Karena setiap pinjaman yang diberikan akan sangat memperhatikan soal kemampuan mengembalikan, maka prioritas utama peruntukannya adalah untuk membiayai kegiatan "produksi" yang Anda miliki dan menghasilkan nilai tambah alias keuntungan.
Nilai tambah kegiatan produksi terbesar, cenderung stabil, dan bersifat jangka panjang, tentunya lebih dijanjikan oleh kegiatan yang berada pada sektor manufaktur. Sayangnya, sejak merdeka dan ketika sumber daya kita masih berlimpah ruah, penguasa waktu itu lebih suka berpesta pora dibanding bekerja membangunnya.
Saat itu, kelebihan '"produksi" eksploitasi kekayaan alam yang tidak terpakai jauh lebih besar dibanding yang kita butuhkan. Meski dijual "murah" sekali pun, hasilnya memang sangat berlebihan sehingga para penguasanya masih leluasa berpesta pora.
Tapi pemberi pinjaman tentu tak bodoh. Meski prihatin dan capek menasihati, mereka tetap mengukur sampai kapan Indonesia masih memiliki kelebihan produksi hingga leluasa mencicil pengembalian pinjamannya. Ketika tiba waktunya, mereka pun tak sudi lagi memberikan pinjaman kepada bangsa yang lengah mengembangkan nilai tambah ini.
Sebab pinjaman yang diberikan memang tak lagi untuk hal-hal produktif. Tapi telah digunakan sekadar untuk "gali lobang dan tutup lobang" utang, serta hanya membiayai hal-hal konsumtif yang tak bersangkut paut dengan nilai tambah.
Itulah yang terjadi pada tahun 1998 lalu.
Bagaimana pun, para pemburu rente pinjaman tetap membutuhkan "pasar" bagi produk keuangan mereka. Maka ketika mereka mengulurkan 'bantuan penyelamatan' kepada kita yang waktu itu sedang sekarat, syarat tak lagi 'memanjakan' rakyat lewat bermacam subsidi harus dipenuhi.
Mengapa demikian?
Sebab, masa pesta pora gratis telah usai. Sudah tiba saatnya segala sesuatu dilihat secara kelaikan ekonomis sehingga pinjaman yang diberikan tak lagi disia-siakan, dan harus menjadi tanggung jawab 'seluruh bangsa' untuk mengembalikannya.
Di sanalah rezim sadar pajak bermula. Hal yang sesungguhnya mulai disadari Suharto menjelang akhir 1980-an. Ketika harga minyak yang menjadi primadona kita mulai terjun bebas. Ingat kan soal OPEC ---organisasi yang menaungi negara-negara pemilik sekaligus exportir minyak dunia--- yang saban tahun sibuk bersidang agar masing-masing negara membatasi produksi supaya pasar tak kebanjiran?
Sayangnya kesadaran Suharto tentang pentingnya pajak nonmigas itu terlambat. Yakni ketika "spoiled kids" yang dibesarkan sebelumnya telanjur menjadi malas dan manja.