Terakhir ini, kita memilih Joko Widodo. Sosok yang segera melejit dan digandrungi mayoritas pemilih Indonesia sejak menjadi Walikota Solo. Lalu Gubernur DKI Jakarta. Hanya karena kebersahajaan pribadinya, kesungguhan kerjanya, dan totalitas keberpihakannya pada kepentingan bangsa dan negara. Sebuah orisinalitas yang lama kita nanti. Sosok yang kemudian membangunkan kembali banyak harapan yang terlanjur lesu.
Sesungguhnya masyarakat umum tak memahami, bahkan mungkin tak menaruh perhatian berlebih, terhadap detail sepak terjang, persaingan, maupun 'patgulipat' yang berlangsung di ruang-ruang kekuasaan. Mereka (hanya ingin) mempercayakan amanah yang diserahkan kepada sosok-sosok yang menawarkan diri, dan kemudian terpilih, untuk mewakili maupun memimpin bangsa ini.
Mereka memberikan keleluasaan menjalankan kekuasaan sehingga sosok-sosok yang terpilih itu --- sebagai wakil rakyat maupun pemimpin pemerintahan di daerah hingga Nasional --- melakoni dan mengupayakan janji-janji politiknya dengan sungguh-sungguh. Membuktikan bahwa semua tudingan yang dialamatkan kepada rezim pemerintahan Suharto dan Orde Baru kemarin, tidak lagi berulang. Mengupayakan segenap idealisme yang melatar belakangi cita-cita indah demokratisasi yang dikumandangkan sebelumnya, mewujud.
Tapi faktanya memang tidak demikian. Kekecewaan demi kekecewaan justru terpapar lewat kasus-kasus pidana yang dijaring dan digelar KPK di atas tadi. Padahal, lembaga tersebut merupakan amanah konstitusional Gerakan Reformasi 1998 untuk menyingkirkan budaya KKN yang sebelumnya subur menjamur. Sangatlah wajar dan manusiawi jika masyarakat pada umumnya, memimpikan perilaku buruk yang telah merasuk pada hampir seluruh sendi kehidupan bangsa itu, berangsur-angsur menjadi masa lalu kelam yang tak berulang lagi. Menjadi pengalaman buruk yang tak perlu diingat-ingat dan dapat dilupakan.
Di tengah semua kekecewaan itu, 2 hal penting yang menjadi latar-belakang dinamika yang berkembang sejak sebelum Joko Widodo terpilih sekitar 3 tahun lalu, agaknya layak kita catat bersama.
Pertama, sebelumnya memang telah berkembang kekecewaan agregat di tengah masyarakat terhadap kinerja politik dan pemerintahan kita. Terlebih-kebih selama 2 periode kepemimpinan SBY kemarin. Sebab korupsi-kolusi-nepotisme justru semskin merajalela. Kesepakatan-kesepakatan politis pun semakin menjauhkan bangsa ini bangkit dari keterpurukan, dan mengejar ketertinggalannya.
Di saat yang sama --- walau saya yakini tak pernah diniatkan --- Joko Widodo mempertontonkan kualitas kepemimpinan yang sesungguhnya kita dambakan. Dia memimpin Solo --- kemudian Jakarta --- dengan gaya dan cara yang berbeda : jujur, bersahaja, merakyat, dan sepenuh hati.
Ketenaran Joko Widodo melesat tak terbendung. Bahkan oleh partai politik yang berniat menyandera ataupun menunggangi, sebelum menyatakan dukungan resmi mencalonkannya sebagai Presiden RI. Sebab, pemuja dan pemilihnya telah berduyun-duyun menjanjikan datang ke bilik suara tanpa imbalan apapun, selain harapan perubahan.
Suatu 'euforia' yang telah menjadi hampir mustahil terjadi, di tengah politik transaksional yang justru marak berkembang paska Reformasi 1998.
Tapi kita lalai :
Joko Widodo tak mungkin sendiri menyelesaikan semua warisan kekacauan yang ada.