Gara-gara pola dan gaya penyiaran semakin 'ndeso' yang kebablasan hingga hari ini --serta ketiadaan upaya memadai yang kita lakukan untuk memetik hikmah dari kedua pelajaran yang diungkapkan di atas -- begitu banyak hal absurd yang tersebar begitu saja dan mengkristal sebagai sebuah kebenaran. Seperti pada mereka yang meyakini ceramah konyol tentang pesta seks di surga yang memalukan itu. Maupun pada mereka yang tetap percaya bahwa Ahok menista agama Islam.
Kini -- ketika negara yang diperumpamakan orang tua yang adil, bijaksana, dan berwawasan jauh ke depan semakin tak mampu dihadirkan -- pemenang segala-galanya adalah mereka yang menguasai suara terbesar dan terkeras. Substansi obyektif dari hal yang disuarakan telah lama jauh terpinggirkan.
Selain fenomena yang terjadi pada kasus ulama 'ngeres' di atas, berbagai peristiwa pemaksaan kehendak kelompok mayoritas menegakkan keyakinan subyektifnya semakin menjadi-jadi. Seolah apapun yang menjadi mimpi dan keinginannya, harus selalu didahulukan bahkan dibenarkan.
Begitu pula yang kita saksikan pada tontonan konyol politikus di gedung-gedung wakil rakyat akhir-akhir ini. Mereka (hampir) menggunakan cara apapun untuk memaksakan kehendak, seperti hal yang kita saksikan pada penggalian keterangan pada sosok-sosok yang dihadirkan Pansus Hak Angket KPK akhir-akhir ini. Keterangan sepihak yang belum diklarifikasi dan tanpa disertai bukti-bukti memadai, seolah kebenaran yang tak terbantahkan. Padahal -- jika semua yang disampaikan benar dan nyata -- apa sulitnya mereka yang mengaku diperlakukan tidak adil dan semena-mena oleh KPK itu, menggunakan jalur hukum yang tersedia?
Dalam hal ini, strategi intimidatif melalui suara yang 'keras' -- meski sumbang sekalipun -- digunakan untuk memaksa kebenaran obyektif tersudut di pojok.
+++
Dulu, pertama kali tayangan rohani yang mengudara setiap pagi menyapa pemirsa, berjudul 'Hikmah Subuh'. Dihadirkan oleh RCTI sebagai wujud utuh tanggung jawab sosial perusahaan (CSR, corporate social responsibility). Sebab, selama 30 menit durasi tayang program itu, tak ada jeda dan ruang iklan yang diselipkan. Quraish Shihab, Arif Rahman, (alm) Zainudin MZ, dan berbagai ulama kondang tapi disegani karena memang ulama sungguhan, merupakan pengisi acara tetapnya. Manager produksi yang ditugaskan menangani adalah Pak Purnomo.
Adalah pertikaian liar gaya 'kosmopolitan' dan 'ndeso' yang tak pernah 'ditengahi' pemerintah secara adil, bijaksana, dan berwawasan ke depan, yang menjadi cikal-bakal komersialisasi kebablasan program rohani itu. Rating (tingkat kepemirsaan) kemudian menjadi penting karena digunakan acuan pengiklan yang diselipkan di tengah-tengahnya. Kreatifitas dan inovasi kemudian perlu dihadirkan untuk mendongkrak popularitas. Lalu muncullah era 'ulama selebriti' yang lebih cenderung menonjolkan unsur hiburan. Substansi kerohanian acap tak begitu menonjol. Bahkan liar dan kebablasan seperti ceramah anak muda tentang pesta seks di surga itu.
Semoga kita semua semakin paham salah satu akar masalah kekisruhan tak perlu dan nirmutu yang dihadapi hari ini. Kemudian terserah masing-masing. Meneruskan kekacauan atau berupaya membenahinya bersama-sama.
Jilal Mardhani, 28-7-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H