Ibukota Jakarta
Sepanjang sejarah, selamanya Jakarta semakin runyam. Itu adalah fakta yang tak terbantahkan.
Mulai dari kantong-kantong pemukiman liar-lagi-kumuh yang menebar ke segenap pelosok kota, perluasan wilayah yang tak terkendali hingga merambah halaman tetangga, sampai soal kemacetan jalan raya yang semakin menjadi-jadi. Belum lagi soal sampah, banjir, anak jalanan, premanisme, kesenjangan rezeki, hingga ketidak pedulian satu dengan yang lain.
Semua itu merupakan konsekuensi dari salah urus yang berkepanjangan. Pemerintah kotanya, tak pernah memadai dalam mengantisipasi perkembangan. Baik dalam konteks mengakomodasi kesempatan dan peluang yang tersedia — maupun mengantisipasi serbuan para pengadu nasib yang ingin merengkuhnya. Bukan hanya pendatang yang miskin, berpendidikan rendah, dan tanpa keahlian. Tapi juga mereka yang menguasai kapital, cerdik, dan culas.
Jakarta memang menawan-tapi-pengap, bergelora-walaupun-jorok, serta perkasa-meski-bau.
Lengkap
***
Jokowi dan Ahok
Indonesia memang bukan Jakarta. Tapi hanya Jakarta-lah yang seolah-olah Indonesia.
Segala-galanya bermula, berkembang, dan bermuara di sana. Mulai dari kekuasaan pemerintah, pusat bisnis, pengendali modal, penggerak politik, hingga penggagas mode dan gaya hidup.
Lalu, Jakarta yang selalu bersolek menutupi kekumuhannya, sekonyong-konyong ingin berbenah serius. Tak lagi mengandalkan kosmetika. Sebab penataan ulang, telah menjadi keharusan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.