dengan mengoreksi kekeliruan pada UU Organisasi Kemasyarakatan. Kekeliruan itu tak sekedar ada. Tapi telah memberi celah terhadap kehadiran dan perkembangan radikalisme di tengah kita.

Meskipun kemudian dilarang, peran dan pengaruh radikalisme itu sempat merasuk ke tengah kehidupan sebagian masyarakat. Hasutan tentang pemerintahan Joko Widodo yang tak berpihak pada ulama dan agama Islam terlanjur berkembang liar. Bahkan hingga di tengah lingkungan kaum terpelajar dan birokrasi pemerintahan yang sah.

Fenomena itu kemudian dikapitalisasi sejumlah pihak untuk kepentingan politiknya. Lalu, berkembanglah pendapat seolah tokohulama menjadi alternatif yang layak dipilih untuk memimpin bangsa ini. Salah satunya dipropagandakan sebagai alternatif wakil yang mendampingi pencalonan Jokowi sebagai Presiden RI pada periode mendatang.

Bagi sebagian kalangan, gagasan untuk mengedepankan tokoh ulama Islam sebagai calon Wakil Presiden yang akan dipasangkan kepada Joko Widodo, mungkin seolah-olah terlihat relevan. Strategi tersebut mungkin tak hanya menawar, tapi juga dapat mengambil hati pemilih yang sempat terhasut soal ketidak berpihakan Jokowi terhadap umat Islam dan ulamanya.

Tapi, hal yang sesungguhnya paling dibutuhkan Joko Widodo untuk mendampinginya pada periode 2019-2024 mendatang, adalah sosok yang memiliki wawasan ekonomi dan kemampuan manajerial yang hebat. Pada kedua hal tersebutlah Indonesia harus memusatkan perhatiannya. Agar dapat memanfaatkan hasil kerja yang dilakukan Jokowi pada periode pertama kali ini, mengejar ketertinggalan sekaligus memperkuat fondasinya sebagai bangsa yang maju.

Dengan kata lain, upaya menawar hati pemilih yang sempat terhasut soal keberpihakan Jokowi terhadap umat Islam dan tokoh-tokoh ulamanya memang perlu. Tapi jika tak disertai dengan wawasan ekonomi dan kemampuan manajerial mumpuni untuk mengawal Revolusi Mental dan tekad Nawacita yang tertunda, hasil kerja mereka pada akhirnya mungkin tak cukup optimal. Sementara keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, harus terus berlanjut, paska berakhirnya masa tugas mereka nanti.

+++

Sementara itu, mengusung calon Wakil Presiden yang memliki kepiawaian ekonomi dan manajemen birokrasi pembangunan, adalah hal yang paling sulit dibanding sosok ulama tadi. Hal ini semata karena pencapaian kemajuan perekonomian kita hari ini belum mampu menempati posisi yang ajeg. 

Dalam beberapa hal, pengaruh global terhadap berbagai persoalan yang terjadi diluar kemampuan pemerintah mengendalikannya --- seperti kelesuan pasar global terhadap komoditas unggulan Nasional, kenaikan harga minyak mentah di pasar internasional yang berpengaruh terhadap inflasi domestik, serta pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing yang pada akhirnya menggerus cadangan devisa --- berpeluang diputar balikkan sebagai kegagalan atau kelemahan pemerintahan Joko Widodo.

Apalagi jika bumbu hutang luar negeri dan kehadiran investasi asing terus digoreng sebagian kalangan di luar proporsi yang sebenarnya.

Meski demikian, andai PDIP --- dan partai lain yang mendukungnya mencalonkan kembali Jokowi sebagai Presiden RI --- mengajukan wakil dari kalangan yang memiliki pemahaman ekonomi dan manajemen birokrasi pembangunan, saya duga peluang keberpihakan pemilih terhadap mereka jauh lebih besar dibanding wakil yang berasal dari kalangan Kepolisian.

Sebaliknya, dibanding wakil yang berasal dari kalangan ulama dan tokoh Islam, kemungkinan jauh lebih populer dibanding ahli ekonomi dan majerial birokrasi pembangunan.

++

Pilihan terbaik terhadap wakil yang akan dipasangkan dengan Joko Widodo, mungkin pada mereka yang berasal dari kalangan tentara. Tentunya bukan berasal dari mereka yang masih aktif. Sebab kita bukan ingin mengulang pengalaman buruk 'dwi fungsi' di masa Orde Baru.

TNI yang telah purna tugas tentunya memliki status dan kedudukan yang sama dengan masyarakat sipil yang lain. Sementara itu, kita pun telah memaklumi jika proses reformasi yang paling berhasil sejak digulirkan tahun 1998 lalu, adalah yang berlangsung di lingkungan TNI. 

Meskipun belum sempurna, mereka relatif sukses melaksanakan sebagian hal penting yang diamanahkan. Proses kembali ke barak, penghapusan dwi fungsi yang sebenarnya, dan peniadaan berbagai peran dan kegiatan sipil yang sebelumnya aktif melibatkan mereka --- terutama dalam berbagai aktifitas usaha strategis --- relatif berhasil mereka tunaikan.

