Sikap adil lagi bijaksana itu tentu mustahil (atau hampir tak mungkin) dilakoni 'ibu' atau 'orang tua' yang mengasuh sekaligus anak kandung, anak tiri, dan anak angkat di bawah satu atap rumah dan dalam waktu yang bersamaan.
Negara yang bijaksana akan mengelola anak yang 'kosmopolis' agar 'petakilan'-nya tidak kebablasan, sementara pada yang 'ndeso' akan dituntunnya giat memperluas wawasan, memanfaatkan kesempatan, dan mengejar ketertinggalan.
Negara tak sekedar dituntut berwibawa agar dapat menjadi wasit permainan yang dihormati sehingga pergumulan ego 'anak-anaknya' tak menjadi ajang saling bunuh dan menghalalkan kecurangan. Tapi juga DIHARAPKAN berwawasan luas dengan visi yang jauh melompati zaman. Kita tak pernah menuntut bapak dan ibu yang mengasuh dan membesarkan kita memiliki bakat dan keahlian seperti yang kita pelajari, tekuni hingga kuasai. Tapi kita mendambakan orang tua yang bijaksana membimbing dan menunjukkan teladan dalam menjalankan kehidupan di dunia ini.
+++
Kedua hikmah penting di atas merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi bangsa ini. Sebab kelalaian kita kala itu menyikapi sebagaimana mestinya telah melahirkan nilai-nilai yang kemudian berkembang menjadi berbagai pemahaman keliru yang justru diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian besar masyarakat hari ini. Bukan semata pada tataran norma dan kebijakan pada media penyiaran (televisi). Tapi jauh lebih memprihatinkan karena telah merasuk pada hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun modernisasi budaya dan gaya hidup -- termasuk serbuan era digital yang dihadapi sekarang -- justru terselewengkan untuk menabalkan kesejatiannya.
Tak percaya?
Coba simak reaksi yang berkembang terhadap ceramah rohani yang konyol di salah satu televisi swasta baru-baru ini. Pembawa acara yang masih muda belia tapi telah 'dinobatkan' sebagai ulama oleh stasiun televisi Nasional yang baru muncul di era Reformasi itu, lolos dengan begitu mudahnya untuk berdakwah tentang 'kemewahan' pesta seks yang akan dinikmati umat manusia yang akan menghuni surga kelak.
Hal yang sangat tak elok tersebut, terlebih karena di depan kaum hawa yang menjadi jemaah yang hadir di studio ketika acara tersebut ditayangkan, bahkan lolos dari penanggung jawab programnya. Padahal, tayangan itu konon tak bersifat langsung (live). Tapi melalui proses perekaman yang mestinya menyisakan ruang yang cukup untuk melakukan penyaringan (sensor).
Saya pribadi --mewakili ibu, istri, putri-putri, serta seluruh kerabat dan sahabat-sahabat wanita yang saya cintai, hormati, dan banggakan-- sesungguhnya sangat tidak berkenan dengan ceramah yang melecehkan itu. Begitu pula yang saya yakini dirasakan oleh banyak warga negara Indonesia yang lain, baik yang beragama Islam maupun yang bukan.
'Penistaan' terhadap kaum hawa yang dipropagandakan siaran televisi itu (melalui diskusi yang saya simak pada sejumlah kalangan) justru tetap dibenarkan. Padahal, dibanding pernyataan Ahok yang dijadikan alat kriminilasasi dirinya kemarin hingga didakwa bersalah dan dipenjara, ceramah itu nyata-nyata telah menghina dan melecehkan kalangan masyarakat tententu.
+++