Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kesetaraan Gender, PPh 21, dan Proses Transformasi

20 Oktober 2016   14:41 Diperbarui: 1 Agustus 2017   14:54 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya dan tradisi yang berkembang umum di tengah masyarakat kita telah menempatkan pria sebagai kepala keluarga mutlak. Hal tersebut ditegaskan pada Kartu Keluarga yang digunakan pada sistem administrasi kependudukan. Juga pada rincian ketentuan PPh 21. Dalam hal ini, kepala keluarga seolah disinonimkan dengan pria, dan hanya pendapatan suami-lah yang dapat serta-merta mengakui fasilitas pembebasan pajak sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Di sisi lain, jika sebaliknya, wanita yang menafkahi suami dan anak-anak harus terlebih dahulu mengurus surat keterangan dari instansi resmi — meski cukup pada tingkat kecamatan sekalipun — untuk mendapatkan fasilitas yang sama.

***

Issue ketidak-setaraan gender sesungguhnya sama pelik dengan permasalahan lain yang sedang kita upayakan keluar daripadanya. Seperti juga soal budaya Pungli dan KKN.

Perubahan tidak mungkin terjadi hanya melalui mimpi dan doa-doa. Tapi harus diupayakan dengan cara dan pendekatan yang terus-menerus diperbaiki dan disempurnakan. Melalui sebuah proses transformasi yang dirancang khusus, bertahap dan berkesinambungan, hingga mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Ada satu hal yang penting untuk menjamin perwujudannya : kesediaan dan keikhlasan kita membongkar yang usang, ketinggalan zaman, dan sudah tidak sesuai lagi. Bukan hanya konstitusi dan berbagai ketentuan hukum maupun aturan formal, tapi juga budaya dan tradisi.

Bukankah tatacara pemilihan Presiden, Kepala Daerah, dan Wakil Rakyat pernah kita ubah dari musyawarah mufakat menjadi suara terbanyak rakyat yang memilih langsung?

Jadi, sungguhkah kita mengidamkan perubahan-perubahan itu, termasuk kesetaraan gender?      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun