Budaya dan tradisi yang berkembang umum di tengah masyarakat kita telah menempatkan pria sebagai kepala keluarga mutlak. Hal tersebut ditegaskan pada Kartu Keluarga yang digunakan pada sistem administrasi kependudukan. Juga pada rincian ketentuan PPh 21. Dalam hal ini, kepala keluarga seolah disinonimkan dengan pria, dan hanya pendapatan suami-lah yang dapat serta-merta mengakui fasilitas pembebasan pajak sesuai dengan jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Di sisi lain, jika sebaliknya, wanita yang menafkahi suami dan anak-anak harus terlebih dahulu mengurus surat keterangan dari instansi resmi — meski cukup pada tingkat kecamatan sekalipun — untuk mendapatkan fasilitas yang sama.
***
Issue ketidak-setaraan gender sesungguhnya sama pelik dengan permasalahan lain yang sedang kita upayakan keluar daripadanya. Seperti juga soal budaya Pungli dan KKN.
Perubahan tidak mungkin terjadi hanya melalui mimpi dan doa-doa. Tapi harus diupayakan dengan cara dan pendekatan yang terus-menerus diperbaiki dan disempurnakan. Melalui sebuah proses transformasi yang dirancang khusus, bertahap dan berkesinambungan, hingga mencapai tujuan yang dicita-citakan.
Ada satu hal yang penting untuk menjamin perwujudannya : kesediaan dan keikhlasan kita membongkar yang usang, ketinggalan zaman, dan sudah tidak sesuai lagi. Bukan hanya konstitusi dan berbagai ketentuan hukum maupun aturan formal, tapi juga budaya dan tradisi.
Bukankah tatacara pemilihan Presiden, Kepala Daerah, dan Wakil Rakyat pernah kita ubah dari musyawarah mufakat menjadi suara terbanyak rakyat yang memilih langsung?
Jadi, sungguhkah kita mengidamkan perubahan-perubahan itu, termasuk kesetaraan gender?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H