Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abu-abu

16 Juni 2018   17:53 Diperbarui: 16 Juni 2018   18:18 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

+++

Nafsu itu ada, kok.

Hal tersebut  memang menjadi kodrat kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia ini. Faktor yang membedakan kehadirannya dalam diri manusia, dibandingkan dengan makhluk yang lain, adalah kecerdasan. Baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Tiga hal yang menyemarakkan wilayah permainan nafsu dalam kehidupan manusia sehingga tak melulu soal seks dan penguasaan materi. Tapi juga tentang penaklukan dan kekuasaan yang lebih luas dari seks maupun materi itu sendiri: tentang pengakuan.

Mungkin hal itulah yang melahirkan para nabi dan rasul di satu sisi, juga Dajjal maupun Firaun di sisi lain dunia ini.

+++

Di tengah menyiapkan tulisan ini, rekan Novriantoni Kahar, dosen Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina, secara kebetulan mengirimkan tulisannya yang pernah dimuat Koran Tempo 6 tahun lalu, pada grup sosial media yang kami ikuti bersama (Koran Tempo, 16 Agustus 2012, 'Konsep Fitrah dan Kejahatan Sistemik').

Lalu saya menganggap perlu mencuplik sejumlah paragraf pembuka pada tulisannya yang menjelaskan dialektika sejumlah filsuf terdahulu tentang watak primordial manusia itu.

Berikut kutipannya :

"Filsuf Stoik dan Socrates menyatakan bahwa pada dasarnya watak manusia itu baik. Mereka akan jahat bila bergaul dengan orang-orang yang jahat. Akibat bergaul dengan kejahatan, manusia condong memperturutkan nafsu, tanpa mempertimbangkan baik-buruk tindakan mereka.

Filsuf lain, seperti Plotinus, cenderung menyatakan bahwa watak primordial manusia pada dasarnya jahat. Mereka tak akan menjadi baik kecuali melalui pembinaan dan pendidikan. Namun ada saja jenis manusia yang benar-benar jahat dan tidak mungkin dapat diubah dengan cara-cara pembinaan dan pendidikan.

Immanuel Kant dan kaum behavioris cenderung menandaskan bahwa seorang bayi, sejak lahir sampai umur tertentu, sesungguhnya tak punya kehidupan etis. Karena itu, watak dasar mereka tak bisa disifati baik-buruk, karena mereka belum mampu menalar perbuatan."

+++

Sejak memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia telah menjalani kodratnya sebagai suatu bangsa yang majemuk bersama sejumlah dinamika yang menyertai sejarahnya. Termasuk sejumlah perkeliruan yang sempat hadir, mengukuhkan diri, lalu kemudian berkembang luas hingga diyakini sebagai sebuah kebenaran. Yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kita telah melalui proses yang sangat panjang hingga tabiat busuk itu berkembang subur. Bahkan telah menjadi nilai budaya yang diyakini kebenarannya. Bukan lagi sebagai hal yang segera dtepis layaknya najis. Tapi justru kerap disiasati kehadirannya dalam berbagai negosiasi berbangsa, bernegara, dan bermasyarat. Meskipun laku itu telah dinyatakan sebagai musuh bersama yang harus dibasmi, ketika kekuasaan Orde Baru kita runtuhkan melalui Gerakan Reformasi 1998 lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun