Senin, 17 Oktober 2016 lalu, United Nation Information Center (UNIC) menyelenggarakan diskusi bersama sejumlah tokoh pria membicarakan kesetaraan gender di kantor mereka. Saya mengikut bagian dari seri dialog Nelson Mandela yang bertajuk “HeForShe” itu bersama 22 beragam tokoh lainnya, baik dari kalangan diplomat, pemimpin media, jurnalis, aktivis, pengusaha, birokrat, penegak hukum, dan akademisi.
Semua membicarakan berbagai pengalaman, pemikiran, maupun gagasan untuk keberhasilan kesetaraan gender di Indonesia. Tiga sasaran strategis yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terhadap issue ini juga menjadi bagian menarik dari diskusi mulai pagi hingga siang itu, yaitu meningkatkan peran dan keterlibatan kelompok wanita aktif dalam tingkat pengambil keputusan hingga 30 persen, mengurangi tingkat resiko kematian pada proses melahirkan, dan menghentikan kekerasan terhadap kaum hawa tersebut.
***
Kesetaraan gender tak terlepas dari kebudayaan dan tradisi yang berkembang di masyarakat. Hal yang sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh sistem keimanan (agama dan kepercayaan) maupun sistem nilai yang dianut masyarakatnya.
Soal keimanan dan sistem nilai yang dianut sesungguhnya bagian dari ‘teritorial’ keluarga. Walau bersifat privat, keduanya memiliki kemungkinan abadi untuk berkembang sejalan dengan zamannya masing-masing. Meski peluang koreksi, penyempurnaan, atau bahkan pencerahan yang mengantar pada sebuah ‘revolusi’ senantiasa terbuka — seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman masing-masing — pergeseran keimanan dan sistem nilai memang tidak akan terjadi serta-merta. Melainkan melalui sebuah proses panjang yang berliku dan senantiasa saling tarik-menarik. Sebab, hal tersebut terkait erat dengan kemapanan budaya dan tradisi yang telah berkembang dan dianut masyarakatnya. Ruang berkumpulnya individu keluarga bergaul dan berinteraksi satu dengan yang lain.
Teritorial pemerintahan negara kemudian hadir untuk menyelaraskan sekaligus mengembangkan dan memelihara ketertiban masyarakatnya. Asal mula dari sistem konstitusi dan landasan hukum yang menjadi dasar formal kehidupan dan kebersamaan di wilayah yang dikuasai dan dimiliki bersama.
Walaupun begitu, hendaklah pemahaman dan kesadaran kita tentang asal mula konstitusi dan produk-produk hukum yang hadir dan berkembang, tidak pernah mengabaikan — apalagi melupakan — ibu kandungnya : sistem keimanan dan sistem nilai yang dianut masing-masing keluarga yang menjadi anggota masyarakatnya.
***
Ketentuan mengenai pajak penghasilan yang lebih dikenal sebagai PPh 21 hanyalah salah satunya. Di sana, sedemikian rupa kaum pria dan wanita telah ditempatkan secara tidak sejajar. Asimetris. Sebab, seorang wanita yang bekerja tidak bisa serta merta mengakui tanggungan (suami dan anak-anak) sebagai fasilitas yang membebaskannya dari kewajiban pajak. Meskipun suaminya tidak bekerja.
Fasilitas itu biasa diistilahkan sebagai pendapatan tetap tidak kena pajak (PTKP). Pemerintah selalu memperbaharui nilainya. Tahun ini, PTKP untuk seorang tanggungan adalah Rp 4.500.000. Artinya, seorang suami yang memiliki seorang istri dan 3 orang anak (maksimal), sebesar Rp 72.000.000 dari pendapatan setahunnya tidak dikenakan pajak. Angka tersebut didapat dari Rp 54.000.000 (PTKP yang bersangkutan atas penghasilan yang diperolehnya) ditambah 4 kali Rp 4.500.000 untuk menanggung seorang istri dan 3 anak.
Sehingga, jika pendapatan kotornya dalam setahun hanya Rp 100.000.000 maka PPh 21 Orang Pribadi yang harus dibayar kepada negara hanya Rp 1.400.000. Angka tersebut didapat dari 5% tarif PPh untuk nilai Rp 50 juta ke bawah, dikalikan jumlah pendapatan kena pajaknya yang sebesar Rp 100.000.000 dikurang Rp 72.000.000, atau sama dengan Rp 28.000.000.
Budaya dan tradisi yang berkembang umum di tengah masyarakat kita telah menempatkan pria sebagai kepala keluarga mutlak. Hal tersebut ditegaskan pada Kartu Keluarga yang digunakan pada sistem administrasi kependudukan. Juga pada rincian ketentuan PPh 21. Dalam hal ini, kepala keluarga seolah disinonimkan dengan pria, dan hanya pendapatan suami-lah yang dapat serta-merta mengakui fasilitas pembebasan pajak sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Di sisi lain, jika sebaliknya, wanita yang menafkahi suami dan anak-anak harus terlebih dahulu mengurus surat keterangan dari instansi resmi — meski cukup pada tingkat kecamatan sekalipun — untuk mendapatkan fasilitas yang sama.
***
Issue ketidak-setaraan gender sesungguhnya sama pelik dengan permasalahan lain yang sedang kita upayakan keluar daripadanya. Seperti juga soal budaya Pungli dan KKN.
Perubahan tidak mungkin terjadi hanya melalui mimpi dan doa-doa. Tapi harus diupayakan dengan cara dan pendekatan yang terus-menerus diperbaiki dan disempurnakan. Melalui sebuah proses transformasi yang dirancang khusus, bertahap dan berkesinambungan, hingga mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Ada satu hal yang penting untuk menjamin perwujudannya : kesediaan dan keikhlasan kita membongkar yang usang, ketinggalan zaman, dan sudah tidak sesuai lagi. Bukan hanya konstitusi dan berbagai ketentuan hukum maupun aturan formal, tapi juga budaya dan tradisi.
Bukankah tatacara pemilihan Presiden, Kepala Daerah, dan Wakil Rakyat pernah kita ubah dari musyawarah mufakat menjadi suara terbanyak rakyat yang memilih langsung?
Jadi, sungguhkah kita mengidamkan perubahan-perubahan itu, termasuk kesetaraan gender?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H