RINGKASAN EKSEKUTIF, TAK MUDAH TAPI COBALAH PIKIRKAN
Latar belakang pemikiran dan sejumlah pertimbangan yang menyertai 5 hal yang disarankan berikut, diuraikan pada bagian-bagian selanjutnya. Tulisan-tulisan yang panjang-lebar di bawah itu dimaksudkan untuk memberi gambaran dan pemahaman menyeluruh dan lebih baik. Setidaknya demikianlah harapan yang saya panjatkan.
Lima saran yang disampaikan hanyalah ilustrasi dari langkah inovatif dan kreatif — kadang menabrak pakem dan seperti keluar dari kelaziman — yang perlu dipertimbangkan Pemerintah untuk menghadapi berbagai persoalan kontemporernya.
Bagaimanapun, saya meragukan pendekatan linear dalam memecahkan masalah yang telah terlanjur kusut dan rumit di bidang transportasi kita.
Saran #1: Standar Upah
Pertimbangkanlah agar ketentuan Upah Minimum Regional (sehingga dapat disesuaikan dengan standar masing-masing kota atau daerah) diterapkan kepada mitra — pemilik/pengemudi kendaraan operasional — dari usaha platform teknologi yang menyelenggarakan layanan angkutan umum berbasis aplikasi online.
Maksudnya, bagaimana cara agar setiap perusahaan penyelenggara jasa platform teknologi angkutan online dapat dituntut pertanggung-jawabannya, untuk menjamin pendapatan minimum dari setiap pemilik/pengemudi kendaraan yang menjadi mitra kerja dan bagian jaringannya, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan?
Berbeda dengan ketentuan UMR pada buruh dan pegawai yang memiliki hari dan jam kerja tetap seperti pabrik dan kantor, ketentuan UMR bagi pemilik/pengemudi kendaraan yang digunakan sebagai angkutan online, perlu disesuaikan dengan jumlah jam kerja efektif mereka. Aplikasi yang digunakan penyedia platform teknologi dapat menghitung otomatis dan presisi total jam kerja setiap pengemudi berdasarkan waktu sign-in dan sign-off mereka. Di sisi lain, pengelola platform teknologi akan berupa untuk menyampaikan pesanan penumpang selama pemilik/pengemudi aktif terhubung dengan aplikasi sehingga quota pendapatan mereka yang sesuai aturan jam kerja, terpenuhi.
Dengan demikian, Pemerintah tak perlu memusingkan soal batas bawah atau batas atas tarif maupun quota jumlah kendaraan yang diizinkan beroperasi. Sebab, ketentuan pengupahan tersebut menyebabkan perusahaan pemilik platform aplikasi harus berhitung lebih cermat soal armada yang beroperasi sehari-hari maupun tarif yang ditetapkan.
Sementara jika tak memenuhi ketentuan pengupahan maka perusahaan diwajibkan untuk menutupi dan hak pemilik kendaraan/pengemudi harus tetap terpenuhi.
Ketentuan pengupahan untuk mereka yang melampaui jam kerja juga harus dimasukkan. Misalnya, untuk pengemudi kendaraan online, ketentuannya diberlakukan untuk jumlah jam kerja maksimal per minggu atau per bulan. Standar ketenaga kerjaan yang umum berlaku di Indonesia adalah 40 jam seminggu atau 173 jam per bulan. Ketentuan upah untuk setiap kelebihan jam kerja (lembur) juga ada. Artinya, para pengemudi yang bekerja melebihi ketentuan jam standar yang ditetapkan khusus (misalnya untuk pengemudi online akan ditetapkan 50 jam seminggu atau 185 jam sebulan) berhak atas penerimaan yang setara dengan ketentuan lembur.
Hal ini akan menyebabkan pemilik platform teknologi memperhatikan jam operasional aktif setiap pengemudi. Artinya, jika pendapatan yang dikumpulkan tidak sesuai karena penumpang tidak tersedia atau mencukupi, maka mereka akan melakukan pemaksaan (forced) sign off agar pengemudi mengakhiri jam kerjanya.
Ketetapan upah minimum khusus pengemudi kendaraan online juga harus memperhitungkan standar biaya-biaya yang ditanggungnya, seperti asuransi kendaraan maupun pengemudi, pajak kendaraan, harga dan biaya pemeliharaan kendaraan, biaya bahan bakar dan operasional harian, dan iuran BPJS.
Pemerintah harus aktif melindungi kepentingan warga negara Indonesia yang menjadi mitra usaha taksi online sehingga hak-hak mereka terpenuhi (lihat Saran #3 : Pajak). Disamping itu, hak mitra usaha yang memiliki dan mengemudikan kendaraan juga harus disampaikan dengan jelas sehingga mereka memahaminya.
Saran #2 : Asuransi
Daripada mengatur soal KIR, pool, ataupun bengkel khusus, Pemerintah sebaiknya mulai memikirkan konsepsi penerapan asuransi kecelakaan terhadap setiap kendaraan dan pengemudi di Indonesia. Besarannya harus dikaitkan dengan kinerja pengemudi ataupun kendaraan. Maksudnya, nilai premi bagi yang pernah mengalami kecelakaan harus lebih tinggi dibanding yang belum.
Setiap asuransi selalu memiliki perhitungan tersendiri terkait kebiasaan yang diasuransikannya. Otomotis, kendaraan dan pengemudi kendaraan taksi online harus menyatakan dengan jujur tentang aktivitasnya. Sebab, pihak asuransi dapat menolak pembayaran klaim pertanggungan jika ternyata datanya tidak sesuai.
Kewajiban asuransi juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi penumpang karena otomatis mereka sudah dipertanggungkan. Sementara sanksi memberatkan juga harus diterapkan bagi mereka yang lalai, termasuk perusahaan yang mengupayakan platform teknologinya.
Saran #3 : Pajak
Terapkan instrumen pajak yang sudah tersedia. Jika ketentuan yang ada belum mengakomodasi atau tidak sempurna maka perbaikilah. Setidaknya khusus untuk diberlakukan pada wajib-wajib pajak yang terkait dengan usaha angkutan umum berbasis teknologi online.
Seharusnya, sebagai aktivitas sewa-menyewa — sesuai dengan klasifikasi jenis angkutan yang ditetapkan bagi mereka — perusahaan pemilik platform teknologi harus diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari setiap transaksi sewa yang terjadi. Artinya, besaran PPN yang dipungut harus disertakan pada tagihan kepada pelanggan dan wajib disetorkan kepada Negara.
Akses real-time terhadap dashboard informasi yang diminta Pemerintah kepada mereka mungkin dapat dikhususkan pada informasi-informasi yang terkait kewajiban pajak. Menggunakan data tersebut, Pemerintah dapat mengetahui perkiraan pendapatan setiap pengemudi yang terlibat, apakah memenuhi ketentuan Upah Minimum yang ditetapkan atau tidak.
Kewajiban pajak lain yang harus dapat segera diterapkan adalah pungutan Pajak Penghasilan terhadap setiap pengemudi. Jika menggunakan instrumen PPh 21, meskipun memanfaatkan ketentuan pekerja lepas sehingga pemotongan cukup dilakukan 50% dari ketentuan berlaku, tentu akan memberatkan pengemudi. Sebab perhitungannya akan menggunakan pendapatan kotor yang diperoleh. Sementara ketentuan besaran PPh 21 Orang Pribadi bersifat progresif. Artinya, pajak yang harus dibayarkan meningkat sejalan dengan akumulasi pendapatan setahun.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, mungkin bisa menetapkan pemilik / pengemudi kendaraan termasuk dalam kategori UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) yang mendapat fasilitas PPh Final sebesar 1% dari pendapatan kotor jika peredaran usaha setahunnya masih di bawah Rp 4,8 miliar. Jumlah pendapatan pengendara taksi online sebulan tentu tak akan mencapi Rp 400 juta. Dengan demikian maka Perusahaan yang memiliki platform teknologi angkutan online, wajib memotong 1% dari setiap pendapatan pengemudi dan menyetorkannya ke negara.
Saran # 4 : Legalisasi Ojek
Bagaimanapun, angkutan umum yang menggunakan kendaraan roda dua, sesungguhnya adalah keniscayaan.
Menumpang moda angkutan tersebut tidak menyalahi aturan berlalu-lintas selama sesuai dengan ketentuan. Mulai dari mengenakan perangkat keselamatan, jumlah penumpang yang diizinkan, ukuran fisik minimal, wilayah operasi, dan seterusnya.
Seluruh saran yang di atas tentu dapat juga diberlakukan kepada mereka. Mulai dari ketetapan upah minimum, asuransi, maupun pajak.
Penertiban administrasi terhadap usaha angkutan umum khusus yang berbasis teknologi online ini — khususnya karena penertiban perpajakannya — otomatis akan tercatat pada peningkatan Produk Regional Domestik Bruto sehingga semakin memudahkan Pemerintah memahami kinerja, potensi, dan peluang ekonomi di daerahnya.
Saran #5 : Angkot Online
Sebagaimana semangat UU 22/2009 yang membuka peluang partisipasi masyarakat (swasta) untuk membantu pemerintah menyelenggarakan pelayanan angkutan umum, kehadiran badan usaha yang memiliki platform teknologi mestinya juga ditanggapi dengan positif.
Keberadaan sistem angkutan umum massal merupakan sesuatu yang sudah tak bisa ditawar lagi. Itu sebabnya Jakarta bergegas mengembangkan BRT (Bus Rapid Transit), MRT (Mass Rapid Transit), maupun LRT (Light Rail Transit).
Tapi sesungguhnya, persoalan yang dihadapi Jakarta maupun kota-kota lain di Indonesia jauh lebih kompleks. Selain sumber pendanaan yang mampu mendukung investasi dan pengoperasiannya, juga soal kebutuhan pengembangan berbagai prasarana dan sarana pendukung. Termasuk feeder services untuk mengintegrasikan pelayanan ke kantong-kantong pemukiman yang terlanjur berkembang tak beraturan. Selain soal fasilitas pedesterian yang miskin, pengadaan layanan feeder yang mengandalkan sistem dan tata cara konvensional, sangat tidak mudah dan mahal.
Sebagian permasalahan tersebut pernah disampaikan melalui artikel ‘MRT & LRT : Berkah si Malakama’. Di sana disampaikan beberapa saran kreatif dan inovatif untuk mengatasi sebagian persoalan mendasar, diantara penetapan Biaya Pelayanan Transportasi Publik (BPTP).
Sebagian dari BPTP yang dikumpulkan tersebut bisa dialokasikan sebagai subsidi bagi kebutuhan feeder service di tingkal lokal atau lingkungan, bagi warga yang ingin menggunakan angkutan umum massal. Caranya dengan mengembangkan kerjasama layanan Angkutan Kota Online bersama dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki platform teknologi. Dengan demikian, setiap pengguna angkutan massal dapat dilayani Angkot Online hingga ke shelter terdekat yang dilalui feeder service yang lebih besar (misalnya sekelas Metro Mini atau Bus Kota).
Aplikasi Angkot Online mungkin dapat menyelesaikan sejumlah hal yang selama ini terbengkalai.
Pertama, soal pendataan yang akurat. Kedua, soal prilaku mereka dalam berkendaraan dan berlalu-lintas. Ketiga, soal kapasitas terminal maupun perhentian sementara yang digunakan.
Dengan menggunakan fasilitas semacam sharing ride yang ada di aplikasi transportasi online sekarang, kerjasama pengembangan layanan Angkot Online, mungkin bisa menyelesaikan sejumlah masalah transportasi dan lalu-lintas kota-kota di Indonesia.
Dalam hal ini, setidaknya Pemerintah memiliki peluang untuk membahas dan menjajagi peluang pertanggung-jawaban sosial perusahaan (CSR - corporate social responsibilities) angkutan berbasis teknologi online yang selama ini dianggap predator tersebut.
Merangkul, mengajak bersahabat, dan memperlakukan hubungan setara yang saling membutuhkan, selalu memberikan hasil yang bertolak belakang dan jauh lebih baik, dibanding sikap yang sebaliknya, bukan?
Bukankah ciri Indonesia adalah kekeluargaan?
SETAHUN LINIMASA
Masalah yang terkait dengan kehadiran angkutan umum berbasis aplikasi online, hingga hari ini terlihat seperti jalan ditempat. Padahal — seperti yang dapat disaksikan pada berbagai cuplikan pernyataan yang bertebaran di media sosial tahun lalu — Presiden Joko Widodo secara tegas telah menyampaikan 3 pokok pemikirannya. Pertama, kehadiran layanan tersebut merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat. Kedua, bahwa yang membuat aturan adalah pemerintah dan semestinya tidak membuat masyarakat menderita. Ketiga, rumuskan kebijakan transisi yang berpihak kepada masyarakat sampai (negara) dapat menyediakan pelayanan (angkutan umum massal) yang bagus dan nyaman.
Pada kesempatan terpisah, pernyataan yang disampaikan Gubernur DKI Jakarta ketika gonjang-gonjang terkait beredarnya surat keputusan Ignasius Jonan — selaku Menteri Perhubungan Republik Indonesia saat itu — tentang pelarangan operasi sepeda motor sebagai angkutan umum berbasis online, rasanya memang tepat dan tak terbantahkan.
Kata Ahok, “Angkutan penumpang ‘ojek layaknya seperti anak sendiri yang tak mau diakui’ (oleh pemerintahnya).”
Menyikapi kemelut terkait hadirnya angkutan berbasis aplikasi online tersebut, Ignasius Jonan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016. Budi Karya yang kemudian menggantikannya, beberapa bulan lalu telah merevisinya dan memberi tenggat untuk efektif memberlakukan mulai 1 April 2017 mendatang. Menjelang batas waktu itu, berbagai unjuk rasa merebak di sejumlah kota. Bahkan memicu bentrokan antar warga. Anehnya, sebagian besar keributan terjadi antar angkutan umum kota dengan angkutan ojek online yang sesungguhnya belum disentuh undang-undang dan aturan turunannya itu.
SIMPUL-SIMPUL PERSOALAN
Inovasi dan kreatifitas yang dihadirkan teknologi digital telah berdampak nyata pada berbagai aspek kehidupan kita. Salah satu yang paling luar biasa adalah soal kemampuannya memberdayakan sektor informal. Aktivitas yang ada dan nyata di tengah masyarakat tapi selama ini tak teradministrasi dengan baik oleh negara.
Contohnya angkutan umum ojek. Layanan informal yang telah hadir di tengah masyarakat sejak puluhan tahun yang lalu. Bahkan jauh sebelum telepon genggam melanda kehidupan sehari-hari masyarakat luas. Perangkat yang kini semakin canggih dan berperan strategis pada sistem pengoperasian layanan ojek melalui aplikasi teknologi online yang ditanam di dalamnya.
Seperti berbagai inovasi dan kemajuan yang berlangsung sepanjang sejarah peradaban manusia, setiap kemudahan dan perubahan yang ditawarkan acap menghadapi penolakan dan sikap tak bersahabat dari mereka yang kemapanannya terancam. Bahkan mungkin akan tersingkir.
Inovasi dan modernisasi memang tak selamanya memperkaya pilihan. Atau mensubstitusi (sebagian) layanan konvensional yang sudah dikenal sebelumnya. Ada juga yang sanggup menggeser dan mengambil alih peran tradisional dari yang digantikannya.
Lalu, apa akar permasalahan sesungguhnya sehingga kehadiran angkutan berbasis aplikasi online itu menjadi begitu rumit ditangani?
Berikut ini adalah kritik terhadap 5 persoalan pokok yang satu dengan yang lain saling bertautan. Semuanya berkait dengan cara pandang dan bersikap yang sangat mungkin melahirkan perkeliruan demi perkeliruan yang berlangsung selama ini.
Soal Pertama, UU 22/2009
Rancang bangun Undang-Undang tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan Raya itu agaknya keliru dan salah kaprah. Disinilah titik tolak persoalan.
Mulai dari penentuan hal pokok (kemudahan pergerakan masyarakat - red) dan prioritas utama (pedestrian - red) yang semestinya diatur hingga ambiguitas tugas pokok dan fungsi negara (pemerintah) dalam menyelenggarakan angkutan umum bagi masyarakat.
Implementasi public-private-partnership (kemitraan publik dan swasta) sesungguhnya telah dimulai dari sini. Karena keterbatasan kemampuan negara (pemerintah), UU Nomor 22 Tahun 2009 tersebut mencakup landasan hukum bagi keterlibatan masyarakat (swasta) dalam penyelenggaraan layanan angkutan umum. Alih-alih mengatur kesementaraannya — maksudnya hingga negara mampu menyelenggarakan kewajiban sendiri — undang-undang tersebut malah menempatkan birokrasi pemerintah pada posisi untuk mengelola dan memelihara persaingan usaha (komersial) lembaga swasta yang sebetulnya diajak membantu dan berpartisipasi. Terutama dalam hal pelayanan angkutan umum yang mampu mengangkut penumpang secara massal. Kerancuan konsepsi itulah yang kemudian menjalar dan berlarut-larut pada jenis-jenis layanan angkutan umum yang lain.
Sesungguhnya filosofi public-private-partnership itu merupakan sesuatu yang rumit dan sama sekali tak mudah.
Menggabungkan pelayanan umum (publik) dan kepentingan komersial (swasta) layaknya mensenyawakan minyak dan air. Perlu kehadiran unsur ketiga seperti sabun (keuntungan finansial) untuk menyatukan keduanya. Sementara setelah senyawa terjadi (emulsi), pemisahan untuk mengembalikan masing-masing unsur ke wujudnya semula. bukanlah soal yang sederhana.
Penjelasan lebih lengkap mengenai kerancuan konsepsi UU 22/2009 tersebut dapat dilihat pada artikel ‘Sebelum Indonesia Menyikapi Transportasi Online’ sebelumnya.
Soal Kedua, Disrupsi Kemapanan
Tujuan semula UU 22/2009 memang baik. Sebagaimana UU 14/1992 yang digantikannya, produk legislasi era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu — selain soal kelayakan dan persaingan usaha komersial yang dilibatkan dalam urusan angkutan umum — ingin mengatur berbagai ketentuan yang terkait dengan keselamatan dan kenyamanan masyarakat pengguna. Hal yang disayangkan, isinya ternyata hanya menonjolkan berbagai pernak-pernik detail yang lebih ramai. Beberapa bagian justru sekedar legitimasi terhadap susunan dan kedudukan birokrasi perizinan yang cenderung membuka peluang korupsi-kolusi-nepotisme.
Konsekuensinya, pengusaha angkutan umum yang semula diajak serta untuk membantu negara menyelenggarakan kewajiban melayani publik, malah ditempatkan pada posisi yang harus mengeluarkan biaya semakin tinggi. Sebab, sederet aturan yang harus mereka penuhi, berarti ongkos. Pada kenyataan sebenarnya, sebagian diantara biaya-biaya itu tak memiliki efektifitas fungsi maupun manfaat. Bahkan ada yang mengundang siluman sehingga tak bisa dicatat gamblang dalam pembukuan usaha.
Di tengah perubahan cepat yang sedang melanda industri pelayanan di seluruh dunia, bisnis perangkutan di negeri kita sesungguhnya berupaya bangkit. Menyelinap di antara semak-semak yang dipenuhi onak dan duri birokrasi yang korup.
Inovasi, kelincahan, dan kelihaian mengoperasikan pelayanan saja, tak cukup. Kekuatan modal semakin terasa absolut. Termasuk untuk membiayai pembungkaman ‘disrupsi konvensional’ dari aparat kekuasaan yang sehari-hari selingkuh dan bertindak sesuka hati. Juga untuk menyiasati persaingan pasar agar timpang dan mudah dimenangkan.
Sejarah taksi di Jakarta sesungguhnya dimulai dengan bentuk koperasi. Almarhum Ali Sadikin melakukan inisiatif tersebut untuk menertibkan taksi partikelir yang melayani penumpang dari dan ke bandara Kemayoran. Dari sanalah kemudian lahir Presiden Taxi yang kini telah raib itu. Padahal kita tahu, koperasi adalah cita-cita luhur perekonomian Indonesia yang dicetuskan Bung Hatta, Wakil Presiden pertama yang bersama Soekarno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bisnis taksi regular Jakarta kemudian menggelinjang dahsyat. Sejumlah badan usaha datang dan pergi setelahnya. Bahkan ada yang sekedar digunakan untuk menyiasati uang yang beredar di pasar modal yang bukan melalui persaingan pelayanan yang mampu diberikan. Skandal akal-akalan kapitalisasi pasar yang mengorbankan banyak pihak.
Masih ingatkah Anda pada (almarhum) taksi yang bernama Steady Safe?
Kenyataannya, persaingan pasar bebas memang (selalu) dimenangkan operator yang paling tangguh dalam mengutamakan pelayanan prima. Sejak dulu, Bluebird tak pernah berhenti menyempurnakan inovasi yang memuaskan pelanggannya. Mulai sistem pemesanan melalui telpon, penyediaan radio komunikasi pada setiap kendaraan, hingga penggunaan teknologi GPS (Global Positioning System) dan komunikasi data digital. Operator yang gigih itu memang mampu memenangkan kepercayaan pasar. Bahkan termasuk pelanggan yang belum pernah menggunakannya sekali pun. Akibat kekuatan kabar yang beredar dari mulut ke mulut (words of mouth).
Lalu, kelompok usaha yang dimulai dari garasi rumah di kawasan Menteng itu berkembang sangat pesat. Bukan hanya dalam merambah dan memenangkan jenis bisnis layanan angkutan umum darat yang lain — diantaranya seperti layanan eksekutif, carter, wisata dan antar jemput sebagaimana rincian sebagian besar jenis angkutan umum yang tertera pada UU 22/2009 hingga Permen 32/2016 — tapi juga wilayah geografi operasinya. Dengan mengandalkan keunggulan standar pelayanan pelanggan, efektifitas tata kelola usaha, dan akumulasi modal yang rajin dikumpulkannya, Bluebird Group kemudian merambah berbagai kota besar lainnya di Indonesia. Siapapun tentu dapat memahami, langkah-langkah ekspansif mereka tersebut, semata konsekuensi tuntutan pertumbuhan dan perkembangan usaha, sesuai skala yang telah dicapainya. Jika pasar yang ada telah jenuh, tentu mereka perlu melirik dan menggarap peluang pasar yang lain.
Tapi sejarah sudah mencatat, pasar taksi tradisional di berbagai kota yang dipenetrasi si Biru selalu resah setiap kali menyambut kehadiran mereka. Para pemain konvensional di setiap kota itu selalu khawatir akan kalah bersaing dengan berbagai keunggulan yang dimiliki usaha taksi berlambang unggas terbang itu. Maka beragam aksi penolakan selalu menyertai. Tak sedikit juga yang disertai kekerasan.
Sebagai pelanggan yang memang menikmati layanan primanya, saya berpihak pada si Biru. Dimanapun, setelah mengetahui kehadirannya, selalu ada rasa jengkel setiap kali ‘kendala domestik’ menghambat saya menggunakan mereka. Dalam hati saya pun menggerutu, “Pengusaha taksi lokal kota ini ‘kurang piknik’ dan tak pernah ‘move on’ bersama dengan perkembangan zaman!”
Tapi sebetulnya — jika memang negara sungguh-sungguh berniat hadir — mengapa UU 22/2009 tersebut tak pernah mencakup hal-hal luhur, dinamis, sekaligus progresif sehingga pengusaha-pengusaha yang kecil di berbagai kota di Indonesia lainnya tetap bisa bersanding dengan yang raksasa dan menggurita seperti si Biru?
Pastilah tak sedikit ‘investasi’ dan ‘biaya operasional’ yang digelontorkan kelompok usaha angkutan yang berpusat di Jakarta itu agar tetap bertahan — di tengah penolakan lokal yang terjadi di daerah-daerah — hingga ia dapat kokoh menancapkan kukunya.
Waktu berjalan, dan perlahan tapi pasti satu per satu dapat diatasi. Si Biru yang perkasa pun bersolek dan melenggang ke bursa saham. Menawarkan kepada publik untuk turut memiliki dan menikmati keuntungannya.
Seperti nasib pengusaha taksi tradisional di kota-kota yang pernah dirambahnya, kini dia — bersama usaha yang sejenis dan senasib lainnya — sempoyongan juga menerima kehadiran pesaing yang menguasai sejumlah keunggulan yang berbasis teknologi digital. Hal yang sebetulnya tak sulit dikuasai jika mereka tak lalai membuka mata dan telinga. Kekuatan kapital memang berperan. Tapi sesungguhnya ini hanya soal momentum.
Kemapaman si Biru dan kawan-kawan terganggu. Disrupsi. Wabah klasik itu bangkit lagi. Mereka khawatir kalah bersaing terhadap keunggulan layanan angkutan berbasis online.
Tapi sekali lagi, pemerintah masih saja bingung menempatkan posisi dan peran Negara di tengah-tengah gejolak paska kehadiran angkutan online. Kebingungan yang kurang-lebih sama ketika menyikapi gejolak di sejumlah kota ketika si Biru menerjang dengan segala keunggulan yang dikuasainya.
Soal Ketiga, Tugas Pokok dan Fungsi
Tugas pokok dan fungsi pemerintah adalah menyusun dan menegakkan hukum agar masyarakat tertib, adil, dan sejahtera. Tertib artinya sesuai aturan yang disusun dan disepakati untuk kepentingan bersama sehingga keadilan masyarakat bisa ditegakkan, dan kesejahteraan bangsa dan negara dapat tercapai. Oleh karena itu, semua perundang-undangan beserta peraturan turunannya harus sesuai dan tidak bertentangan dengan pokok-pokok ketentuan yang tercantum pada UUD 1945.
Cobalah baca kembali dasar konstitusional bangsa kita itu dan perhatikan hal yang tertuang pada pasal 31 ayat 1:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”
Lalu peran dan langkah apa yang telah dilakukan untuk menegakkan azas kekeluargaan itu saat pengusaha angkutan taksi lokal di berbagai kota dilanda keresahan ketika si Biru dari Jakarta melebarkan sayap bisnisnya kesana?
Azas kekeluargaan juga tak berarti serta-merta menghalangi warga yang berhasil menyiasati keadaan sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan biaya yang lebih murah. Seperti yang sekarang dilakukan oleh angkutan umum berbasis online. Sebab, sesungguhnya tak ada halangan ataupun larangan apapun bagi si Biru dan kawan-kawan, untuk menggunakan sumberdaya (teknologi) yang sama sehingga merekapun berpeluang mampu mensejajarkan pelayanan yang sudah ada, dengan harga yang sepadan.
Disinilah letak kekeliruan mendasar yang dilakukan pemerintah ketika — melalui Peraturan Menteri No. 32 tahun 2016 — memaksakan penetapan batas atas maupun bawah tarif layanan angkutan khusus yang menggunakan aplikasi teknologi itu. Terlihat semakin konyol ketika kelompok si Biru dan angkutan khusus berbasis aplikasi, tidak berada pada kelas yang sama. Sebab yang pertama dimasukkan dalam kategori angkutan taksi sedangkan yang kedua sebagai angkutan sewa. Besaran volume minimal silinder mesin yang dipersyaratkan antara keduanya saja pernah ditetapkan berbeda. Angkutan khusus online yang masuk kategori sewa harus 1300 cc ke atas sedangkan taksi reguler boleh 1000 cc. Pada PM 32/2016 yang direvisi, volume silinder mesin angkutan sewa khusus online katanya memang telah dikoreksi menjadi 1000 cc (lihat Majalah Tempo edisi 27 Maret 2017, halaman 104, Info Perhubungan). Tentu lebih runyam lagi jika kita mempertanyakan latar belakang dan maksud aturan itu jika dikaitkan dengan pencapaian makna tertib, adil, dan sejahtera bagi masyarakat.
Jika sesama angkutan sewa berbasis aplikasi online tak meributkan soal tarif, lalu mengapa pemerintah harus campur tangan membatasinya?
Sementara itu — jika mengkaitkan pada nasib layanan angkutan ojek — kita akan semakin tergagap ketika membaca kembali Bab Hak Asasi Manusia yang tercantum pada pasal 28A, UUD 1945. Tertulis disana :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Apakah karena kendaraan roda dua tak diakui sebagai sarana yang dapat dimanfaatkan sebagai angkutan umum pada UU 22/2009, lalu pemerintah bisa begitu saja lepas tangan dan tak mengabaikan tugas pokok dan fungsinya pada aktivitas usaha mereka yang kini berkembang pesat, setelah diberdayakan teknologi aplikasi online?
Padahal butir kedua wejangan Presiden Joko Widodo tahun lalu — seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini — tegas mengatakan bahwa aturan disusun dan ditegakkan pemerintah bukan untuk membuat masyarakat menderita. Semestinya, aturan yang tak lengkap segera diupayakan perbaikan dan penyempurnaannya. Sebab ia bukan ayat-ayat Kitab Suci yang tak boleh digonta-ganti. Bagaimanapun, kondisi, situasi, dan pemahaman ketika UU tersebut disusun sangat mungkin belum menjangkau — bahkan mampu sekedar membayangkan — semua kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita miliki hari ini.
Soal Keempat, Trasformasi
Perubahan yang sedang berlangsung di tengah kehidupan kita sekarang — terutama yang dipengaruhi perkembangan pesat teknologi seperti jasa angkutan, usaha eceran, sosial media, dan seterusnya — tidak terjadi seketika. Tapi berlangsung secara bertahap (evolusi) dengan sejumlah percepatan.
Artinya, dari waktu ke waktu proses perubahan itu bisa dan sering berlangsung semakin cepat. Jika tak mawas diri dan berupaya sungguh-sungguh menyikapinya maka kita akan dihadapkan pada berbagai kejutan yang sangat mungkin tak menguntungkan dan tidak sanggup menerimanya. Bukan soal siap atau tidak karena segala sesuatunya sudah hadir di depan mata!
Sekitar 10-15 tahun terakhir, sebagian dari kita sempat tergagap menyaksikan perubahan itu. Warung-warung rokok yang sebelumnya bertebaran di hampir semua penjuru kota, tiba-tiba menghilang secara alamiah karena kalah bersaing dengan wabah jaringan waralaba serba-ada seperti Indomaret, Alfamaret, dsb. Usaha jasa perjalanan dan wisata (travel agent) konvensional gulung tikar karena pelanggan dimudahkan fasilitas online yang menawarkan harga yang lebih murah dan pelayanan yang lebih lengkap, cepat, dan memuaskan.
Saya yakin, dengan mudah Anda akan dapat melengkapi daftar perubahan yang telah dan sedang berlangsung dalam kehidapan sehari-hari selama ini.
Ulasan yang menghimbau agar kita bijak menyikapi, telah disampaikan banyak pihak dalam berbagai kesempatan. Hampir semuanya sepakat menyarankan supaya tidak mencoba menyangkal dan menghindarinya. Saya pun sependapat dan berkesimpulan tak perlu mengulanginya lagi.
Sesungguhnya, hal yang justru luput dan tak banyak diulas adalah tentang (peluang) pemberdayaan yang ditawarkan teknologi tersebut, adalah tentang aspek-aspek yang sebelumnya dibebankan penuh sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Kita akan menggunakan fenomena angkutan umum online untuk mengulas sejumlah contohnya.
Salah satu bagian penting dari aturan yang diberlakukan selama ini, sesungguhnya diadakan karena pemerintah bermaksud menjalankan tugas, yaitu menjaga keamanan masyarakat pengguna angkutan umum. Kewajiban mendaftarkan badan usaha (taksi) yang setidaknya memiliki 5 unit armada dengan alamat yang jelas, memiliki pool dan bengkel perawatan sendiri, adalah sebagian diantaranya. Begitu pula ketentuan penggunaan ciri-ciri khusus seperti plat nomor yang menggunakan warna dasar kuning, cat kendaraan yang seragam, uji berkala (KIR), pencantuman nama perusahaan, peletakan identitas pengemudi pada dashboard, nomor kontak pengaduan, dan seterusnya.
Tidakkah kita sadari bahwa hal-hal yang dimaksudkan untuk menjaga keselamatan masyarakat pengguna itu sesungguhnya telah ditangani jauh lebih baik oleh teknologi yang digunakan penyedia layanan angkutan berbasis online?
Identitas kendaraan maupun pengemudi yang akan digunakan bahkan sudah diketahui, jauh sebelum penumpang naik. Dengan demikian, jika diperlukan untuk berjaga-jaga, data dan informasi tersebut terlebih dahulu bisa diserahkan kepada kerabat atau teman yang lain dengan sangat mudah. Calon penumpang tinggal menggunakan fasilitas yang terdapat pada telpon genggam yang digunakannya.
Angkutan berbasis online juga dilengkapi dengan teknologi untuk memantau posisi (GPS tracking). Juga perkiraan waktu tempuh dan biaya yang akurat. Mereka juga mengembangkan sistem yang jauh lebih baik untuk mengevaluasi kepuasan pelanggan karena segera setelah perjalanan usai, atau setidak sebelum melakukan pemesanan berikutnya, aplikasinya secara otomatis akan meminta kita untuk menyampaikan umpan balik (feedback).
Diantara penyedia layanan online sendiri, telah sangat menyadari pentingnya pelayanan prima, sejak awal mereka mulai beroperasi. Sebab hampir tak ada exclusive entry barier bagi pesaing yang baru. Kita dapat menyaksikan sendiri, segera setelah kelahiran Gojek, 2 layanan ojek online yang lain (Grab dan Uber) segera hadir meramaikan pasar. Begitu pula dengan jenis kendaraan beroda empatnya. Pertama-tama yang hadir di Indonesia adalah Uber. Tak berapa lama kemudian, Grab turut pula meramaikan. Lalu, Gojek yang semua dikembangkan untuk layanan kendaraan roda dua (ojek), juga merambah ke roda empat.
Kesadaran pelayanan prima tersebut telah menciptakan tuntutan tinggi di kalangan internal mereka sendiri. Umur kendaraan sudah dibatasi sejak awal. Kesadaran pemilik dan pengemudi untuk merawat — bahkan menjaga kebersihan — kendaraannya terpelihara melalui sistem pemantauan kepuasan pelanggan, dan seterusnya.
Seandainya pemerintah berkenan mencermati dan mau berbesar hati untuk mengakui hal-hal itu, bukankah semua ketentuan terkait dengan maksud menjaga keselamatan masyarakat penggunanya sudah terpenuhi, bahkan lebih baik?
Apa yang paling perlu dilakukan Pemerintah sesungguhnya adalah kembali ke khitah. Menegakkan kembali tugas pokok dan fungsinya secara bersungguh-sungguh dan bermartabat. Menyusun dan menegakkan hukum agar masyarakat tertib, adil, dan sejahtera. Bukan dengan memaksakan hal-hal kuno yang sebetulnya sudah jauh tertinggal. Tapi melalui pembaharuan dan terobosan yang sejalan dengan perkembangan jaman.
Transformasi merupakan suatu proses perubahan dari kondisi awal menuju hal yang dicita-citakan sehingga dilihat, dirasakan, diyakini, dan dilakoni oleh seluruh komponen yang terlibat. Keempat hal tersebut memang sarat perlu yang harus dipenuhi. Tak cukup hanya dibicarakan di ruang-ruang seminar, lokakarya dan rapat-rapat pembekalan.
Soal Kelima, Incorporated
Firmanzah, telah menggambarkan persoalan kontemporer terkait angkutan berbasis online dengan cukup baik pada kolom yang berjudul ‘Regulatory Gap dalam Transportasi Online’ dan dimuat Majalah Tempo, edisi tanggal 27 Maret 2017.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Paramadina itu, mengatakan bahwa kemajuan teknologi telah menghancurkan (disrupsi) batas antar sektor yang sebelumnya memiliki regulasi terpisah. Misalnya sektor transportasi, komunikasi, sistem pembayaran, perpajakan, industri jasa, dan pelayanan konsumen, pada kasus angkutan sewa khusus yang berbasis teknologi online.
Sayangnya, ketika masuk ke ranah yang ditunggu, masukan-masukan yang disampaikan terhadap sistem regulasi tak cukup mengimbangi kehebohan efek desruptif yang telah memporak-porandakan batas-batas sektoral pada tataran konvensionalnya. Ia justru mengaminkan — sebagaimana juga yang dianjurkan Rheinald Kasali dan dikutip Advertorial Departemen Perhubungan di halaman 104-105 majalah yang memuat tulisan Firmanzah itu — langkah-langkah protektif Pemerintah melalui penetapan kuota jumlah armada, batas bawah tarif yang diberlakukan, jenis SIM, dan sebagainya. Sejumlah contoh yang berlaku di negara lain memang disertakannya. Tapi semua itu belum terbukti sebagai langkah yang tepat (lihat kembali uraian ‘Soal Ketiga,Tugas Pokok dan Fungsi’ di atas).
Jika model bisnis yang menggunakan platform teknologi tersebut, telah membongkar batas-batas sektoral yang selama ini memiliki regulasi terpisah, bukankah langkah dan upaya yang dilakukan harusnya bersifat gotong-royong antar instansi yang sektornya turut terimbas?
Ringkasnya, ‘antisipasi, perlawanan, dan inisiatif’ yang dilakukan Pemerintah sebagai representasi Negara harusnya ‘sepadan dan berimbang’ dengan disrupsi yang terjadi. Tentu tak cukup jika diupayakan hanya melalui kementerian salah satu sektor. Penyikapan mestinya berupa langkah dan strategi ‘bersama’ yang dibahas, difikirkan, dirumuskan, dan dilakoni — selain Kementerian Perhubungan — oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Koperasi, dan yang berkepentingan lainnya.
Seluruh kementerian tersebut mestinya bahu-membahu merumus konsep, strategi, rencana kerja, dan langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menghadapi gejolak yang menyertai inovasi dunia usaha yang menyebut diri sebagai penyedia platform teknologi itu. Baru kemudian menyusun dan menegakkan aturan, agar tatanan masyarakat tetap terselenggara dengan tertib, adil, dan sejahtera, sesuai dengan kondisi yang mutakhir.
Dengan semangat dan konsep pemahaman demikianlah setiap hal yang disarankan pada bagian paling awal dari tulisan ini dijabarkan lebih lanjut.
Selanjutnya rumusan-rumusan itu mungkin diturunkan dalam bentuk Keputusan Bersama antar Menteri Terkait, atau melalui Keputusan Presiden, atau Peraturan Pemerintah yang kemudian dapat diajukan sebagai materi Undang-undang yang baru.
Jilal Mardhani, 26 Maret 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H