Saat itu, gerakan massa dimotori oleh mahasiswa berbagai perguruan tinggi. Korban pertama akibat bentrokan dengan aparat sebetulnya terjadi di Yogakarta. Moses Gatotkaca yang meninggal tanggal 8 Mei 1998.
Korban berikutnya adalah 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, yang kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Reformasi. Mereka adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto yang tewas saat terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dengan aparat pada tanggal 12 Mei 1998. Peristiwa itu kemudian disusul kerusuhan massal yang berlangsung di Jakarta dan beberapa kota lain pada tanggal 13-14 Mei 1998.
Saya menyaksikan -- dengan mata-kepala sendiri -- sejumlah kerusuhan yang sengaja digerakkan oleh kelompok terlatih yang di kemudian hari disebut sebagai provokator. Mereka menyasar pertokoan, tempat usaha, dan hunian kalangan menengah atas. Masyarakat turunan Tionghoa memang merupakan sasaran utama amuk massa saat itu.
***
Tapi pertanyaannya, dari serangkaian agenda mendesak yang dituntut Gerakan Reformasi itu, hal mana saja yang kemudian sunguh-sungguh diselesaikan dan dipenuhi?
Harus kita akui, meskipun tak sempurna, hanya soal penghapusan Dwifungsi ABRI yang 'hampir' tuntas. Tuntutan-tuntutan yang lain bisa dikatakan basa-basi dan hampir omong kosong.
Amandemen UUD 1945 nyatanya hanya memangkas kekuasaan mutlak Presiden dan Kepala Negara yang sebelumnya hampir tak berbatas. Tapi kemudian kita saksikan peralihannya kepada wakil-wakil rakyat terpilih di Badan Legislatif sehingga mereka memiliki posisi tawar yang (sering) berlebihan. Kekuasaan konstitusional yang diberikan melalui amandemen demi amandemen UUD 1945 itu justru membuka peluang penyanderaan gerak-gerik dan langkah Lembaga Eksekutif menjalankan roda pemerintahan. Salah satunya terkait ketentuan hak budget dan campur tangan keputusan eksekutif yang mereka miliki. Semua itu kemudian membuka ruang kompromi yang sangat rentan disalah-gunakan. Setelah Reformasi 1998, kita justru menyaksikan terungkapnya kejahatan demi kejahatan yang berbau KKN dengan skala kerugian negara yang semakin besar dan masif, oleh KPK. Lembaga anti rasuah yang justru dilahirkan untuk menjawab tuntutan Reformasi itu sendiri.
Begitu pula dengan pengadilan terhadap Suharto dan para kroninya. Drama upaya menyeretnya ke meja hijau memang sempat mengisi hari-hari di masa awal pemerintahan Reformasi. Kita tahu, semua itu akhirnya dihentikan karena alasan kesehatan sebelum akhirnya dia meninggal dunia beberapa tahun lalu.
Kroni-kroninya yang lain?
Kita bisa menyaksikan sendiri betapa licin dan lihainya mereka sehingga tuntutan itu kemudian tumpul dan menguap. Justru sebagian besar dari mereka bercokol kembali menguasai pusaran politik dan ekonomi Indonesia hari ini, serta berperan penting dan turut serta dalam setiap denyut kehidupan bangsa kontemporer.
Dikomando atau tidak, nyatanya mereka hadir kembali -- mengukuhkan pengaruh, wewenang, dan kendali -- serta menggiring balik iklim perkoncoan yang menyalah-gunakan kekuasaan, merongrong kedaulatan, dan merugikan negara seperti saat Suharto berkuasa dulu. Dalam beberapa hal bahkan lebih parah.