Bupati Lampung Tengah, Mustafa, semakin memperpanjang daftar kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan --- atau ditetapkan sebagai tersangka korupsi --- oleh KPK di awal tahun 2018 yang belum berjalan 50 hari ini. Namanya berada di urutan yang ketujuh setelah Abdul Latif (Bupati Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan), Mohammad Yahya Fuad (Bupati Kebumen, Jawa Timur), Nyono Suharli Wihandoko (Bupati Jombang, Jawa Timur), Zumi Zola (Gubernur Jambi), Marianus Sae (Bupati Ngada, Nusa Tenggara Timur), dan Imas Aryumningsih (Bupati Subang, Jawa Barat).
Mereka semua adalah kader yang didukung dan diperjuangkan berbagai partai politik yang menguasai dan menentukan perjalanan Indonesia hari ini. Sebab, sistem demokrasi yang kita anut paska Gerakan Reformasi 1998 lalu, memang mensyaratkan demikian. Hanya yang direstui dan dicalonkan partai politiklah yang dimudahkan ikut dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Hal yang disadari atau tidak, menjadi variabel penting dari 'valuasi bisnis' partai-partai politik itu.
Kiprah lancung kader-kader partai politik dalam berbagai peristiwa kolusi-korupsi-nepotisme yang menggasak kekayaan bangsa, juga berulang kali berlangsung di berbagai institusi Negara dan pemerintahan. Sejak awal mula kelahirannya, KPK terus melansir berbagai kiprahnya memberangus sepak terjang para pengkhianat yang tak hanya menyebar di ranah eksekutif. Tapi juga legislatif dan yudikatif. Bahkan sudah merasuk hingga Mahkamah Konstitusi yang menjadi garda terakhir tegaknya dasar-dasar bernegara yang menjadi kiblat kebangsaan.
Peristiwa yang sangat tak pantas, melukai hati kita semua, dan mempermalukan bangsa itu, tak berlangsung sekali-dua. Bukan sekedar na'as atau suatu bentuk 'nasib sial' yang terjadi tanpa diniatkan atau sengaja. Tapi justru berulang kali telah dibuktikan sebagai kejahatan yang terencana, dilakoni secara sadar, dan sistematis.
Memang tak semua, tapi juga bukan satu orang, melainkan banyak sekali politikus busuk, rakus, munafik, dan kampungan yang kini berkeliaran di tengah kekuasaan yang mengelola kehidupan sehari-hari kita. Hal yang sulit ditampik --- tapi justru menyuburkan sakwasangka --- jika sepak terjangnya akan sangat mewarnai laku dan spirit masing-masing partai yang menaungi mereka.
Dulu, rakyat Indonesia mendesak Suharto mundur setelah 32 tahun berkuasa secara otoriter dan menyemarakkan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebab bangsa yang sesungguhnya dianugerahi kekayaan alam yang melimpah ruah ini, telah tersungkur dan hampir bangkrut.
Kita kemudian berupaya bangkit. Tapi 20 tahun perjalanan setelah pemerintahan Orde Baru itu terguling, bukanlah masa yang sebentar. Sangat pantas dan wajar jika sepanjang masa itu, benih-benih harapan tentang kehidupan yang lebih baik dan pernah bersemai. Lalu ada yang kecewa. Sebagian tetap berupaya tegak memelihara optimismenya. Tapi banyak yang pesimis dan apatis tentang 'surga demokrasi' yang didengungkan itu.
Sejak Suharto dan Orde Baru terguling, kita telah melalui 5 kepemimpinan Presiden dan Kepala Negara yang berbeda-beda.
Mulai dari BJ Habibie yang berada di masa transisi dan menyiapkan tahap awal demokratisasi yang kita jalankan hari ini.
Lalu Gus Dur yang dipilih para wakil rakyat hasil pemilihan umum ulang paska Reformasi. Tapi setelah kurang lebih 2 tahun berkuasa, beliau lalu menjadi korban pertama 'sistem demokrasi' kita yang baru. Dia didesak turun oleh wakil rakyat. Lalu mereka mengangkat Megawati yang sebelumnya menjadi Wakil Presiden untuk menuntaskan 3 tahun masa jabatan yang tersisa.
Setelah itu, kepemimpinan bangsa Indonesia dilanjutkan oleh SBY. Beliau menjadi Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Kemudian terpilih kembali untuk kedua kalinya sehingga secara keseluruhan mampu berkuasa selama 10 tahun.