Semua itu selalu melalui perdebatan yang menjelimet dan melelahkan. Terutama bagi masyarakat yang disibukkan dengan aktifitas sehari-hari untuk sekedar melanjutkan hidup. Mereka adalah sebagian besar rakyat Indonesia yang masih pada taraf pas-pasan. Baik secara ekonomi maupun pendidikan. Mereka bukan tak berselera mengikuti dialektika yang berkembang. Tapi tak memiliki sumber daya --- waktu, tenaga, biaya, dan kecerdasan --- yang cukup luang untuk melakoninya. Bagi mereka, hal yang sempat 'terlihat' dan sesekali 'terperhatikan' hanyalah sesuatu yang berwujud nyata. Termasuk citra dan ilusi yang terbentuk. Bukan gagasannya. Apalagi upaya dan prosesnya.
Maka ketika Presiden demi Presiden tampil silih berganti dengan segala retorika cita-cita dan janji, mereka 'hanya' menyaksikan kenyataan demi kenyataan yang bukan saja 'berbeda'. Tapi juga 'melenceng' dari pemahaman sederhana yang diyakini.
Misalnya soal korupsi yang tetap berlangsung di segala lini dan tingkatan. Termasuk deretan ketujuh kepala daerah yang dijerat KPK sepanjang 2018 yang baru ini.
Juga tentang bermacam pelayanan publik yang semakin tak sesuai dengan janji. Soal kekakuan birokrasi yang tak kunjung mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman. Tentang keadilan yang tak memihak dan pandang bulu. Termasuk penyalah-gunaan kekuasaan yang masih kerap terjadi di depan mata.
Semua fakta sehari-hari yang masih bertebaran tersebut, mengikis harapan dan keyakinan tentang 'surga' Indonesia yang selalu dikhayalkan oleh mereka yang membutuhkan dan ingin merebut suaranya.
Ketika kekecewaan mencapai puncaknya maka hal yang tersisa, sulit dibantah, dan masih 'nikmat' dibayangkan, hanyalah surga akhirat. Sesuatu yang bermula dari keimanan pada Pencipta yang Esa dan Maha Berkendak. Lalu ditautkan dengan keyakinan pada ganjaran yang bakal diperoleh setiap manusia setelah mati, sesuai dengan 'sikap dan prilaku'-nya semasa hidup.
Ilusi surga di akhirat itulah yang kemudian dimanipulasi sejumlah pihak untuk menegasi berbagai gagasan, upaya, dan proses yang sedang dilakoni Joko Widodo beserta jajarannya. Mereka yang kehilangan asa setelah berpuluh tahun lelah menanti, kesulitan untuk melihat dan memahaminya. Sementara para biang kerok yang kini terganggu kemewahan pesta-poranya, terus menerus menutup-nutupi kebenaran yang sedang berlangsung.
Kini keimanan pada Tuhan yang bersifat amat personal, sedemikian rupa telah dipaksakan membaur dengan paham Negara; yang semestinya wujud dari perayaan kebersamaan. Dua hal berbeda yang sesungguhnya tak pernah mungkin dipersatukan.
Masalah utama yang kita hadapi sekarang, bukan soal mengejar ketertinggalan dan membangun kekuatan ekonomi. Tapi tentang persatuan dan kesatuan bangsa.
Selama 20 tahun sejak Gerakan Reformasi 1998 bergulir, kita memang telah berhasil menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Termasuk kebebasan berpendapat dan berserikat.
Tapi, harus kita akui pula, bahwa demokratisasi yang kita syukuri itu, telah memporak-porandakan semangat maupun cita-cita persatuan dan kesatuan. Kemerdekaan masyarakat sipil itu justru menyuburkan polarisasi diantara kita sendiri yang ingin saling menyingkirkan dan meniadakan.