Hal yang mungkin masih mengganjal hanya pada proses peradilan pidana yang melibatkan oknum maupun oganisasi tentara yang masih aktif. Dalam hal itu, mereka masih berhak mendapatkan perlakuan khusus dalam proses penegakan hukumnya. Yakni melalui sistem peradilan Militer. Bukan Pengadilan Umum sebagaimana masyarakat sipil.

Mengapa calon wakil Jokowi sebagai Presiden RI 2019-2024 dari kalangan yang pernah mengabdi di militer adalah yang terbaik?

PERTAMA, Jokowi membutuhkan 'chief executive officer' untuk merevolusi manajemen birokrasi pemerintahan kita yang 'acak kadut' itu. Sejarah telah membuktikan disiplin dan ketertiban militer dalam pengembangan organisasinya --- termasuk ketika menjalankan agenda amanah reformasi di tubuh mereka --- berjalan paling baik dibanding yang lain. Termasuk dalam pengelolaan bakat, kapasitas, dan kemampuan sumberdaya manusianya. 

KEDUA, Indonesia perlu fokus sekaligus leluasa memanfaatkan momentum pengembangan keunggulan kompetitif maupun komparatifnya agar dapat bangkit hingga bersanding sejajar dengan negara-negara maju lain. Era ketergantungan pada sumberdaya alam sudah berakhir sehingga pengembangan industri berbasis nilai tambah adalah segala-galanya. 

Memastikan para Menteri Kabinet di bidang terkait dapat bekerja dengan baik, bersungguh-sungguh, dan tidak tergoda ataupun terjebak pada kegenitan politik yang acap menyesatkan, adalah hal yang perlu dipastikan pengawalannya. 

Periode 2019-2024 merupakan masa yang sangat kritis untuk memastikan profil demografi Indonesia betul sebagai bonus. Bukan sebaliknya, sebagai malapetaka karena kita tak menyediakan ruang yang dilengkapi suprastruktur memadai.

KETIGA, pemberantasan korupsi yang menjadi tekad utama ketika Gerakan Reformasi bergulir tahun 1998 lalu, perlu mendapat penguatan significant. Berbagai upaya pelemahan maupun pengacauan terhadap KPK yang tak jemu untuk mencoba hingga hari ini, harus dikawal penuh, hati-hati, dan ekstra keras. Termasuk melanjutkan reformasi di institusi-institusi penegak hukum Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian yang masih banyak menyisakan kekecewaan. 

Perjalanan 20 tahun sejak 1998 sesungguhnya lebih dari cukup untuk menghadirkan profesionalisme dan integritas yang jauh lebih baik dan membanggakan pada ketiga institusi tersebut. Wakil Presiden dari kalangan militer ditengarai memiliki kapasitas mumpuni melakukannya. Termasuk juga untuk memerangi musuh-musuh --- maupun oknum-oknum yang kerap berusaha menelikung --- persatuan dan kesatuan bangsa kita.

Di atas semua itu, Joko Widodo sesungguhnya telah menunjukkan hasil memuaskan terhadap sejumlah 'uji-coba' yang pernah dilakukan. Sepanjang masa pemerintahannya sejak 2014 hingga kini, Presiden Joko Widodo berulang kali melibatkan peran serta TNI terhadap sejumlah kerja besar dan stategisnya. Mulai dari pembukaan dan pencetakan sawah, pembangunan infrastruktur di kawasan terpencil bahkan terisolasi, hingga pembersihan sungai Citarum yang sebelumnya sempat heboh karena sangat tercemar. 

Fakta bahwa saat ini sungai yang membelah propinsi Jawa Barat itu, telah mencapai keberhasilan yang luar biasa, tak bisa dilepaskan tanpa peran serta langsung dari kalangan militer yang dilibatkan di sana. Semua itu mereka lakukan tanpa harus mengambil alih fungsi-fungsi sipil dari lembaga-lembaga pemerintahan yang ada di sana. Bahkan mereka mampu menggerakkan partisipasi dan dukungan aktif masyarakat setempat.

+++

Bagaimana jika pencalonan Joko Widodo sebagai Presiden RI periode 2019-2024 dipasangkan dengan Puan Maharani?

Seandainya hal tersebut yang terjadi --- bahkan dipasangkan dengan Megawati Sukarnoputri atau Budi Gunawan sekalipun --- saya menduga sebetulnya Presiden Joko Widodo ingin menyampaikan pesan agar masyarakat tidak memilihnya lagi.

Mungkin beliau ingin berkonsentrasi bersama keluarganya. Membantu Kaesang membesarkan bisnis martabak adalah salah satu yang sangat mungkin dicita-citakannya di hari tua.

Tapi saya akan tetap memilihnya.

Memiliki Presiden yang jujur, bersih, berhati mulia, tak punya kepentingan, dan semata bekerja untuk bangsa sesuai yang diamanahkan padanya --- walaupun mungkin memiliki sejumlah kekurangan, salah satunya karena wakil terpilih yang mendampingi --- jauh lebih baik dan penting dibanding sosok lain yang diragukan kejujurannya, penuh dengan rekam jejak yang jorok, tega mengikhlaskan segala cara untuk meraih kekuasaan, dikelilingi berbagai kepentingan sempit, dan lebih mementingkan kelompok atau kroninya. 

Jika Indonesia setuju, tentu Joko Widodo tetap terpilih lagi tahun depan. Walau dipasangkan dengan siapapun. Termasuk Puan.

Jilal Mardhani, 10 Juli 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun