Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Program Televisi yang Kosmopolis Ndeso

28 Juli 2017   01:33 Diperbarui: 6 Agustus 2017   22:40 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: Antara

Saya teringat suatu masa sekitar seperempat abad yang lalu. Pada suatu pertemuan yang tidak disengaja dengan pemimpin tertinggi salah satu stasiun televisi swasta. Bermula dari pemaparan yang perlu disampaikan kepada mertuanya. Beliau yang lama memimpin ikatan para pesilat kita itu, menugaskan saya untuk mempelajari kemungkinan suatu usaha yang berkembang di Perth, Australia. Jika baik dan memungkinkan, dia ingin menjalankannya di Jakarta maupun kota-kota yang lain.

Setelah memaparkan ulang temuan dan pendapat atas tugas penjajagan yang saya lakukan, eksekutif puncak RCTI itu menawarkan peluang bergabung dengannya. Berselang beberapa bulan kemudian, saya resmi diangkat sebagai Business Development Manager pada salah satu anak perusahaan milik Bimantara tersebut.

+++

RCTI baru saja mengudara secara free-to-air setelah sebelumnya menggunakan alat bantu (decoder) yang berfungsi menyatukan kembali sinyal siaran teracak dari stasiun Kebon Jeruk. Setelah saat itu hingga kini, dengan hanya menggunakan antena UHF yang disambungkan ke pesawat televisi di rumah, setiap warga yang berada di wilayah jangkauannya dapat bebas menikmati program-program yang disiarkan.

Mula-mula, jam tayang stasiun televisi swasta pertama itu berlangsung dari sore hingga tengah malam. Ketika pertama kali saya bergabung di sana, mereka baru saja menambah jam tayang lain mulai pagi hingga tengah hari. Tak lama kamudian waktu siarnya kami genapkan hampir 24 jam, sejak subuh hingga menjelang dini hari.

+++

Persoalan yang selalu dihadapi setiap kali terjadi penambahan durasi siar harian, adalah penyediaan materi program acara untuk mengisinya. Hal yang sesungguhnya sama-sekali tidak sederhana. Sebab, memastikan tayangan dengan format dan kualitas yang konsisten sesuai dengan potensi pemirsa yang menyaksikan, bukan hal yang gampang. Apalagi corak dan karakter siaran perlu dipelihara sesuai dengan posisi yang diinginkan. Saat itu (terlebih karena siaran televisi swasta adalah hal yang sangat baru untuk melengkapi TVRI yang dimiliki pemerintah) setiap tayangan selalu menjadi perhatian banyak pihak dengan latar yang sangat beragam. Implikasi sosial-budaya-ekonomi yang bersangkut-paut dengan perilaku dan gaya hidup masyarakat pemirsa, merupakan hal penting yang harus ditimbang masak-masak. Terlebih lagi, pemilik utamanya adalah kelompok usaha yang dimiliki keluarga Presiden Suharto yang saat itu berkuasa. Maka ceruk pasar pemirsa menengah ke atas adalah sebuah pilihan yang sengaja dilakukan.

Demikianlah latar di balik motto "Menghadirkan Pentas Dunia di Rumah Anda" yang kerap mengisi sela antar program tayangan di era tahun 1990-an itu.

carcanyon.com
carcanyon.com
Jenis, bentuk, dan corak kosmopolitan pada tayangan-tayangan yang mengudara di masa awal, adalah pilhan yang disengaja. Segala sesuatu yang berselera 'ndeso' pasti diharamkan. Bahkan untuk sekedar dibawa masuk ke ruang-ruang rapat yang membahas gagasan maupun rancangan tayangan yang baru.

Meminjam istilah Hamid Basyaib ketika menanggap sastrawan 'overnight' yang coba menyejajarkan diri dengan sejumlah empu di bidang seni-kata itu, hal-hal 'ndeso' selalu langsung dimasukkan ke kotak 'elek wae ndurung'.

+++

Swasta lain yang hadir saat itu adalah TPI. Stasiun televisi yang dikuasai perusahaan yang dimiiki anak yang lain dari Presiden Suharto. Mereka memulai debutnya dengan meminjam fasilitas TVRI sehingga tayangannya terkonsentrasi pada pagi hingga lewat tengah hari. Yaitu saat stasiun televisi pemerintah yang ditumpanginya belum memulai jam siar harian.

TPI semula memang ditujukan untuk tayangan pendidikan, format acara yang digunakan sebagai 'pembenaran' bagi lembaga swasta tersebut untuk dapat memanfaatkan fasilitas negara yang ditempatkan pada TVRI. Sesuai potensi pemirsa selama jam tayang pagi hingga siang, ceruk yang mereka sasar condong kepada masyarakat menengah-bawah. Maka setelah tayangan pendidikan di pagi hari usai, TPI kemudian mengudarakan program-program film yang berasal dari India dan hal-hal yang berbau dangdut.

Jadi kondisi pasar antara RCTI dan TPI saat itu terpisah garis imajiner yang sangat tegas: antara kelompok menengah-atas dan menengah-bawah, atau antara 'pemirsa kosmopolitan' dan 'pemirsa ndeso'.

Tapi secara cakupan siar, TPI kala itu jauh lebih beruntung dibanding RCTI. Walaupun hanya pagi hingga siang, fasiltas TVRI yang mereka manfaatkan hampir menjangkau seantero Nusantara, termasuk pedesaannya. Hanya saat lembaga penyiaran negara itu beroperasi saja (sore hingga malam), cakupan siaran mereka terbatas. Sebab harus memanfaatkan pemancar milik sendiri yang jumlahnya masih hitungan jari.

Di sisi lain, RCTI harus swadaya meluaskan wilayah siarnya dengan membangun secara bertahap stasiun-stasiun pemancar di kota-kota yang lain. Hal yang pada waktu tayang sore hingga dinihari, keunggulannya semakin lama semakin sulit dikejar TPI.

+++

Kegamangan 'memposisikan' diri di tengah pasar pemirsa mulai terjadi ketika jam siar dilakukan sejak subuh hingga dinihari, tanpa jeda. Jika sore hingga lewat tengah malam RCTI relatif tak memiliki pesaing, maka tayangan yang mengudara dari subuh hingga lewat tengah hari harus berhadapan langsung dengan TPI yang sudah terlebih dahulu unggul dan menguasai pemirsa yang tersedia di sana.

Lazimnya kalangan menengah-atas masa itu, hampir seisi rumah tangganya memiliki beragam aktivitas pada siang hingga sore. Jika bapak bekerja dan anak-anak sekolah atau kuliah, ibu-ibunya banyak yang melakukan bebagai kegiatan pribadi. Mulai dari arisan, belanja, bergosip, hingga bakti sosial. Umumnya hanya para asisten rumah-tangga alias pembantu yang tinggal di rumah.

Sementara itu, sebagian besar kelompok menengah ke bawah bekerja di sektor informal. Peluang mereka (atau setidaknya anggota keluarga lain yang tidak bekerja maupun sekolah) memanfaatkan waktu untuk menonton siaran televisi jauh lebih besar dibanding kalangan menengah atas.

Pada pasar siang hari yang demikian tentulah tayangan yang disajikan TPI yang 'ndeso' jauh lebih banyak diminati dibanding RCTI yang 'kosmopolis'. Maka pilihan jalan yang tersedia bagi RCTI untuk menyainginya dapat digolongkan dalam 2 kelompok besar. Pertama, tetap bertahan pada corak dan karakter 'kosmopolis' yang diusung dengan menawarkan tayangan-tayangan 'mencerdaskan' sehingga pemirsa 'ndeso' yang berminat dapat meningkatkan seleranya seperti 'warga kosmopolitan'. Pilhan kedua, ikut nyemplung di arena permainan 'ndeso' yang sudah dikuasai TPI.

Jika disederhanakan, fokus kerja pada pilihan pertama adalah 'investasi mengembangkan pasar', sedangkan yang kedua 'berdagang praktis mengejar untung'.

+++

PELAJARAN #1:

Proses menetapkan pilihan merupakan hal yang sangat menarik yang kami alami waktu itu. Sesuai idealisme corak dan karakter yang diusung sejak semula RCTI berdiri, pilihan yang pertama membutuhkan kecerdikan, ketekunan, hingga modal kerja yang tak sedikit. Meskipun hasil yang dijanjikan akan luar biasa, tapi upaya yang harus dilakukan membutuhkan kesabaran dan ketelitian yang tinggi karena panjangnya rentang waktu yang harus dilalui untuk mewujudkannya. Tentu saja tetap disertai peluang gagal dan keliru yang tak bisa diabaikan begitu saja.

Meski demikian, sesungguhnya kesempatan berhasil menjadi "Kebanggaan Bersama Milik Bangsa" cukup menjanjikan.

Pertimbang yang pertama (pada tayangan yang berlangsung siang hari) RCTI adalah sang minoritas yang ingin menggerus dominasi TPI yang mayoritas. Jika salah satu mengambil posisi menyerang maka yang lain bersikap bertahan.

Mengapa TPI tidak melakukan hal sebalknya. Yaitu menyerang?

Sebab --jika mereka melakukan strategi 'menyerang'-- maka artinya harus masuk ke arena permainan yang ditawarkan RCTI melalui strategi 'investasi mengembangkan pasar' yang dipilihnya. Hal tersebut tentu akan 'memaksa' TPI melakukan hal yang sama agar wajah 'ndeso'-nya bermetamorfosa menjadi 'ndeso yang kosmopolitan'. Tentulah pilihan tersebut -- sebagaimana pembahasan panjang yang dilakukan RCTI sebelum mengambil salah satu dari 2 pilihan strateginya --sama sekali bukan hal yang mudah dilakukan.

Pertimbangan kedua yang meyakinkan keberhasilan pilihan strategi 'investasi mengembangkan pasar' adalah kesenjangan 'kasta' antara 'kosmopolis' dan 'ndeso'. Secara umum, tak ada yang 'kosmopolis' ingin menjadi 'ndeso' sementara semua yang 'ndeso' tentu ingin jadi 'kosmopolis', meski akhirnya menjadi 'ndeso yang kosmopolis' sekalipun.

Artinya, peluang yang 'ndeso' berubah jadi 'kosmopolis' terbuka. Sebaliknya keinginan yang 'kosmopolis' jadi 'ndeso' semestinya tertutup.

+++

PELAJARAN #2:

Ketika itu, sesungguhnya yang paling dibutuhkan adalah kehadiran negara sebagai 'ibu' atau 'orang tua' bagi seluruh warga, tanpa kecuali. Semua mestinya diperlakukan sebagai 'anak kandung'. Tak ada yang 'tiri' ataupun 'adopsi'.

Negara yang layaknya 'ibu' atau 'orangtua' akan mencintai seluruh anak-anaknya dengan sepenuh cinta-kasih. Ia menasehati yang 'kosmopolis' agar menjadi 'kosmopolis yang ndeso' sedangkan yang 'ndeso' didorongnya menjadi 'ndeso yang kosmopolis'. Sebab pada pandangannya, semangat 'kosmopolis' tetap harus berdiri tegak di atas akar budaya luhur 'ndeso' yang kokoh. Sementara sebaliknya, adat-istiadat dan nilai-nilai 'ndeso' harus ditumbuh-kembangkan agar mampu berdiri-sama-tinggi-dan-duduk-sama-rendah dengan kaum 'kosmopolis' tanpa harus kehilangan jati diri.

Sikap adil lagi bijaksana itu tentu mustahil (atau hampir tak mungkin) dilakoni 'ibu' atau 'orang tua' yang mengasuh sekaligus anak kandung, anak tiri, dan anak angkat di bawah satu atap rumah dan dalam waktu yang bersamaan.

Negara yang bijaksana akan mengelola anak yang 'kosmopolis' agar 'petakilan'-nya tidak kebablasan, sementara pada yang 'ndeso' akan dituntunnya giat memperluas wawasan, memanfaatkan kesempatan, dan mengejar ketertinggalan.

Negara tak sekedar dituntut berwibawa agar dapat menjadi wasit permainan yang dihormati sehingga pergumulan ego 'anak-anaknya' tak menjadi ajang saling bunuh dan menghalalkan kecurangan. Tapi juga DIHARAPKAN berwawasan luas dengan visi yang jauh melompati zaman. Kita tak pernah menuntut bapak dan ibu yang mengasuh dan membesarkan kita memiliki bakat dan keahlian seperti yang kita pelajari, tekuni hingga kuasai. Tapi kita mendambakan orang tua yang bijaksana membimbing dan menunjukkan teladan dalam menjalankan kehidupan di dunia ini.

+++

Kedua hikmah penting di atas merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi bangsa ini. Sebab kelalaian kita kala itu menyikapi sebagaimana mestinya telah melahirkan nilai-nilai yang kemudian berkembang menjadi berbagai pemahaman keliru yang justru diyakini sebagai kebenaran oleh sebagian besar masyarakat hari ini. Bukan semata pada tataran norma dan kebijakan pada media penyiaran (televisi). Tapi jauh lebih memprihatinkan karena telah merasuk pada hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun modernisasi budaya dan gaya hidup -- termasuk serbuan era digital yang dihadapi sekarang -- justru terselewengkan untuk menabalkan kesejatiannya.

Tak percaya?

Coba simak reaksi yang berkembang terhadap ceramah rohani yang konyol di salah satu televisi swasta baru-baru ini. Pembawa acara yang masih muda belia tapi telah 'dinobatkan' sebagai ulama oleh stasiun televisi Nasional yang baru muncul di era Reformasi itu, lolos dengan begitu mudahnya untuk berdakwah tentang 'kemewahan' pesta seks yang akan dinikmati umat manusia yang akan menghuni surga kelak. 

Hal yang sangat tak elok tersebut, terlebih karena di depan kaum hawa yang menjadi jemaah yang hadir di studio ketika acara tersebut ditayangkan, bahkan lolos dari penanggung jawab programnya. Padahal, tayangan itu konon tak bersifat langsung (live). Tapi melalui proses perekaman yang mestinya menyisakan ruang yang cukup untuk melakukan penyaringan (sensor).

Saya pribadi --mewakili ibu, istri, putri-putri, serta seluruh kerabat dan sahabat-sahabat wanita yang saya cintai, hormati, dan banggakan-- sesungguhnya sangat tidak berkenan dengan ceramah yang melecehkan itu. Begitu pula yang saya yakini dirasakan oleh banyak warga negara Indonesia yang lain, baik yang beragama Islam maupun yang bukan.

'Penistaan' terhadap kaum hawa yang dipropagandakan siaran televisi itu (melalui diskusi yang saya simak pada sejumlah kalangan) justru tetap dibenarkan. Padahal, dibanding pernyataan Ahok yang dijadikan alat kriminilasasi dirinya kemarin hingga didakwa bersalah dan dipenjara, ceramah itu nyata-nyata telah menghina dan melecehkan kalangan masyarakat tententu.

+++

Gara-gara pola dan gaya penyiaran semakin 'ndeso' yang kebablasan hingga hari ini --serta ketiadaan upaya memadai yang kita lakukan untuk memetik hikmah dari kedua pelajaran yang diungkapkan di atas -- begitu banyak hal absurd yang tersebar begitu saja dan mengkristal sebagai sebuah kebenaran. Seperti pada mereka yang meyakini ceramah konyol tentang pesta seks di surga yang memalukan itu. Maupun pada mereka yang tetap percaya bahwa Ahok menista agama Islam.

Kini -- ketika negara yang diperumpamakan orang tua yang adil, bijaksana, dan berwawasan jauh ke depan semakin tak mampu dihadirkan -- pemenang segala-galanya adalah mereka yang menguasai suara terbesar dan terkeras. Substansi obyektif dari hal yang disuarakan telah lama jauh terpinggirkan.

Selain fenomena yang terjadi pada kasus ulama 'ngeres' di atas, berbagai peristiwa pemaksaan kehendak kelompok mayoritas menegakkan keyakinan subyektifnya semakin menjadi-jadi. Seolah apapun yang menjadi mimpi dan keinginannya, harus selalu didahulukan bahkan dibenarkan.

Begitu pula yang kita saksikan pada tontonan konyol politikus di gedung-gedung wakil rakyat akhir-akhir ini. Mereka (hampir) menggunakan cara apapun untuk memaksakan kehendak, seperti hal yang kita saksikan pada penggalian keterangan pada sosok-sosok yang dihadirkan Pansus Hak Angket KPK akhir-akhir ini. Keterangan sepihak yang belum diklarifikasi dan tanpa disertai bukti-bukti memadai, seolah kebenaran yang tak terbantahkan. Padahal -- jika semua yang disampaikan benar dan nyata -- apa sulitnya mereka yang mengaku diperlakukan tidak adil dan semena-mena oleh KPK itu, menggunakan jalur hukum yang tersedia?

Dalam hal ini, strategi intimidatif melalui suara yang 'keras' -- meski sumbang sekalipun -- digunakan untuk memaksa kebenaran obyektif tersudut di pojok.

+++

Dulu, pertama kali tayangan rohani yang mengudara setiap pagi menyapa pemirsa, berjudul 'Hikmah Subuh'. Dihadirkan oleh RCTI sebagai wujud utuh tanggung jawab sosial perusahaan (CSR, corporate social responsibility). Sebab, selama 30 menit durasi tayang program itu, tak ada jeda dan ruang iklan yang diselipkan. Quraish Shihab, Arif Rahman, (alm) Zainudin MZ, dan berbagai ulama kondang tapi disegani karena memang ulama sungguhan, merupakan pengisi acara tetapnya. Manager produksi yang ditugaskan menangani adalah Pak Purnomo.

Adalah pertikaian liar gaya 'kosmopolitan' dan 'ndeso' yang tak pernah 'ditengahi' pemerintah secara adil, bijaksana, dan berwawasan ke depan, yang menjadi cikal-bakal komersialisasi kebablasan program rohani itu. Rating (tingkat kepemirsaan) kemudian menjadi penting karena digunakan acuan pengiklan yang diselipkan di tengah-tengahnya. Kreatifitas dan inovasi kemudian perlu dihadirkan untuk mendongkrak popularitas. Lalu muncullah era 'ulama selebriti' yang lebih cenderung menonjolkan unsur hiburan. Substansi kerohanian acap tak begitu menonjol. Bahkan liar dan kebablasan seperti ceramah anak muda tentang pesta seks di surga itu.

Semoga kita semua semakin paham salah satu akar masalah kekisruhan tak perlu dan nirmutu yang dihadapi hari ini. Kemudian terserah masing-masing. Meneruskan kekacauan atau berupaya membenahinya bersama-sama.

Jilal Mardhani, 28-7-2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun