Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Birokrasi yang Pongah dan Musibah Lis Pratiwi

14 Maret 2017   03:15 Diperbarui: 14 Maret 2017   03:42 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat lama yang kakak kelas waktu kuliah dulu, mengirim tulisan seorang mantan mahasiswi yang menjadi korban birokrasi pendidikan. Sebelumnya beredar di group sosial media angkatannya (tulisan itu saya lampirkan pada bagian paling bawah).

Saya terkesima setelah membacanya dengan seksama.

Pertama, penulis agaknya memang layak mendapat predikat 'cum laude' dalam hal ilmu komunikasi yang ditekuni. Sebab, dia begitu runtun dan menyeluruh mengkomunikasikan 'musibah' --- istilah yang mungkin lebih sopan dibanding 'penderitaan' --- yang menimpanya.

Kedua, hal yang dikisahkan sungguh menggelitik nurani. Sebab, menggambarkan kekakuan birokrasi yang begitu pongah. Bukan terhadap tujuan tapi dalam hal administrasi yang sesungguhnya hanya berfungsi sebagai pelengkap atau penunjang. Di dunia ini, tak ada penyelesaian, penemuan, kemajuan, ataupun pemecahan masalah yang diselesaikan semata-mata karena administrasi. Ketertibannya memang penting dan harus dipelihara. Tapi substansi yang ditatanya jauh lebih penting. Itu sebab ilmu administrasi dituntut adaptif dan mampu segera menyesuaikan diri dengan perkembangan, kemajuan, maupun inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang melatar belakangi penyelesaian, penemuan, kemajuan, ataupun pemecahan masalah substansialnya.

Ketiga, kepongahan birokrasi terhadap ketentuan-ketentuan administratif yang kuno dan tidak lagi relevan dengan perkembangan jaman, sesungguhnya bisa jadi penghambat serius bagi segala upaya yang sedang dilakukan terhadap substansi pokok yang menjadi persoalan ataupun tantangan. Contoh sederhana adalah ketika kita menyikapi kemunculan angkutan online. 

Alih-alih merumus ulang ketentuan administrasi lama yang sudah tak mampu lagi mengakomodasi perkembangan, pemerintah dan berbagai pihak terkait yang sebelumnya tidur dan terlena hingga tak mengikuti gejolak jaman, sibuk mempertahankannya. Bahkan mencoba dengan cara-cara intimidatif dan setengah ngotot agar ketentuan lama dipatuhi inovasi yang disodor kemajuan teknologi digital itu. 

Seperti soal kir, pelat nomor kuning, lembaga yang sah mengajukan izin, kapasitas mesin, dan seterusnya. Tapi kita tahu, semua itu sia-sia. Laju usaha angkutan online yang didukung predator kapitalisme global terus berkembang pesat. Sementara usaha taksi konvensional yang sebelumnya coba membantah dan dilindungi sistem birokrasi kuno, semakin tertatih-tatih. Bahkan sebagian dari mereka akhirnya terpaksa gulung tikar. Kini cengkraman kapital dibalik bisnis angkutan online mulai mengambil alih 'kekuasaan' pasar. Inilah bukti nyata kepongahan birokrasi yang tak mau menyesuaikan, memperbaiki, ataupun memperbaharui tata administrasinya terhadap tuntutan jaman. Hal yang menyebabkan tudingan atas ketidak-hadiran negara semakin vokal.

***

Saya berasumsi seluruh informasi yang diterangkannya dengan baik dan jernih di bawah benar.

Maka Lis Pratiwi --- sarjana Fakultas Ilmu Komunikasi dari universitas negeri favorit yang katanya lulus 'cum laude' tapi tidak memenuhi syarat untuk diterima pada Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana karena keteledoran kampusnya mengurus administrasi akreditasi --- adalah sebuah musibah Nasional yang semestinya tak perlu terjadi dan pantas dihindari dengan mudah.

Betul, universitas negeri ternama yang meluluskan Lis Pratiwi telah teledor mengurus perpanjangan akreditasi program pendidikan yang diikutinya. Dia dinyatakan lulus (11 Agustus 2016) saat masa berlaku akreditasi sebelumnya kadaluwarsa (21 Juli 2011 – 21 Juli 2016) tapi sebelum akreditasi pembaruan diperoleh (24 November 2016 – 24 November 2021).

Tapi, bagaimana mungkin kita menyalahkan Lis Pratiwi? Sebab bukankah tugas dia semestinya hanyalah belajar, mengikuti kuliah, ujian, meraih kelulusan, mematuhi tata-tertib, dan menyelesaikan kewajiban administratifnya sebagai mahasiswi di sana? Seandainya dia tahu soal akreditasi yang kadaluarsa saat akan lulus kemarin, kemungkinan besar dan hampir pasti pihak perguruan tinggi yang bertanggung jawab mengurus, akan diingatkannya!

***

Berbeda dengan Lis, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) semestinya tidak demikian. Lembaga itu SEMESTINYA mengetahui kapan masa berlaku akreditasi yang diberikan pada kampus Lis berakhir. Maka --- jika benar lembaga pemerintah itu sungguh-sungguh ingin menghadirkan Negara di tengah masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla --- semestinya ia dapat proaktif MENGINGATKAN pengurus kampus tempat Lis Pratiwi kuliah untuk melengkapi persyaratan dan mengurusnya, bukan?

Tidak ada kesalahan --- apalagi keterhinaan --- sama sekali bagi BAN-PT untuk melakukan 'pelayanan' itu. Mungkin saja petugas administrasi di perguruan tinggi Lis disibukkan dengan aktifitas harian sehingga luput memperhatikan bahwa akreditasi program studinya yang berusia 5 TAHUN sudah menjelang kadaluarsa. Saya tak mengatakan mereka benar dengan keteledorannya. Tapi teori kerjasama 'produsen' dan 'konsumen' dalam tata kelola pelayanan (mangement service) sesungguhnya sudah jamak. Dalam prakteknya, pelayanan tersebut diharapkan dapat menjaga kepuasan pelanggan sehingga mereka tetap setia (loyal) dan lebih banyak mengkonsumsi/menggunakan layanan yang disediakan produsen.

Layanan pemerintah memang monopolistik. Demokratisasi hadir untuk menghindari kesemena-menaannya. Itu sebabnya berbagai gagasan perlindungan masyarakat berkembang. Sebagai konsumen, anak-anak, penganut kepercayaan, kelompok yang tidak beruntung secara ekonomi, penyandang cacat fisik ataupun mental, kaum minoritas, dan sebagainya.

Adalah terlalu berlebihan jika kealpaan mengurus perpanjangan akreditasi, lalu menerbitkan ijazah saat kadaluarsa seperti yang dialami Lis, kesalahannya begitu saja ditimpakan kepada pengurus universitas. Apalagi jika semua itu tidak disengaja.

Saya justru condong mencibir BAN-PT yang mestinya lebih peka terhadap masa kadaluarsa akreditas 'pelanggan-pelanggannya'. Sebab SEHARI-HARI tugas dan aktifitas mereka memang tentang hal itu. Apalagi dengan kemudahan sistem yang terkomputerisasi sekarang. Saya yakin BAN-PT juga memilikinya. Tapi mungkin tidak atau belum mampu menggunakan semestinya, ya?

Mungkinkah mereka mrnganggap kekuasaan dan kewenangannya sebagai suatu kemewahan, bukan kewajiban?

Saya tak tahu.

***

Musibah Lis Pratiwi memberikan banyak pelajaran kepada bangsa kita yang sedang berbenah karena ingin sungguh-sungguh menghadirkan negara di tengah masyarakatnya. Cita-cita itu tak mungkin tercapai hanya melalui iktikad pemimpin tertinggi republik ini. Tapi semua pihak harus menyadari dan melakoni proses perubahan (transformasi) yang bersungguh-sungguh.

***

Untuk menjamin ketaatan pada tata kelola administrasi yang disepakati, kita memang menggunakan undang-undang dan segala aturan turunannya sebagai dasar hukum. Tapi janganlah terlalu berlebih mendewakannya hingga membutakan mata hati dan fikiran kita tentang kebutuhan aktual yang memudahkan serta memberikan manfaat dan kebaikan lebih besar bagi semua. Faktanya berbagai produk hukum dan peraturan memang sering tertinggal beberapa langkah di belakang perkembangan dan kemajuan yang terjadi.

Jika cerita yang dikisahkan Lis Pratiwi di bawah benar maka seeungguhnya kita semua yang merugi.

.

----------

Catatan (Tulisan Lis Pratiwi)

Tanggal 11 Agustus 2016 merupakan salah satu hari bersejarah dalam hidup saya. Di tanggal tersebut, secara resmi saya dinyatakan lulus sebagai sarjana dengan predikat “Pujian” (cum laude) dari salah satu Fakultas Ilmu Komunikasi terbaik se-Indonesia di salah satu universitas negeri favorit. Dengan penuh haru saya mengabarkan orangtua saya lewat telepon, yang dibalas dengan untaian doa untuk kesuksesan saya di masa depan. Tanggal ini pula yang akhirnya tertera di ijazah saya sebagai waktu resmi pengeluarannya.

Tujuh bulan kemudian, tepatnya tanggal 10 Maret 2017, secara resmi pula saya dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan gugur dalam tahap Pemeriksaan Administrasi Akhir (Rikmin Akhir) seleksi Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPSS) T.A. 2017. SIPSS adalah program seleksi menjadi anggota Polri bagi sarjana dengan jurusan sesuai yang dibutuhkan.

Untuk mencapai tahap Rikmin Akhir, saya telah lulus berbagai seleksi mulai dari Administrasi Awal, Pemeriksaan Kesehatan I, Psikotes, Pemeriksaan Kesehatan II, hingga Tes Penelusuran Mental Kepribadian (PMK). Ditambah seleksi untuk masuk kepolisian sangat rumit. Dari 258 peserta tingkat Polda Metro Jaya, hanya tersisa 73 orang, 12 di antaranya adalah perempuan. Ditambah besok, tanggal 11 Maret adalah pengumuman Pantukhir tingkat Polda dan saya memiliki kesempatan untuk masuk dengan nilai yang saya dapat dan satu-satunya perempuan dari jurusan saya yang tersisa. Namun, langkah saya terhenti. Bahkan menjadi satu-satunya peserta yang gugur dalam tahap ini.

Alasannya, karena berdasarkan tanggal dalam ijazah saya, prodi yang tertera dalam ijazah tersebut dinilai tidak terakreditasi. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa hal ini didasarkan pada tanggal dalam ijazah saya. Dalam pendaftaran anggota Polri, salah satu berkas yang harus dikumpulkan adalah ijazah sarjana yang dilengkapi dengan sertifikat akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), dan di sinilah masalah tersebut terjadi.

BAN-PT sebagai satu-satunya lembaga akreditasi yang disahkan negara mengeluarkan sebuah sertifikat untuk mengukur kualitas dan tingkat tata kelola lembaga pendidikan maupun prodi. Selain berisi hasil akreditasi juga tertera masa berlaku akreditasi tersebut yakni selama lima tahun. Untuk memperpanjang masa akreditasi, maka lembaga pendidikan atau prodi harus melakukan pengajuan ke pihak BAN-PT.

Akreditasi ini sangat penting sebagai bentuk pengakuan publik akan lembaga atau prodi tersebut. Awalnya dalam pengumpulan berkas saya melampirkan sertifikat akreditasi yang berlaku saat ini. Tetapi ternyata sertifikat yang berlaku harus disesuaikan dengan tanggal dikeluarkannya ijazah. Itu berarti, saya harus melampirkan sertifikat akreditasi dari BAN-PT yang mencakup tanggal 11 Agustus 2016 di dalamnya.

Sayangnya, sertifikat akreditasi yang dikeluarkan untuk prodi saya berlaku sejak tanggal 21 Juli 2011 – 21 Juli 2016, dan sertifikat yang baru berlaku mulai 24 November 2016 – 24 November 2021. Hal ini berarti tanggal ijazah saya dikeluarkan tidak tertera dalam sertifikat akreditasi manapun karena terjadi jeda akreditasi antara tanggal 22 Juli 2016 – 23 November 2016. Menurut panitia Polda dan pihak BAN-PT, universitas seharusnya tidak boleh menerbitkan ijazah pada masa jeda akreditasi karena akan merugikan mahasiswa. Namun, ijazah sudah dikeluarkan dan tidak mungkin diubah atau dicetak ulang.

Agar dapat tetap mendaftar, panitia meminta saya untuk melampirkan kedua sertifikat akreditasi yang berlaku sebelum dan setelah tanggal kelulusan saya, ditambah salinan surat penyerahan borang dari universitas ke pihak BAN-PT. Borang yang dimaksud adalah formulir dan berkas-berkas kelengkapan yang diberikan universitas atau prodi ke BAN-PT untuk proses mengajukan atau memperpanjang akreditasi.

Saya pun berusaha meminta ke fakultas saya dan diberikan surat keterangan bahwa benar pada tanggal kelulusan saya sedang proses re-akreditasi prodi. Surat tersebut kemudian diteruskan ke BAN-PT dan dibuatkan keterangan lain bahwa BAN-PT pun membenarkan adanya proses tersebut. Ternyata, kedua surat tersebut salah menurut panitia. Surat yang dilampirkan haruslah surat salinan tanda terima asli yang memuat tanggal penyerahan borang tersebut.

Setelah susah payah mendapatkan surat yang diminta langsung dari BAN-PT, saya mendapatkan fakta mengejutkan lain. Dalam surat tersebut, akan diteliti dan disesuaikan pula antara tanggal penyerahan borang dengan peraturan yang berlaku, yakni tidak boleh kurang dari enam bulan sebelum masa akreditasi berakhir. Ternyata, borang untuk perpanjangan akreditasi prodi saya baru diajukan tanggal 7 Juni 2016, hanya sebulan sebelum masa berlaku akreditasi berakhir yakni pada 21 Juli 2016. Dengan kata lain, universitas saya dinilai melanggar aturan.

Dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi RI Nomor 32 Tahun 2016 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi, pasal 47 ayat 2 dan 3 disebutkan:

(2) Pemimpin Perguruan Tinggi wajib mengajukan permohonan akreditasi ulang paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi berakhir.

(3) Dalam hal LAM dan/atau BAN-PT belum menerbitkan akreditasi berdasarkan permohonan akreditasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), status akreditasi dan peringkat terakreditasi Program Studi dan/atau Perguruan Tinggi sebelumnya tetap berlaku.

Sayangnya, pasal 3 tersebut hanya berlaku jika pasal 2 terpenuhi. Karena prodi saya menyerahkan borang kurang dari 6 bulan sebelum akreditasi berakhir, maka berdasarkan keputusan BAN-PT dan panitia seleksi, prodi yang tertera pada ijazah saya dinyatakan tidak memiliki akreditasi dan saya tidak memenuhi syarat.

Hal ini menimbulkan satu pertanyaan penting bagi saya, “Jika saya gugur karena administrasi saya dinilai tidak lengkap, itu berarti saya bukan hanya gagal tahun ini, tetapi saya tidak akan pernah bisa daftar anggota Polri untuk selamanya?” dan jawaban pihak kepolisian dan BAN-PT adalah “YA”.

Hal ini merupakan syarat wajib mendaftar sebagai polisi. Karena kendati lulus dan telah menjadi anggota syarat tersebut akan kembali dilampirkan untuk administrasi kenaikan pangkat/jabatan. Saya pun mendapat cerita bahwa sebelumnya ada anggota Polri yang mendapatkan kasus seperti saya, yakni ijazahnya terbit saat jeda akreditasi ditambah serah terima borang untuk akreditasi berikutnya dilakukan kurang dari enam bulan. Polisi tersebut akhirnya menempuh jalur hukum dan menuntut kampusnya sendiri.

Yang lebih parah, tidak hanya institusi sekelas Polri yang mengajukan syarat administrasi seperti itu. Institusi lain seperti TNI, PNS, dan BUMN juga benar-benar melihat kesesuaian antara tanggal dikeluarkannya ijazah dengan sertifikat akreditasi yang berlaku. Ditambah jeda akreditasi tersebut berlangsung lebih dari satu periode antara wisuda bulan Agustus dengan wisuda bulan November, yang menurut perhitungan saya kurang lebih seluruh mahasiswa prodi saya yang wisuda pada bulan November 2016 mengalami masalah yang sama, dan jumlahnya mencapai 100 orang. Itu berarti saya dan teman-teman saya tersebut kehilangan kesempatan yang sangat banyak dan mengalami kerugian yang sangat besar.

Bayangkan saja, ijazah sebagai bukti resmi menempuh pendidikan tinggi dinilai tidak memenuhi syarat dan prodinya dianggap tidak terakreditasi oleh institusi tertentu. Padahal saya menempun pendidikan secara resmi seperti mahasiswa lain, namun tidak mendapatkan hak yang setara. Solusi untuk masalah ini pun sangat sulit karena ijazah hanya bisa terbit sekali dan sertifikat akreditasi dari BAN-PT juga sudah dikeluarkan.

Salah satu staff BAN-PT mengatakan bahwa satu-satunya solusi adalah saya harus kuliah lagi sehingga ijazah terakhir yang digunakan adalah ijazah terbaru yang sesuai sertifikat akreditasi yang berlaku. Saya bahkan tidak ingin berkomentar lebih akan solusi ini.

Saya juga sudah berbicara kepada pihak fakultas dan prodi namun masih belum menemukan solusinya. Segera saya akan mengajukan permohonan audiensi dengan pihak universitas agar mendapat penjelasan lebih lengkap. Jujur saja sekarang saya masih bingung bagaimana cara menyikapi kejadian ini. Saya ingin ikhlas, tetapi kerugian saya terlampau besar. Namun saya juga tidak ingin menuntut secara hukum karena saya sangat menghormati almamater saya. Intinya dalam kasus ini, tidak ada pihak yang ingin disalahkan, namun jelas siapa pihak yang dirugikan.

Alasan saya menulis kejadian ini karena saya yakin banyak yang belum paham dan tidak sadar akan hal tersebut, baik tingkat civitas akademika terlebih para mahasiswa. Perlu diperhatikan bahwa fokus akreditasi bukan hanya untuk mendapatkan angka yang tinggi, tetapi juga mematuhi peraturan yang ada agar akreditasi tersebut dapat diterima dan penerapannya adil bagi semua mahasiswa. Hal ini perlu mendapat perhatian dari para petinggi lembaga pendidikan agar di kemudian hari kejadian seperti ini tidak terulang di universitas manapun.

Untuk saat ini saya terima jika saya gugur seleksi SIPSS karena alasan tersebut, meskipun bukan kesalahan saya. Saya ikhlas dan percaya jika Tuhan menyiapkan rencana yang lebih baik untuk saya, sebaik doa-doa yang diucapkan orangtua saya. Saya juga tidak tahu bagaimana cara meminta maaf kepada orangtua saya karena mengecewakan mereka. Sejak saya SMA, Bapak ingin saya menjadi polisi, tetapi lewat jalur sarjana. Dan sekarang setelah lulus kuliah, kesempatan saya menjadi polisi justru dinilai hilang karena kelalaian administrasi kampus.

Kejadian ini lebih dari sekadar saya gagal diterima di sebuah institusi pemerintah, tetapi banyaknya kesempatan besar yang hilang dan usaha saya kuliah selama bertahun-tahun di prodi unggulan nyatanya tidak dapat diakui dalam ijazah. Untuk itu saya masih akan terus mencari solusi terbaik untuk permasalahan tersebut. Sebab hal ini menyangkut beberapa lembaga penting dan suatu sistem yang perlu diperbaiki.

Jadi bagi Anda yang membaca tulisan ini, silahkan cek lagi apakah akreditasi prodi dalam ijazah Anda dapat diakui oleh semua institusi?

Tertanda,

Lis Pratiwi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun