Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menyoal Utang Negara

16 Maret 2018   11:13 Diperbarui: 16 Maret 2018   13:12 1080
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: www.udu.co.za

Akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan soal utang negara.

Sebelum ke mana-mana, mari kita samakan dulu persepsi paling mendasar yang terkait dengan suatu utang-piutang.

Pertama dan terpenting di atas segala-galanya: permohonan berutang tak mungkin disetujui pihak yang mengutangkan ---selanjutnya kita sebut kreditur--- jika kemampuan melunasi yang bersangkutan diragukan.

Soal jaminan adalah hal lain dan bukan pertimbangan pertama, meskipun nilai yang diberikan jauh di atas jumlah pinjaman. Apalagi jika yang dijaminkan tak liquid alias mudah dicairkan. Misalnya seperti logam mulia, sertifikat deposito, atau kepemilikan saham pada perusahaan yang sudah terdaftar di pasar modal.

Jadi, jika Anda bisa memperoleh pinjaman, artinya kreditur percaya Anda mampu mengembalikan dan memberi manfaat yang lebih besar, atau keuntungan, kepada mereka. Tak ada pihak yang sesungguhnya meragukan kemampuan Anda, tapi tetap bersedia memberi pinjaman.

Siapa sih yang mau rugi di dunia ini?

+++

Sesungguhnya, para pemberi pinjaman juga rajin memantau perilaku Anda. Jika gaya hidup Anda sehari-hari tak tertib, konsumtif, dan sering berfoya-foya maka akan mempengaruhi persetujuan permohonan pinjaman yang diajukan. Sebagai sejawat yang senasib dan sepenanggungan, para kreditur satu dengan yang lain saling bertukar informasi. Jadi Anda semakin sulit berbohong atau menyembunyikan fakta kemampuan yang sebenarnya.

Singkat kata, itulah peran yang dimainkan lembaga-lembaga yang kerjanya memberi peringkat itu. Mereka meletakkan "label" soal kapasitas, kapabilitas, dan bonafiditas kita.

Jadi, agar bisa dan dipercaya menerima pinjaman itu, sesungguhnya bukan hal yang mudah. Bersyukurlah jika masih ada yang bersedia. Ingatlah selalu hal pertama dan terpenting sehingga pinjam-meminjam dapat berlangsung, sebagaimana dijelaskan pada bagian paling awal di atas.

(sumber gambar: pre-kon.net)
(sumber gambar: pre-kon.net)
+++

Sekarang kita kupas soal peruntukan pinjaman.

Karena setiap pinjaman yang diberikan akan sangat memperhatikan soal kemampuan mengembalikan, maka prioritas utama peruntukannya adalah untuk membiayai kegiatan "produksi" yang Anda miliki dan menghasilkan nilai tambah alias keuntungan.

Nilai tambah kegiatan produksi terbesar, cenderung stabil, dan bersifat jangka panjang, tentunya lebih dijanjikan oleh kegiatan yang berada pada sektor manufaktur. Sayangnya, sejak merdeka dan ketika sumber daya kita masih berlimpah ruah, penguasa waktu itu lebih suka berpesta pora dibanding bekerja membangunnya.

Saat itu, kelebihan '"produksi" eksploitasi kekayaan alam yang tidak terpakai jauh lebih besar dibanding yang kita butuhkan. Meski dijual "murah" sekali pun, hasilnya memang sangat berlebihan sehingga para penguasanya masih leluasa berpesta pora.

Tapi pemberi pinjaman tentu tak bodoh. Meski prihatin dan capek menasihati, mereka tetap mengukur sampai kapan Indonesia masih memiliki kelebihan produksi hingga leluasa mencicil pengembalian pinjamannya. Ketika tiba waktunya, mereka pun tak sudi lagi memberikan pinjaman kepada bangsa yang lengah mengembangkan nilai tambah ini.

Sebab pinjaman yang diberikan memang tak lagi untuk hal-hal produktif. Tapi telah digunakan sekadar untuk "gali lobang dan tutup lobang" utang, serta hanya membiayai hal-hal konsumtif yang tak bersangkut paut dengan nilai tambah.

Itulah yang terjadi pada tahun 1998 lalu.

Bagaimana pun, para pemburu rente pinjaman tetap membutuhkan "pasar" bagi produk keuangan mereka. Maka ketika mereka mengulurkan 'bantuan penyelamatan' kepada kita yang waktu itu sedang sekarat, syarat tak lagi 'memanjakan' rakyat lewat bermacam subsidi harus dipenuhi.

Mengapa demikian?

Sebab, masa pesta pora gratis telah usai. Sudah tiba saatnya segala sesuatu dilihat secara kelaikan ekonomis sehingga pinjaman yang diberikan tak lagi disia-siakan, dan harus menjadi tanggung jawab 'seluruh bangsa' untuk mengembalikannya.

Di sanalah rezim sadar pajak bermula. Hal yang sesungguhnya mulai disadari Suharto menjelang akhir 1980-an. Ketika harga minyak yang menjadi primadona kita mulai terjun bebas. Ingat kan soal OPEC ---organisasi yang menaungi negara-negara pemilik sekaligus exportir minyak dunia--- yang saban tahun sibuk bersidang agar masing-masing negara membatasi produksi supaya pasar tak kebanjiran?

Sayangnya kesadaran Suharto tentang pentingnya pajak nonmigas itu terlambat. Yakni ketika "spoiled kids" yang dibesarkan sebelumnya telanjur menjadi malas dan manja.

+++

Tapi bukankah Indonesia hari ini tak memiliki keistimewaan di bidang manufaktur?

Ya, walau sangat terlambat, di bawah kepemimpinan Joko Widodo, bangsa ini terlihat nyata ingin membenahi diri. Di sisi lain, kebiadaban budaya korupsi-kolusi-nepotisme memang sedang mencapai puncaknya. Terlepas dari muda dan tertatihnya demokratisasi yang sedang dilalui, bangsa yang besar dan memggiurkan dunia ini sedang melalui berbagai 'sunatullah' untuk membangun dan mencari jati dirinya.

Semula Joko Widodo sudah mengumandangkan sebuah gerakan yang disebut Revolusi Mental. Hal yang sesungguhnya harus dilakoni secara bergotong-royong. Tapi membangunkan kesadaran pentingnya hal itu memang tak mudah. Apalagi di tengah bangsa yang sebagian besar dalam seumur hidupnya telah meyakini kekeliruan korupsi-kolusi-nepotisme sebagai hal yang "wajar" bahkan semestinya.

Sejatinya, Joko Widodo juga tak memiliki waktu lebih lama dari 5 tahun. Soal terpilih lagi untuk periode 5 tahun berikutnya dan terakhir kali, adalah misteri yang penuh teka-teki dan tanpa kepastian. Maka kepastian 5 tahun berkuasa yang dimilikinya sejak 2014 lalu hingga 2019 mendatang, harus dimanfaatkannya secara optimal.

Adalah pembangunan fisik ---utamanya infrastruktur--- yang paling memungkinkan dan leluasa dipastikan keberhasilannya. Dalam hal tersebut, Joko Widodo memiliki keleluasaan untuk menegaskan dan memastikannya, tanpa harus banyak terlibat dengan berbagai kompromi politik yang sering menjebak dan menyesatkan langkah siapa pun.

Presiden Indonesia ke-7 tersebut memberi isyarat kuat tentang tekadnya membangun infrastruktur itu, sejak hari pertama menduduki singgasana. Diputuskannya mengalihkan anggaran subsidi energi yang sangat membebani Negara pada pemerintahan sebelumnya, untuk membiayai pembangunan itu. Alam semesta seakan menanggapinya dengan suka cita karena saat yang sama, harga minyak dunia terperosok sangat dalam.

Bukan hanya mampu meringankan beban rakyat yang tak lagi boleh bermewah-mewah menikmati energi bersubsidi, jatuhnya harga minyak itu juga berkorelasi dengan kelesuan ekonomi dunia. Pada akhirnya tentu juga berimplikasi pada Indonesia. Belum lagi implikasi bermacam disrupsi yang melanda berbagai sendi kehidupan kita akibat terjangan Revolusi Industri 4.0 .

Ikhtiar mulia Joko Widodo itu, tentu tak lepas dari pencermatan para kreditur. Sebab, prioritas pemberian pinjaman berikutnya setelah hal yang berkait langsung dengan produksi (manufaktur) adalah pada segala sesuatu yang berkait dengan kualitas dan kemudahan untuk "kelak" melakukan produksi.

Menggunakan (sebagian besar) pinjaman untuk infrastruktur, artinya menghasilkan modal (asset). Bukan sekadar biaya yang hanya berujung pada laba-rugi (profit and loss). Bagi yang paham membaca neraca, tambahan liability di sisi kanan akan diimbangi oleh peningkatan asset di sisi kiri.

Sementara jika utang-utang itu semata digunakan untuk berbagai biaya (expenses) maka penambahan liability di kanan itu hanya diimbangi dengan peningkatan kerugian di bagian bawah neracanya. Sebab biaya-biaya itu tak berkorelasi dengan pendapatan. Baik karena belum tersedianya sektor manufaktur yang produktif, maupun pengaruh anjloknya harga komoditas yg masih bisa diandalkan di pasar global.

+++

Bagaimana jika Joko Widodo tak terpilih lagi? Tidakkah pembangunan itu sia-sia?

Jawabnya, tidak!

Sebab Indonesia tetap harus hadir di pentas dunia meskipun Joko Widodo tak lagi ada di puncak kekuasaan.

Indonesia hari ini bukan seperti yang tempo hari. Negara kaya raya sumber daya alam yang sangat berlebih untuk difoya-foyakan tanpa tanggung jawab. Siapa pun yang kelak memimpin Indonesia harus bekerja keras meningkatkan produktivitas. Sebab, hanya melalui industrialisasi yang menghasilkan nilai tambah, pundi-pundi keuangan negara yang bersumber dari pajak bisa dipenuhi untuk membiayai keberlanjutan hidup bangsa ini.

Bagi kreditur, semua itu jelas menjanjikan kepastian bagi pengembalian pinjaman yang diberikan.

Ada satu hal lagi, yakni tentang peningkatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia. Aset tak berwujud (intangible) yang tak tercantum dalam neraca, tapi mahapenting bagi pertumbuhan neraca itu sendiri.

Jadi, seperti kata Sri Mulyani, demi meningkatkan kapasitas dan kapabilitas generasi muda Indonesia untuk mengisi dinamika persaingan global di masa depan, menggunakan utang untuk pendidikan adalah perlu dan harus.

Para kreditur pun menyambutnya dengan baik, bukan?

Sebab, di dalam tatanan ekonomi, kemajuan dan pertumbuhan adalah segalanya. Tak satu pun pelaku yang mengharapkan pasar menjadi hilang dan terhapus dari petanya.

Jadi, sudah jelas kan kenapa perlu dan harus kita berutang hari ini?

Daripada usil membicarakan yang tak paham, lebih baik berupaya melakukan sesuatu yang bermanfaat. Terutama agar bangsa ini mampu meningkatkan produktivitasnya sesuai dengan keahlian yang dimiliki.

Jilal Mardhani, 16-3-2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun