Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abu-abu

16 Juni 2018   17:53 Diperbarui: 16 Juni 2018   18:18 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.pinterest.com

"catatan menjelang Pilkada 2018 dan kabar tentang SP3 Kepolisian terhadap Rizieq"

+++

Hanya ada 2 warna dasar yang melatar belakangi setiap laku dan tindakan manusia. Sesuatu yang baik, atau sesuatu yang jahat. Apapun yang dilakukan, senantiasa akan bergerak di antara kedua kutub ekstrim itu.

Soal penentuan posisi dan arah pergerakannya, sangat tergantung dari warna apa yang dipilih saat memulai. Sesuatu yang tak terlalu hitam, jelas bukan berangkat dari yang putih. Sementara hal yang dianggap mulai kotor, mestinya berawal dari yang bersih.

+++

Segala hal yang bermula dari niat dan pemikiran demi kepentingan, manfaat, dan keuntungan orang lain --- artinya bukan karena diri, keluarga, kroni, atau kelompoknya sendiri --- merupakan pilihan warna dasar yang baik.

Mengapa demikian?

Karena berarti yang bersangkutan telah selesai dengan dirinya. Dia telah bertekad mewakafkan hidupnya --- bahkan mungkin harga diri dan nyawanya sendiri --- untuk mewujudkan niat dan pemikiran itu.

Sebaliknya, mereka yang melakoni sesuatu dengan beralaskan kepentingan, manfaat, dan keuntungan diri sendiri --- termasuk keluarga, kroni, atau kelompoknya --- dipastikan berangkat dari pilihan warna yang jahat.

Hampir semua manusia, sebetulnya berada di wilayah abu-abu. Bukan putih yang bersih tanpa noda setitik pun, jika kita menganggap hal baik identik dengan putih. Atau hitam pekat yang sempurna, jika kita mengasumsikannya sebagai simbol warna bagi yang jahat.

Tapi karena sejatinya pasangan abadi dari hidup manusia di dunia ini adalah nafsu, maka karakter maupun kadar keabu-abuan dari warna laku dan tindak tanduknya, akan sangat bergantung pada kemampuan sekaligus kepiawaiannya bersikap dan menyikapi. Apakah dia memilih bermusuhan dengan nafsunya sendiri. Atau malah menyerahkan diri untuk diperbudak olehnya.

+++

Nafsu itu ada, kok.

Hal tersebut  memang menjadi kodrat kehidupan seluruh makhluk hidup di dunia ini. Faktor yang membedakan kehadirannya dalam diri manusia, dibandingkan dengan makhluk yang lain, adalah kecerdasan. Baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. Tiga hal yang menyemarakkan wilayah permainan nafsu dalam kehidupan manusia sehingga tak melulu soal seks dan penguasaan materi. Tapi juga tentang penaklukan dan kekuasaan yang lebih luas dari seks maupun materi itu sendiri: tentang pengakuan.

Mungkin hal itulah yang melahirkan para nabi dan rasul di satu sisi, juga Dajjal maupun Firaun di sisi lain dunia ini.

+++

Di tengah menyiapkan tulisan ini, rekan Novriantoni Kahar, dosen Falsafah dan Agama di Universitas Paramadina, secara kebetulan mengirimkan tulisannya yang pernah dimuat Koran Tempo 6 tahun lalu, pada grup sosial media yang kami ikuti bersama (Koran Tempo, 16 Agustus 2012, 'Konsep Fitrah dan Kejahatan Sistemik').

Lalu saya menganggap perlu mencuplik sejumlah paragraf pembuka pada tulisannya yang menjelaskan dialektika sejumlah filsuf terdahulu tentang watak primordial manusia itu.

Berikut kutipannya :

"Filsuf Stoik dan Socrates menyatakan bahwa pada dasarnya watak manusia itu baik. Mereka akan jahat bila bergaul dengan orang-orang yang jahat. Akibat bergaul dengan kejahatan, manusia condong memperturutkan nafsu, tanpa mempertimbangkan baik-buruk tindakan mereka.

Filsuf lain, seperti Plotinus, cenderung menyatakan bahwa watak primordial manusia pada dasarnya jahat. Mereka tak akan menjadi baik kecuali melalui pembinaan dan pendidikan. Namun ada saja jenis manusia yang benar-benar jahat dan tidak mungkin dapat diubah dengan cara-cara pembinaan dan pendidikan.

Immanuel Kant dan kaum behavioris cenderung menandaskan bahwa seorang bayi, sejak lahir sampai umur tertentu, sesungguhnya tak punya kehidupan etis. Karena itu, watak dasar mereka tak bisa disifati baik-buruk, karena mereka belum mampu menalar perbuatan."

+++

Sejak memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia telah menjalani kodratnya sebagai suatu bangsa yang majemuk bersama sejumlah dinamika yang menyertai sejarahnya. Termasuk sejumlah perkeliruan yang sempat hadir, mengukuhkan diri, lalu kemudian berkembang luas hingga diyakini sebagai sebuah kebenaran. Yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kita telah melalui proses yang sangat panjang hingga tabiat busuk itu berkembang subur. Bahkan telah menjadi nilai budaya yang diyakini kebenarannya. Bukan lagi sebagai hal yang segera dtepis layaknya najis. Tapi justru kerap disiasati kehadirannya dalam berbagai negosiasi berbangsa, bernegara, dan bermasyarat. Meskipun laku itu telah dinyatakan sebagai musuh bersama yang harus dibasmi, ketika kekuasaan Orde Baru kita runtuhkan melalui Gerakan Reformasi 1998 lalu.

Seperti yang dikatakan Stoik dan Socrates pada kutipan di atas. Pergaulan di tengah masyarakat yang terlanjur 'berbudaya jahat', akan sangat mempengaruhi suburnya sifat jahat itu berkembang di tengah kita.

Sementara itu, di tengah 'euforia' yang pernah sedemikian lama merayakannya kemarin, harapan seperti yang disampaikan Plotinus pun semakin jauh panggang dari api. Sebab, unsur 'pembinaan dan pendidikan' selama periode tumbuh-kembangnya 'budaya KKN' yang jahat itu, justru merupakan bagian yang turut terzolimi dan terlanjur porak poranda.

+++

Bagian terbesar dari setiap masyarakat di dunia ini, adalah mereka yang disibukkan dengan keseharian untuk sekedar bertahan hidup. Mereka adalah kelompok yang tak memiliki kemewahan waktu --- juga 'ruang' memadai --- untuk sabar dan telaten memahami hal yang sesungguhnya sedang berlangsung.

Mereka adalah 'suara Tuhan' yang ingin mempercayakan kehidupannya pada kearifan dan kebijaksanaan pemimpin yang baik.

Jika tak ada 'sosok yang realis' maka tentulah tak sulit bagi mereka untuk menemukannya pada 'dogma yang imajiner'.

Algoritma mereka memang sangat sederhana untuk memaknai suatu keabu-abuan itu. Sesederhana menuding dan menyimpulkan warna dasar dari mana 'pemimpin' atau 'dogma' itu bergerak: hitam atau putih.

Jadi sesungguhnya, algoritma 'distributed ledger technology' yang dkuasai segelintir manusia dan sedang melanda berbagai sendi kehidupan kita akhir-akhir ini, akan segera menjadi senjata pemusnah yang jauh lebih mematikan dibanding nuklir yang ditakuti itu. Tentu saja jika di tangan manusia yang berangkat dari niat yang jahat.

Sebaliknya jika hal tersebut berada di tangan 'pemimpin' yang baik. Bahkan 'dogma imajiner' itu-pun mungkin akan tersingkirkan.

Kita memang sedang berada diujung perjudian hidup yang terdahsyat.

Jilal Mardhani, 16 Juni 2018

Catatan:

Artikel Novriantoni Kahar dapat dilihat pada https://googleweblight.com/i?u=https://lautanopini.wordpress.com/2012/08/16/konsep-fitrah-dan-kejahatan-sistemik/&hl=en-ID&grqid=jwrEjlwe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun