Mohon tunggu...
Jilal Mardhani
Jilal Mardhani Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

“Dalam kehidupan ini, selalu ada hal-hal masa lampau yang perlu kita ikhlaskan kepergiannya.”

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Budi Karya dan Operasi Tangkap Tangan: Efektivitas Proses Transformasi

13 Oktober 2016   08:07 Diperbarui: 13 Oktober 2016   16:47 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Perhubungan Budi Karya (dokumentasi MBM Tempo)

Operasi tangkap tangan merupakan salah satu ciri khas KPK mengungkap berbagai kasus tindak pidana korupsi selama ini. Sedemikian seringnya sehingga bukan lagi hal baru dan istimewa. Pihak yang terlibat dan tertangkap basah pun tak main-main. Telah berderet nama pejabat teras yang diciduknya. Bahkan beberapa minggu lalu 'Senator' Sumatera Barat yang juga menjabat Ketua Dewan Perwakilan Daerah tersangkut.

Selasa 11-10-2016 siang kemarin, operasi tangkap tangan kembali terjadi. Tapi bukan oleh petugas KPK. Melainkan polisi. 

Budi Karya — Menteri Perhubungan yang baru beberapa waktu lalu menggantikan Ignasius Jonan — mengatakan sejak bulan lalu telah mencium indikasi praktek kotor. Lalu melakukan penelitian dan penyelidikan sehingga berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang cukup.

Pertanyaannya adalah, mengapa Menteri Perhubungan harus menggunakan 'tangan' pihak lain (Kepolisian, red)? 

Kita maklum sekaligus prihatin, tindakan korupsi-kolusi-nepotisme di jajaran birokrasi Indonesia hampir mendarah-daging dan seperti budaya yang dianggap wajar dan semestinya. Banyak yang tak malu melakukan perbuatan itu. Meski ancaman penangkapan seperti yang diperlihatkan KPK selama ini sudah nyata-nyata menyebar. Sedemikian rupa biadabnya sehingga di tengah masyarakat sering beredar sindiran bahwa di kalangan pelakunya, tertangkap hanyalah nasib sial. Suap-menyuap adalah peruntungan. Dinamakan rezeki yang berkah jika berhasil dan lolos dari jerat hukum. Layaknya bermain judi di kasino. Jika apes maka hal yang dipertaruhkan akan amblas.

Maka tantangan paling berat bagi Joko Widodo-Jusuf Kalla beserta siapapun yang memimpin institusi/lembaga pemerintahan yang membantunya adalah mentransformasikan prilaku dan kebiasaan buruk jajaran birokrasi kepada budaya kerja yang melayani kepentingan negara dan masyarakat luas. Hal yang menjadi tekad dan ajakan mereka sejak pertama kali resmi diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Budi Karya pun pasti menghadapinya. Budaya warisan Orde Baru yang hampir menjadi keimanan itu memang masih langgeng di kalangan birokrasi yang dipimpinnya. Bentuk dan cara prakteknya memang berevolusi. Menyesuaikan dengan kondisi dan situasi sekarang. Intinya, suap-menyuap, korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap berlangsung.

Budi Karya — sebagaimana para menteri dan pimpinan lembaga negara lain yang diamanahkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla untuk membantu —  juga ditugaskan untuk meningkatkan profesionalitas jajarannya, mengembangkan dan menanam budaya kerja melayani kepentingan bangsa, dan tidak melakukan tindakan lancung maupun hal-hal tidak terpuji lain.

Governance atau tata kelola lembaga yang dipimpin agar sejalan dengan amanah tersebut tentu perlu dirancang, dikembangkan, dilaksanakan, diawasi, diperbaharui, dan terus-menerus disempurnakan. Hampir semua birokrasi Indonesia memiliki seluruh komponen organisasi yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi itu. Maka, jika penyimpangan yang disengaja masih terjadi — hal-hal yang telah digariskan masih dilanggar atau kepercayaan yang diberikan masih dikhianati — semestinya ada bagian dari organisasi yang bertugas untuk menegur bahkan menghukumnya dengan berbagai sanksi yang disediakan. Mulai dari pencopotan jabatan, turun pangkat, pemecatan, hingga mempidanakannya. 

Lalu, mengapa kecurigaan praktek suap-menyuap yang katanya sudah diteliti dan diselidik hingga mengumpulkan bukti yang cukup itu 'perlu' diserahkan pada pihak lain — dalam hal ini Bareskrim Polri — secara dramatis melalui operasi tangkap tangan yang dipertontonkam itu?

Bukankah dengan bukti yang katanya cukup, organisasi kementerian yang dipimpin Budi Karya telah dapat bertindak semestinya? Termasuk melanjutkan proses hukum terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan menyerahkannya kepada aparat yang berwenang?

Drama penangkapan yang diberitakan  — sehingga sorenya Presiden Joko Widodo perlu mengunjungi Departemen yang dipimpin Budi Karya itu — menyisakan pertanyaan, apa sesungguhnya yang ingin dikabarkan atau dicitrakan?

***

Seorang pemimpin terpilih tentu disertai dengan sejumlah pertimbangan istimewa tentang kemampuan dan kepiawaiannya untuk mengatasi permasalahan, mencapai sasaran yang ditetapkan, serta mewujudkan tujuan sesuai cita-cita yang diangankan pihak yang memilih dan mengangkatnya. Tapi, walau bagaimanapun, pemimpin tersebut juga dituntut mampu mengerahkan dan memberdayakan seluruh sumberdayanya sehingga bahu-membahu melaksanakan semua amanah yang tak mungkin mampu dikerjakan sendiri olehnya.

Maka, seorang pemimpin — sebagaimana pula seluruh jajaran organisasinya — juga memiliki hak dan wewenang agar tugas dan tanggung-jawab yang diserahkan dapat terlaksana dengan baik. Ia berhak menuntut sumberdaya dan fasilitas pendukung sesuai dengan kapasitas standar yang dibutuhkan. Artinya, jika yang tersedia maupun diberikan tidak mencukupi persyaratan minimal maka idealnya ia berhak untuk mengundurkan diri, meletakkan jabatan, dan mengembalikan mandat yang diberikan. 

Di sisi lain, jika ada bagian dari organisasinya yang tidak mampu memenuhi kualifikasi dan kapasitas yang disyaratkan, maka seorang pemimpin berhak untuk mengganti, mencopot,  bahkan memecatnya. 

Bagaimana jika sumberdaya internal tidak tersedia?

***

Sumberdaya manusia yang handal dan mumpuni adalah syarat perlu yang mutlak pada organisasi apapun di dunia ini. Persoalan kita adalah pada dasar hukum dan ketentuan-ketentuan yang menyangkut kepegawaian. Soal status, hak, maupun kewajibannya. Sedemikian rupa sehingga menjadi bunker perlindungan yang aman bagi mereka yang sesungguhnya tidak memenuhi kualifikasi dan tuntutan kinerja yang diharapkan.

Kita sering mendengar 'pemindahan' atau 'pencopotan jabatan' sebagai salah satu bentuk sanksi hukuman bagi pegawai yang 'bermasalah' di lingkungan pemerintahan. Hampir tidak ada yang dipecat kecuali tersangkut masalah pidana. 

Kinerja? 

Sampai saat ini hal tersebut sesungguhnya masih kurang dihiraukan di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN). Perhatian pada soal tersebut masih sangat partial, tidak menyeluruh, sekedar pembenaran terhadap hak pada fasilitas dan tunjangan yang harus ditanggung negara, dan hanya semakin melembagakan birokrasi aparatur / kepegawaian yang ada. Soal mengapa dan bagaimana kinerja (performance) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang dibebankan masih diatur dan ditetapkan dengan sangat normatif. 

Singkat kata, bagi sebagian kalangan, status pegawai negeri sipil adalah anugerah istimewa. Setidaknya menyangkut hak atas gaji pokok, fasilitas, jaminan pensiun dan hari tua. Semua itu hampir dipastikan tak terusik sepanjang yang bersangkutan 'duduk manis' dan 'tidak bertingkah'. Kecuali terlibat atau melakukan hal yang nyata-nyata larangannya tercantum pada undang-undang dan berbagai aturan yang ada. Tindak pidana dan terlibat partai politik adalah 2 hal yang utama.

Kegamangan negara bersikap soal kinerja menyebabkan lahirnya berbagai ketentuan fasilitas tunjangan bagi jabatan dan penugasan yang diberikan. Semakin konyol karena nilainya jauh lebih besar dibanding gaji pokok yang diterima. Arti dari sistem fasilitas tunjangan itu adalah — pada serombongan pegawai yang tak perlu bersusah payah meraih kinerja untuk mempertahankan gaji dan fasilitas pokok yang menjadi haknya — terdapat sejumlah pegawai yang 'diharapkan lebih' melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Maka jabatan pun menjadi 'perdagangan' tersendiri yang menggiurkan. Termasuk 'bagaimana dan cara' mempertahankannya. Disanalah benih korupsi, kolusi, dan nepotisme berawal. Lalu 'mendaya gunakan' kekuasaan pada jabatan untuk 'biaya memperoleh dan mempertahankan' jabatan itu sendiri , menemukan logika 'pembenaran'-nya.

Maka menjadi bagian dari aparatur sipil negara dikenal luas sebagai sesuatu yang 'tak mudah dimasuki'. Tapi setelah itu, setiap anggota korps pegawai negeri juga memiliki keistimewaan (privileges) sehingga 'tak mudah dikeluarkan'.

***

Reformasi total terhadap sistem kepegawaian di lembaga-lembaga pemerintah adalah hal yang niscaya. Kesempatan berkarya untuk melayani kepentingan bangsa seharusnya tidak lagi dipertahankan sebagai hak prerogatif mereka yang telah terdaftar dan memiliki nomor pokok pegawai. Nyatakan bahwa semua itu bukan jaminan. Setiap saat — sesuai dengan tuntutan kinerja dan perkembangan zaman — status kepegawaiannya dapat dicabut. Sebaliknya — siapapun yang memenuhi kualifikasi  yang dibutuhkan dan dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsi yang ditetapkan — memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan mereka yang selama ini sudah terdaftar di sana.

Mereka yang kini sudah terdaftar dan bekerja pada institusi pemerintahan tentu memiliki kesempatan pertama untuk mempertahankan karirnya. Tapi bukan jaminan jika kalah bersaing dengan yang dari luar lingkungan mereka. 

Dengan demikian, renumerasi Aparatur Sipil Negara dapat disusun secara terukur dan bertanggung jawab. Penyingkiran terhadap mereka yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi dapat dilaksanakan. Sebab, segala sesuatu memang diukur dari indikator kinerja kunci (key performance indicators) yang ditetapkan.

Persoalannya, organisasi pemerintah yang sesungguhnya berfungsi mewakili negara untuk melayani masyarakat itu harus mampu merumuskan 'tingkat pelayanan standar' yang wajib dipenuhinya (level of services agreement). Sebab, pada kesepakatan yang terukur itulah dasar penetapan capaian kinerja aparat pemerintah dapat dicermati secara obyektif.

***

Budi Karya — sebagaimana pemimpin-pemimpin lembaga negara lainnya — juga mewarisi kekacauan sistem organisasi dan sumberdaya manusia yang telah berlangsung sejak republik ini merdeka. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindarinya. Sebaliknya, ia harus terlibat aktif membenahi sekaligus mengawal proses transformasi seluruh organisasi di departemennya untuk meyakini dan melakoni budaya kerja yang dicita-citakan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Transformasi merupakan proses bertahap yang perlu dan harus dilalui untuk menuju keadaan yang dicita-citakan. Sebab, perubahan kebiasaan, prilaku, dan 'adat istiadat' sangat sulit — bahkan tak mungkin — terjadi seketika. Deviasi (penyimpangan) tentunya hal yang lazim. Sebab, tidak semua komponen yang terlibat memiliki tekad, pemahaman, dan kemampuan yang sama dan sempurna. Justru disanalah perlunya kehadiran dan peran seorang pemimpin. Mulai dari memberikan tauladan, mengayomi, mendampingi, memotivasi, mengarahkan, mendengarkan, menegaskan, dan seterusnya, hingga 'menjaga' dan 'melindungi' tekad, semangat, serta keyakinan jajarannya melakoni proses tranformasi itu. Tujuannya agar deviasi atau penyimpangan dari sasaran-sasaran yang dicanangkan terjadi seminim mungkin dan masih dalam batas-batas toleransi yang ditetapkan.

Pada oganisasi yang melakukan transformasi selalu saja ada yang meragukan tekad dan keyakinan terhadap perubahan yang didambakan. 

Ada yang menganggapnya omong kosong sehingga cara dan kebiasaan lama tetap dilakoni. Mereka mempertahankan prilaku tak semestinya dengan menyesuaikan diri pada kebijakan dan tata cara baru yang sesungguhnya dirancang agar praktek-praktek lancung sebelumnya tak berlangsung lagi.

Ada pula yang ragu

Bagaimana jika nanti pimpinan dan rezim berganti? Apakah berbagai perubahan yang dilakukan saat ini tetap bertahan? Tidakkah nanti akan kembali pada situasi yang lama? Jika demikian, bukankah nanti dirinya akan teraliniasi dari yang lain? Bagaimana nasib mereka kelak jika rezim kepemimpinan yang baru nanti kembali pada budaya yang lama?

Maka keraguan demikian pada akhirnya akan mempengaruhi kesungguhan kelompok ini melaksanakan proses transformasi yang dilakukan. Budi Karya akan kesulitan untuk berharap mereka berdiri pada barisan terdepan. Sebab mereka cenderung memilih posisi 'penggembira' semata.

Pada kedua kelompok inilah kekhawatiran efektifitas cara pengungkapan praktek pungli dengan menggunakan 'tangan' aparat kepolisian yang dilakukan Menteri Budi Karya kemarin. Niat baik dan bekerja jujur saja memang tak cukup. Tapi juga diperlukan kecerdasan dan hati. Bahkan cinta yang tulus (love and passion) merupakan syarat pertama dan utama. Sebab, organisasi yang dipimpin adalah keluarganya juga.

Saya memang tak memiliki data akurat tentang jumlah kelompok pertama (mereka yang tidak ingin berubah), kelompok kedua (mereka yang meragukan), dan kelompok ketiga (mereka yang percaya dan setuju dengan perubahan) di lingkungan Departemen Perhubungan maupun institusi birokrasi lainnya. Tapi sangat mungkin keberadaan 2 kelompok pertama cukup — bahkan mungkin sangat — dominan dibandingkan yang terakhir. 

***

Proses transformasi merupakan pekerjaan rumah Joko Widodo dan Jusuf Kalla beserta seluruh jajarannya jika sungguh-sungguh menginginkan budaya kerja mewujud di lingkungan birokrasinya. Change management atau ‘pengelolaan perubahan’ merupakan hal strategis yang harus dilakoni agar revolusi mental yang dicanangkan berlangsung efektif.

Jadi, transformasi dan change management memang bukan urusan Budi Karya semata. Tapi juga seluruh menteri dan pimpinan tertinggi institusi-institusi pemerintahan yang berada di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Saya tak tahu apakah para menteri dan pimpinan lembaga-lembaga pemerintah sekarang mempunyai agenda rutin untuk bertukar gagasan, fikiran, dan pengalaman soal proses transformasi di lingkungannya masing-masing. Hal ini jelas sangat diperlukan.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun