Ingatan kepada periode 1997-1998 itu membayang kembali.
Kepercayaan rakyat pada tatanan kekuasaan tergerus cepat. Aksi demonstrasi marak dimana-mana. Gedung DPR RI menjadi sasaran menyampaikan tuntutan agar Suharto mundur dan diselenggarakan Pemilihan Umum ulang.
Situasinya relatif hitam-putih.
Pendukung setia Presiden RI yang telah berkuasa lebih dari 3 dasawarsa itu, satu per satu membalikkan badan. Suara mereka yang semula lantang membela dan melindunginya tiba-tiba senyap. Malah kemudian berganti mengaminkan keinginan yang sebelumnya berseberangan. Termasuk orang-orang kepercayaan yang diangkatnya menjadi Menteri, Anggota DPR/DPRD, serta pimpinan dan anggota lembaga-lembaga pemerintahan maupun negara yang lain.
Ya, jaringan dan pengaruh kekuasaan Suharto waktu itu memang sedemikian luas dan masif sehingga hampir tak ada yang berlaku tanpa restu dan kehendaknya.
***
Akar soalnya adalah bancakan sumberdaya dan kekayaan negara yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi sepanjang kekuasaan rezim Suharto bersama kroni-kroninya. Berlangsung berlarut-larut hingga situasi menjadi carut-marut dan diluar kendali. Harga kebutuhan pokok sehari-hari akhirnya membubung tinggi bahkan ketersediaannya pun langka di pasar. Sebab, kesenjangan kemampuan masyarakat kini terdesak menunjukkan wajah aslinya. Kelompok mampu dan berkelebihan memburu persediaan di pasar. Lalu menumpuknya di rumah masing-masing untuk cadangan pribadi. Mereka khawatir kehabisan di saat yang lain hampir putus asa untuk sekedar mampu memenuhi keperluan sehari saja.
Ketidak pedulian, ketakutan, dan nafsu menyelamatkan diri sendiri itu hanya memicu bertebarnya kemarahan dan saling membenci di tengah masyarakat.
***
Apa agenda yang mendesak dan dituntut saat itu?
Adili Suharto dan kroni-kroninya, amendemen UUD 1945, hapus dwifungsi ABRI, laksanakan otonomi daerah yang seluas-luasnya, tegakkan supremasi hukum, serta pemerintahan yang bersih dari KKN.
Saat itu, gerakan massa dimotori oleh mahasiswa berbagai perguruan tinggi. Korban pertama akibat bentrokan dengan aparat sebetulnya terjadi di Yogakarta. Moses Gatotkaca yang meninggal tanggal 8 Mei 1998.
Korban berikutnya adalah 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, yang kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Reformasi. Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto yang tewas saat terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dengan aparat pada tanggal 12 Mei 1998. Peristiwa itu kemudian disusul kerusuhan massal yang berlangsung di Jakarta dan beberapa kota lain pada tanggal 13-14 Mei 1998.
Saya menyaksikan -- dengan mata-kepala sendiri -- sejumlah kerusuhan yang sengaja digerakkan oleh kelompok terlatih yang di kemudian hari disebut sebagai provokator. Mereka menyasar pertokoan, tempat usaha, dan hunian kalangan menengah atas. Masyarakat turunan Tionghoa memang merupakan sasaran utama amuk massa saat itu.
***
Tapi pertanyaannya, dari serangkaian agenda mendesak yang dituntut Gerakan Reformasi itu, hal mana saja yang kemudian sunguh-sungguh diselesaikan dan dipenuhi?
Harus kita akui, meskipun tak sempurna, hanya soal penghapusan Dwifungsi ABRI yang 'hampir' tuntas. Tuntutan-tuntutan yang lain bisa dikatakan basa-basi dan hampir omong kosong.
Amandemen UUD 1945 nyatanya hanya memangkas kekuasaan mutlak Presiden dan Kepala Negara yang sebelumnya hampir tak berbatas. Tapi kemudian kita saksikan peralihannya kepada wakil-wakil rakyat terpilih di Badan Legislatif sehingga mereka memiliki posisi tawar yang (sering) berlebihan. Kekuasaan konstitusional yang diberikan melalui amandemen demi amandemen UUD 1945 itu justru membuka peluang penyanderaan gerak-gerik dan langkah Lembaga Eksekutif menjalankan roda pemerintahan. Salah satunya terkait ketentuan hak budget dan campur tangan keputusan eksekutif yang mereka miliki. Semua itu kemudian membuka ruang kompromi yang sangat rentan disalah-gunakan. Setelah Reformasi 1998, kita justru menyaksikan terungkapnya kejahatan demi kejahatan yang berbau KKN dengan skala kerugian negara yang semakin besar dan masif, oleh KPK. Lembaga anti rasuah yang justru dilahirkan untuk menjawab tuntutan Reformasi itu sendiri.
Begitu pula dengan pengadilan terhadap Suharto dan para kroninya. Drama upaya menyeretnya ke meja hijau memang sempat mengisi hari-hari di masa awal pemerintahan Reformasi. Kita tahu, semua itu akhirnya dihentikan karena alasan kesehatan sebelum akhirnya dia meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Kroni-kroninya yang lain?
Kita bisa menyaksikan sendiri betapa licin dan lihainya mereka sehingga tuntutan itu kemudian tumpul dan menguap. Justru sebagian besar dari mereka bercokol kembali menguasai pusaran politik dan ekonomi Indonesia hari ini, serta berperan penting dan turut serta dalam setiap denyut kehidupan bangsa kontemporer.
Dikomando atau tidak, nyatanya mereka hadir kembali -- mengukuhkan pengaruh, wewenang, dan kendali -- serta menggiring balik iklim perkoncoan yang menyalah-gunakan kekuasaan, merongrong kedaulatan, dan merugikan negara seperti saat Suharto berkuasa dulu. Dalam beberapa hal bahkan lebih parah.
Indonesia belum beranjak dari persoalan besar bangsa yang menjatuhkan Suharto 19 tahun yang lalu. Perbedaannya hanya pada sosok-sosok yang berkuasa dan menguasai peta persekongkolan jahat. Ciri lainnya, jika pada masa Suharto terpusat pada dirinya seorang, kini lebih terpolarisasi dalam sejumlah kutub pengaruh dan kekuasaan.
The business just back as usual.
***
Jika sebelum Reformasi 1998, Suharto bersama kroninya ditempatkan sebagai musuh bersama yang harus digulingkan, kini para bandit yang mengambil alih perannya secara konstitusional, membangun kubu kekuatan masing-masing, memerankan sandiwara hingga seolah-olah saling bertikai, sambil menggalang upaya (bersama) melumpuhkan langkah-langkah suci sosok-sosok zaman yang lahir kemudian dan ingin bersungguh-sungguh memperbaiki keadaan, membangun kembali yang porak poranda, mempersatukan kekuatan, membangun martabat bangsa, dan mempersiapkan diri kita agar mampu bersaing pada dunia global yang makin menyatu dan tak berbatas.
Korban pertamanya adalah Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden ke tiga Indonesia. Ia hanya berkuasa sekitar 2 tahun lalu kemudian digulingkan kembali oleh mereka yang bersamanya menggalang perjuangan menurunkan Suharto sebelumnya.
***
Joko Widodo dan Basuki Tjahja Purnama adalah salah satu pasangan langka yang memulai era pemunculan sosok-sosok yang sesungguhnya -- dan semestinya -- dirindukan, dinantikan, dan diidam-idamkan bangsa Indonesia.
Harus diakui, pasangan ini telah membuktikan keistimewaan diri mereka dibanding sejumlah sosok lain yang belakang bermunculan di berbagai pelosok Tanah Air.
Jokowi yang memulai kiprahnya sebagai Walikota Solo akhirnya terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta, berpasangan dengan Ahok. Ketulusan, kesungguhan, kesederhanaan, dan kejujurannya segera menyentuh simpati rakyat Indonesia yang mulai dihinggapi rasa jenuh dan kecewa terhadap situasi yang berkembang sejak kejatuhan Suharto hingga 2 periode kepemimpinan SBY. PDIP kemudian mencalonkannya sebagai Presiden RI ke tujuh, dan berhasil menyingkirkan rivalnya, Prabowo Subijanto.
Ahok, sebagaimana Jokowi, tak membuka ruang kompromi bagi penyeleweng kekuasaan, anggaran, dan kekayaan negara. Keduanya hanya berfikir untuk kebaikan bangsa tanpa sama sekali menghiraukan kepentingan pribadinya. Keduanya bersikap dan berprilaku total yang membuat ciut nyali banyak pihak -- baik di kalangan politisi, birokrasi, pengusaha, maupun masyarakat luas -- yang sudah terbiasa lagi mempraktekkan kegiatan lancung yang merugikan negara.
Hal itulah yang secara alamiah mendongkrak popularitas mereka dan mengundang simpati publik luas.
Bedanya, Ahok merupakan turunan Tionghoa sedang Jokowi asli Jawa. Ahok adalah non Muslim sedangkan Jokowi beragama Islam. Ahok lahir dan besar di pulau Sumatera yang terbiasa menggunakan gaya bahasa dan tutur kata berbeda -- sebagian mengesankannya sebagai keras dan kasar -- dengan Jokowi yang berasal dari Jawa Tengah.
Sesungguhnya mereka berdua menyebabkan keresahan banyak pihak -- politisi, birokrat, pengusaha, dan masyarakat luas -- yang kini terpolarisasi pada sejumlah kubu kekuasaan dan mulai terbiasa lagi mempraktekkan perkoncoan dan upaya-upaya jahat yang merugikan bangsa dan negara.
Kita telah menyaksikan berbagai upaya kriminalisasi -- yang nyatanya mengada-ada lalu menguap karena tak terbukti -- ditimpakan pada Ahok paska terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI. Setelah itu, tentu ia resmi menduduki posisi Gubernur yang ditinggalkan.
Sulit dibantah jika perlawanan masif tapi mengada-ada yang dilakukan terus-menerus itu, bukan karena alasan yang memiliki obyektifas yang solid dan kuat, tapi sangat kental dipengaruhi faktor-faktor subyektif. Bahwa Ahok turunan Tionghoa, bahwa Ahok non Muslim, bahwa Ahok berkata kasar meskipun kepada bajingan yang jelas merugikan rakyat atau bekerja tak becus -- justru lebih ditonjolkan dalam pembangunan opini negatif yang mereka lakukan.
Mereka akhirnya menemukan kesempatan paling strategis ketika Buni Yani memelintir suntingan pidato yang disampaikan Ahok di pulau Pramuka, menyebar-luaskan fitnah, hingga terbangun stigma kejam sebagai penista agama.
Ya!
Agama adalah faktor yang tersedia untuk menciptakan kondisi hitam-putih hari ini. Bukan lagi tentang pelaku dan anti KKN seperti saat dilabelkan pada Suharto beserta kroni-kroninya dulu.
Sentimen keagamaan -- khususnya Islam sebagai kelompok mayoritas -- adalah kunci penting yang mampu mempersatukan masyarakat untuk merongrong pihak atau kelompok tertentu. Apalagi jika berbeda keyakinan. Sesama Islam pun kebenciannya kadang bisa dipengaruhi melalui penggolongan aliran. Kita telah menyaksikannya berulang pada tokoh-tokoh yang dituding menganut faham Syiah, Ahmadiyah, dan seterusnya.
Fitnah penistaan agama yang ditimpakan pada Ahok kemudian mereka daya-gunakan habis-habisan sehingga berhasil mempengaruhi pilihan masyarakat Jakarta pada Pilkada DKI kemarin.
Ahok yang berpasangan dengan Djarot kalah telak meski telah menorehkan rentetan karya monumental bagi kota dan masyarakat Jakarta yang belum pernah dilakukan siapapun pendahulunya.
Kekalahan itu diterima Ahok dan Djarot dengan lapang dada.
***
Lalu jaksa penuntut umum pada sidang pengadilan yang bergulir karena fitnah yang digembar-gamborkan itu, akhirnya menyatakan Ahok tak menista agama. Mereka justru mengajukan tuntutan aneh: Ahok menghina golongan.
Sungguh saya tak mampu memhami siapa dan golongan mana yang dihinanya.
Tapi biarlah proses hukum di pengadilan itu berjalan hingga akhir. Toh putusan ada di tangan hakim. Ahok dan pengacaranya -- sebagaimana jaksa yang menyampaikan tuntutan -- kemudian masih dapat mengajukan banding jika merasa keputusan yang disampaikan hakim dianggap tak memuaskan.
***
Memperebutkan kekuasaan hari ini bukan lagi soal bersih-kotor atau bebas-terikat KKN. Tapi tentang agama dan keimanan yang sama. Berderet-deret tokoh Muslim -- bahkan pemuka agama Islam -- yang dijebloskan ke penjara karena tertangkap tangan maupun terbukti korupsi agaknya tak lebih penting dibanding agama dan keimanan yang sama.
Maka tuntutan jaksa yang tak menggubris fitnah penistaan agama yang disandangkan kepada Ahok, tetap perlu dikapitalisasikan sebagai suatu ketidak-adilan. Sekelompok orang yang dipimpin Rizieq Shihab dkk melancarkan agitasi dan propaganda seolah pemerintah yang berkuasa tak berpihak pada umat Islam jika kemudian Hakim memutuskan sesuatu yang tak memuaskan syahwat kebencian mereka. Keraguan bahkan ketidak percayaan pada supremasi hukum yang sesungguhnya menjadi salah satu agenda Reformasi 1998, mereka pamerkan melalui aksi massa. Pangliima TNI pun sampai terbata, menjelaskan berputar-putar, dan mengungkap kata bersayap ketika menjawab pertanyaan singkat dan sederhana dari Rosiana Silalahi, soal kemungkinan pendomplengan upaya kudeta terhadap kepemimpinan Presiden Jokowi, saat mewawancarainya di Kompas TV beberapa hari lalu.
Sikap dan langkah Joko Widodo selaku Presiden maupun Kepala Negara dalam menghadapinya memang sangat penting dan berpengaruh pada upaya dan perjuangan mereka memenangkan persaingan 2019 nanti. Mereka yang kini tersandera dan tak leluasa melakoni kebiasaan menguntil dan menjarah kekayaan negara, akan semakin menderita bahkan mati kutu jika Jokowi terpilih lagi melanjutkan kekuasaannya.
Maka citra keberpihakan pada agama dan keimanan mereka menjadi begitu penting. Jauh lebih penting dibanding prilaku biadab dan tak bermoral dalam mempraktekkan laku korupsi-kolusi-nepotisme seperti kasus-kasus raksasa yang terkait dengan e-ktp, BLBI, stadiun olahraga Hambalang, dan seterusnya. Bahkan jauh lebih penting dibanding kriminalisasi terhadap KPK maupun oknum-oknum yang melaksanakan tugasnya disana, seperti penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan tempo hari.
***
Menjelang Suharto menyatakan diri berhenti dan menyerahkan kekuasaan kepada BJ Habibie tahun 1998 lalu, pendukung dan pengikutnya satu per satu berbalik badan, diam-diam atau terang-terangan berkomplot dengan kubu lawan, hingga akhirnya berkhianat pada sosok yang sebelumnya membesarkan mereka.
Dalam hal fitnah penistaan agama ini, saya tak yakin jika mereka yang percaya bahwa Ahok hanya menjadi korban dan menjadi pihak yang dirugikan, akan berbalik badan mengkhianatinya. Mungkin, saya dan mereka hanya mengelus dada jika seandainya terjadi kesemena-menaan. Apapun bentuknya.
Tapi ada kemungkinan terjelek jika kesadaran Indonesia dari, oleh, dan untuk semua tanpa membedakan suku-agama-ras-antar golongan mengeras.
Sebab, tirani mayoritas dalam Bhinneka Tunggal Ika itu sesungguhnya haram.
:: Jilal Mardhani, 5 Mei 2017 ::
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H